OLeh Budi Setiawanto Jakarta (ANTARA News) - Sang ikon kepahlawanan Sutomo alias Bung Tomo dan Jenderal Besar Soeharto sempat menorehkan kesan bahwa hubungan mereka kurang baik ketika masih hidup terutama ketika penguasa Orde Baru itu masih bertahta. Dengan gaya bicaranya yang meledak-ledak, Bung Tomo mengkritik kebijakan pembangunan ala Soeharto. Soeharto yang anti kritik mengincar Bung Tomo sebagai buruan politiknya bahkan terhadap keluarganya Atas dugaan terlibat dalam unjuk rasa pada peristiwa 15 Januari 1974 (dikenal dengan Malari), Bambang Sulistomo - putra kedua Bung Tomo ditahan tanpa proses peradilan selama dua tahun di penjara militer. "Saya kena dua tahun. Penjaranya pindah-pindah, terakhir di Rumah Tahanan Militer Jakarta," kata Bambang mengenang peristiwa itu. Empat tahun setelah peristiwa Malari terjadi lagi unjuk rasa mahasiswa menentang kebijakan Orde Baru. Kini giliran Bung Tomo yang diduga terlibat. Bung Tomo bersama sejumlah tokoh kritis seperti Mahbub Junaedi dan Ismail Suny ditangkap oleh Soeharto pada 11 April 1978 dan masuk penjara lagi-lagi tanpa proses peradilan. Bung Tomo dipenjara di Wisma Nirbaya di sekitar kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) selama setahun. "Sejak keluar dari penjara bapak tak lagi meledak-ledak meskipun hati, sikap, dan kata-katanya tetap satu, konsisten," kata Bambang. Bung Tomo tekun beribadah hingga wafat pada 7 Oktober 1981 saat menunaikan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah. Jenazah Bung Tomo dibawa ke Tanah Air dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum di kawasan Ngagel, Kota Surabaya. Sejak ia wafat, banyak kalangan mengusulkan agar Bung Tomo mendapat gelar pahlawan terlebih setiap memperingati Hari Pahlawan dan pidatonya yang berapi-api saat mengusir penjajah Belanda dari Surabaya pada 10 November 1945 diperdengarkan dari radio. "Saudara-saudara rakyat Surabaya. Bersiaplah! Keadaan genting. Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak.Baru kalau kita ditembak.Maka kita akan ganti menyerang mereka itu.Kita tunjukkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka.Dan untuk kita saudara-saudara.Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap.Merdeka atau mati.Dan kita yakin, Saudara-saudara.Akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah Saudara-saudara! Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!," pekik Bung Tomo menggelorakan semangat kepahlawanan. Namun Soeharto tak menggubris permohonan gelar pahlawan bagi Bung Tomo bahkan hingga "the smiling general" itu lengser pada 21 Mei 1998 dan pergi berkalang tanah pada 27 Januari 2008. Kini dua orang besar itu telah tiada, bedanya, nama Bung Tomo pada peringatan Hari Pahlawan ke-63 tahun 2008 akhirnya mendapat gelar pahlawan nasional sedangkan nama Soeharto harus menunggu waktu. Penganugerahan gelar pahlawan untuk Bung Tomo berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008 tertanggal 6 November lalu, gelar itu pun diberikan. Untuk generasi muda Sulistina Sutomo, janda Bung Tomo, saat menerima tanda kehormatan dan bintang Mahaputera Adipradana itu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, pada Jumat 7 November 2008 mengatakan, gelar itu didedikasikan untuk generasi muda Indonesia agar terus berjuang tanpa pamrih demi kepentingan bangsa dan negara. "Supaya mereka mencontoh bapak (Bung Tomo), dia itu berjuang tidak punya pamrih sama sekali dan itu harus dicontoh," kata Sulistina. "Apa yang salah ya katakan salah dan karena itu bapak dipenjara. Itu yang harus dicontoh, cita-cita perjuangan itu harus dilaksanakan. Anak muda jangan tergiur oleh sesuatu yang sifatnya fisik. Saya harap mereka itu berjuang dengan cita-cita pejuang-pejuang yang dulu," kata Sulistina menambahkan. Sementara itu terkait dengan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Bung Tomo yang baru dilakukan 27 tahun setelah Bung Tomo meninggal, Sulistina mengatakan bahwa itu semua terwujud atas doa restu handai taulan dari Jawa Timur yang begitu gigih memperjuangkannya sejak tahun 80-an. "Kebenaran itu pasti akan muncul meskipun ditutupi bagaimanapun pasti akan muncul," katanya, seraya menambahkan bahwa dahulu Bung Tomo pernah menulis buku yang meminta agar pemerintah memberi penghargaan pada pahlawan-pahlawan