data konsumsi domestik dari Badan Pusat Statistik (BPS) sulit untuk merepresentasikan kinerja penerimaan PPN
Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economic (Core) Muhammad Faisal mengatakan penurunan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) tahun 2019 belum tentu disebabkan konsumsi rumah tangga yang melemah.

"Kalau yang dipajaki dengan PPN itu rata-rata sektor formal yang tercatat padahal aktivitas ekonomi, konsumsi di antaranya itu lebih banyak tidak tercatat bahkan sektor informal lebih besar," katanya saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Faisal yang juga Direktur Eksekutif Core itu mengungkapkan barang kebutuhan konsumsi yang tidak tercatat atau informal itu bahkan melampaui sektor formal mencapai lebih dari 55 persen.

Baca juga: Pengamat nilai penerimaan perpajakan meleset dipicu ekonomi global

Ia menuturkan pada tahun 2017, konsumsi rumah tangga sempat tumbuh melambat namun penerimaan PPN justru tinggi.mSebaliknya, lanjut dia, ketika pertumbuhan penerimaan PPN rendah, sektor konsumsi malah tumbuh menggembirakan.

Senada dengan Faisal, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan konsumsi masyarakat tingkat ekonomi bawah adalah barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.

Akibatnya, lanjut dia, data konsumsi domestik dari Badan Pusat Statistik (BPS) sulit untuk merepresentasikan kinerja penerimaan PPN.

"Sedangkan menangkap data masyarakat kelas menengah dan atas sulit untuk dicapai. Inilah mengapa data konsumsi kita stabil berkisar lima persen. Dari segi pajak, tentunya akan berdampak signifikan," katanya.

Baca juga: Kinerja penerimaan pajak 2020 diprediksi tak banyak berubah

Kementerian Keuangan sebelumnya menyebutkan realisasi sementara penerimaan pajak tahun 2019 tercapai 84,4 persen sebesar Rp1.332,1 triliun dari target Rp1.577,6 triliun.

Salah satu penerimaan pajak yang turun adalah PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang realisasinya mencapai Rp532,9 triliun atau 81,3 persen dari target Rp665,4 triliun.

Pencapaian itu melambat dibandingkan tahun 2018 yang mencapai Rp537,3 triliun atau 99,2 persen dari target Rp541,8 triliun.

Baca juga: Ditjen Pajak dorong kepatuhan WP untuk tingkatkan penerimaan pada 2020

Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga tahun 2019 mencapai 5,02 persen dan kumulatif Januari-September 2019 mencapai 5,04 persen.

BPS menyebutkan perekonomian Indonesia triwulan ketiga 2019 masih didominasi komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) sebesar 56,52 persen, lebih tinggi dibandingkan triwulan sama tahun 2018 mencapai 55,26 persen. Sedangkan pertumbuhan PKRT tercatat sebesar 5,01 persen pada triwulan ketiga 2019.

Sementara itu, sumber pertumbuhan tertinggi perekonomian RI triwulan ketiga 2019, menurut BPS, adalah komponen PKRT sebesar 2,69 persen. Namun, angka itu masih stagnan jika dibandingkan periode sama tahun 2018 yang juga mencapai 2,69 persen.

Baca juga: Sri Mulyani pastikan tidak ada persoalan daya beli masyarakat

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020