Bahwa klaim apa pun, oleh pihak mana pun, harus dilakukan sesuai dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS (Konvensi Hukum Laut PBB) 1982
Jakarta (ANTARA) - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan  kedaulatan dan wilayah  Indonesia tidak dapat ditawar sama sekali.

Dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri RI (PPTM) 2020 di Jakarta, Rabu, Retno menekankan prinsip terkait kedaulatan dan hak berdaulat di perairan Indonesia.

“Bahwa klaim apa pun, oleh pihak mana pun, harus dilakukan sesuai dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS (Konvensi Hukum Laut PBB) 1982,” kata Menlu.

Karena itu, ujar dia, Indonesia akan terus menolak klaim yang tidak diakui oleh hukum internasional.

Isu kedaulatan kembali mengemuka dalam dua pekan terakhir setelah kapal-kapal penangkap ikan China melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Natuna.

Dikawal oleh kapal penjaga pantai China, kapal-kapal asing itu bersikukuh melakukan penangkapan ikan di lokasi yang berjarak sekitar 130 mil dari perairan Ranai, Natuna.

Merasa hak berdaulatnya telah diusik, TNI mengerahkan delapan KRI, satu pesawat jenis Boeing, serta empat unit pesawat F-16 untuk berpatroli dan mengamankan perairan Natuna, karena sesuai UNCLOS 1982 China tidak memiliki hak apa pun atas perairan tersebut.

Baca juga: Soal ZEE Natuna, Mahfud: Kita punya kedaulatan yang harus dijaga
Baca juga: UNCLOS beri hak kepada Indonesia untuk eksploitasi perikanan di ZEE
Baca juga: Charles Honoris: Indonesia harus ambil sikap lebih tegas pada China


Namun, pemerintah China secara sepihak mengklaim kawasan itu berdasarkan aspek historis yang mengacu pada Nine-Dash Line.

Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus adalah wilayah historis Laut China Selatan seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen diklaim China sebagai hak maritimnya, bahkan meski wilayah ini berjarak 2.000 kilometer dari daratan China.

Dalam upaya penguatan diplomasi kedaulatan dan kebangsaan, Indonesia juga akan melawan negara asing yang secara jelas-jelas memberikan dukungan terhadap gerakan separatisme di Indonesia, karena hal ini jelas bertentangan dengan hukum internasional dan prinsip Piagam PBB.

Selain itu, Indonesia akan meningkatkan intensitas perundingan baik untuk batas maritim dan batas darat antara lain dengan Malaysia guna memformalkan batas laut teritorial di segmen Laut Sulawesi dan selanjutnya merundingkan segmen Selat Malaka; dengan Vietnam untuk batas ZEE; dengan Filipina untuk batas landas kontinen; dengan Palau untuk batas ZEE; dan dengan Timor Leste setelah demarkasi batas darat selesai.

Untuk batas darat, perundingan diprioritaskan untuk demarkasi dengan Malaysia di Pulau Sebatik dan Sungai Sinapad, serta finalisasi demarkasi dengan Timor Leste sesuai prinsip yang sudah disepakati.

Sejumlah kemajuan dalam perundingan perbatasan telah dicapai Indonesia, antara lain dengan Filipina melalui tuntasnya perundingan dan deposit Perjanjian batas ZEE ke PBB pada September 2019. Kedua negara akan memulai dan mengintensifkan perundingan batas landas kontinen.

Pada 2019, Tim Teknis Indonesia dan Malaysia telah menyepakati secara prinsip batas laut territorial di Laut Sulawesi. Ini merupakan kemajuan besar. Sejak 1970 belum pernah ada batas maritim yang berhasil disepakati.

Untuk batas darat, telah diselesaikan empat dari sembilan masalah perbatasan luar biasa dengan Malaysia yang tertunda sejak 1989.

Pada 2019, Indonesia dan Singapura berhasil menyepakati secara prinsip rencana realignment flight information region (FIR) yang berbasis pada batas wilayah Indonesia pasca UNCLOS 1982.

Kesepakatan ini dilanjutkan dengan perundingan teknis kedua negara dan diharapkan dapat selesai dalam waktu tidak terlalu lama.

Baca juga: Nota protes tunjukkan Indonesia tolak klaim China atas perairan Natuna
Baca juga: Anggota DPR: Persoalan ZEE Natuna jangan dipandang sebelah mata


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020