yang sudah gugur. Status Soeharto belum jelas Setelah Bung Tomo mendapat gelar itu kini giliran terdengar suara yang mengusulkan agar Soeharto mendapat predikat serupa. Ketua DPR, Agung Laksono yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar mengatakan bahwa Soeharto pantas mendapat gelar pahlawan nasional bahkan iklan politik Partai Keadilan Sejahtera menyebut Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa. "Jasa-jasa Soeharto harus bisa dipisahkan dengan kesalahan-kesalahannya yang manusiawi," ujar Agung. Di sisi lain Bambang Sulistomo berpendapat bahwa hingga kini status hukum Soeharto belum jelas, sehingga bila diberi gelar pahlawan bisa mengundang kontroversi. Mengenai gelar pahlawan yang diperoleh untuk almarhum ayahnya, Bambang yang kini aktif sebagai Koordinator Barisan Pembebasan Rakyat Indonesia (BPRI) karena penilaian masyarakat selama ini terhadap figur ayahnya bukan keinginan dari pihak keluarga agar pemerintah memberi gelar kehormatan kepadanya. "Biarlah rakyat yang menilai," kata mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari unsur Partai Aliansi Demokrasi Indonesia (PADI) untuk Pemilu 1999 lalu itu. Kepahlawanan Bung Tomo antara lain ditulis oleh Ktut Tantri dalam dua bukunya berjudul "The New Paradise" (1957) dan "Revolusi di Nusa Damai" (Gramedia, 1982). Ktut Tantri adalah wanita Amerika Serikat keturunan Inggris yang datang ke Bali untuk belajar melukis. Belakangan ia diangkat anak oleh Raja Bali dan diberi nama Indonesia. Salah satu pendiri TKR Bung Tomo, putra Kartawan Tjiptowidjojo, dilahirkan di Kampung Blauran, Surabaya 3 Oktober 1922. Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang penuh semangat dan berterus terang. Kondisi ekonomi yang sulit ketika itu berpengaruh pada pengalaman pendidikan formal Bung Tomo. Ia menjadi anggota Kepanduan Bangsa Indonesia. Namanya mulai terkenal ketika pada usia 17 tahun menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia. Ketika empat tokoh yaitu Soemanang, AM Sipahoetar, Adam Malik dan Pandu Kartawiguna mendirikan Kantor Berita Antara di Jakarta pada 13 Desember 1937, Bung Tomo menjadi wartawan Antara di Surabaya selain bekerja untuk Asia Shimbun. Kemudian Bung Tomo mulai aktif dalam kegiatan sosial politik. Ia terpilih pada 1944 menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang. Bung Tomo menjalani karier militer dan politik. Bung Tomo termasuk lima pendiri Tentara Keamanan Rakyat. Empat pendiri lainnya adalah Jenderal Sudirman, Jenderal Urip Sumoharjo, Laksamana Laut Natzir, dan Mayor Sungkono. Bung Tomo pernah diangkat menjadi mayor jenderal dan menempati pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama Jenderal Soedirman. Ia bertugas sebagai Koordinator Bidang Intelijen dan Perlengkapan Perang untuk Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut. Ketika diminta memilih untuk terus berpidato atau menjadi jenderal oleh Menteri Pertahanan Amir Syarifudin, Bung Tomo justru memilih menanggalkan pangkat jenderalnya. "Persetan, ora dadi jenderal ya ora pateken," katanya, dalam buku "Bung Tomo Suamiku, Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu" karya Sulistina Sutomo (2008). Bung Tomo lalu tampil menjadi tokoh pejuang kemerdekaan. Ia tampil sebagai pemimpin perlawanan terhadap Ultimatum Tentara Sekutu yang dikeluarkan Mayor Jenderal Mansergh dan memicu pertempuran pada 10 November 1945. Mansergh adalah pengganti Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris atas nama Sekutu di Jawa Timur, yang tewas dalam pertempuran melawan badan-badan perjuangan rakyat Indonesia pada 30 Oktober 1945. Peristiwa heroik itu bermula dari perobekan warna biru pada bendera Belanda di Hotel Yamato atau Hotel Orange (sekarang Hotel Majapahit) di Surabaya pada 27 September 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Bung Tomo terjun ke dunia politik pada tahun 1950-an. Ia pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia. Pada tahun 1957 Bung Tomo belajar kembali di Fakultas Ekonomi UI dan selesai tahun 1969. Jalan hidup Bung Tomo mengesankan bahwa ia memang sangat pantas mendapat gelar pahlawan nasional dengan menunjukkan kecintaannya pada Tanah Air disertai sikap rela berkorban. Bangsa Indonesia patut meneladani. (*)

Oleh
Copyright © ANTARA 2008