Jakarta (ANTARA News) - Gempa finansial berkekuatan besar mengguncang Amerika Serikat (AS) dan menciptakan tsunami krisis keuangan untuk kemudian berujung pada resesi yang dengan cepat menerjang semua penjuru dunia. Resesi itu kini telah sampai di Jerman dan terakhir menimpa Jepang, kemudian menciptakan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semula baru menerjang perusahaan asuransi di AS, namun kini menghantam industri strategis seperti otomotif. Tiga perusahaan besar otomotif General Motors, Ford, dan Crysler, telah meminta pemerintah AS campurtangan menyelamatkan perusahaan-perusahaan itu sekaligus puluhan ribu karyawannya. Sementara di tanah air, PT Krakatau Steel (KS) berencana merumahkan 2.500 pegawainya dalam waktu dekat, diikuti perusahaan bubur kertas PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang mem-PHK 1.000 orang dan akan merumahkan 1.000 lainnya dengan alasan kesulitan bahan baku. Beruntung, setidaknya untuk sementara, kondisi sektor otomotif di tanah air tidak separah di AS sehingga tidak perlu memasukkan PHK dalam perencanaan bisnisnya. "Nggak lah kalau sampai PHK. Ya, paling pengurangan shift kerja saja dan pengurangan jam lembur," kata Presiden Direktur PT Indomobil Sukses Internasional Tbk Gunadi Sindhuwinata. Pertumbuhan otomotif nasional, baik mobil maupun sepeda motor, pada 2008 cukup tinggi, bahkan hingga Oktober lalu penjualan sepeda motor tumbuh pesat dibanding priode sama tahun lalu. "Kita memproduksi enam juta sepeda motor tahun ini. Target pertumbuhan awal hanya 15 persen tahun ini tapi ternyata sampai Oktober saja pertumbuhannya sudah 44 persen. Berarti ada bonus pertumbuhan hingga 30 persen," kata Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) ini. Namun, aku Gunadi, sejak November ini penjualan menurun setelah perusahaan-perusahaan pembiayaan atau biasa disebut dengan leasing mulai memperketat pemberian kredit. Pengakuan ini selaras dengan klaim General Manager Divisi Motorsport dan Promosi PT Yamaha Motor Kencana Indonesia (YMKI) Bambang Asmarabudi yang menyebut penjualan mulai susut karena menurunnya permintaan. Meski begitu, Yamaha tidak berencana mengurangi produksi karena harus memenuhi indent (pesanan) sebelumnya. Untuk kendaraan roda empat sendiri, seperti diakui Direktur Komunikasi Perusahaan PT BMW Indonesia Helena Abidin, ada penurunan permintaan di kelas premium karena leasing memperketat pemberian kredit pada nasabah. Revisi target bisnis juga dilakukan PT Honda Prospect Motor (HPM) yang menurut Direktur Marketing dan After Sales Service Jonfis Fandy, perusahaan ini telah menurunkan target penjualan 2008 menjadi 43 ribu unit. Demikian juga dengan PT General Motor Auto World Indonesia (GMAWI) yang Oktober lalu baru bisa menjual mencapai 222 unit mobil, padahal sebelumnya mampu menjual 352 unit. Produsen kendaraaan asal Negeri Paman Sam ini menengarai, ketatnya kredit hingga 10:1 adalah penyebab turunnya volume penjualannya dalam sebulan lalu itu. Kendalikan NPL Dari gambaran di atas, para eksekutif perusahaan otomotif Indonesia menunjuk seretnya kucuran kredit kepada konsumen untuk mengkonsumsi produk otomotif sebagai faktor terpenting yang membuat mereka menurunkan target pencapaian usaha di masa berjalan. Langkah dan alasan leasing mengetatkan penyaluran kredit untuk otomotif sendiri sudah benar karena tidak ada yang lebih mengerikan bagi sektor pembiayaan ketimbang masuk dalam perangkap kredit macet atau Non Performing Loan (NPL). Mereka berpikir antisipasi harus dilakukan sejak dini sebelum keadaan menjadi tidak terkendali dan membahayakan likuiditas sektor pembiayaan yang ujung-ujungnya merongrong likuiditas perbankan nasional juga, mengingat dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia dari hari ke hari makin jelas terasa. Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Wiwie Kurnia bahkan buru-buru mengatakan bahwa anggota asosiasinya akan menjaga NPL tidak lebih dari tiga persen. Sampai Agustus tahun ini sendiri NPL nasional cukup bagus, hanya 1,9 persen. Wiwie mengklaim, tidak seperti AS dan negara lainnya, kondisi dunia pembiayaan di tanah air lebih baik sehingga dia yakin sektor pembiayaan nasional bisa mengendalikan tingkat NPL di bawah tiga persen. Indonesia juga tampaknya belajar dari kesalahan AS di mana perusahaan pembiayaannya serampangan memberikan kredit sehingga perekonomian negeri itu didera krisis kredit macet. Di negeri itu, kredit kendaraan bahkan kredit rumah diberikan tanpa uang muka, ditambah diskon pembayaran beberapa bulan, dan tenor pembayaran yang sangat lama hingga 40 tahun. Kekeliruaan sistem pembiayaan AS inilah yang menjadi salah satu pendorong leasing Indonesia memperketat penyaluran kredit dengan cara menaikkan uang muka dan menyeleksi calon penerima kredit lebih ketat lagi. Langkah antisipasi seperti ini memang agak ironis mengingat daya beli masyarakat lagi menurun, namun upaya tersebut mutlak dilakukan untuk mencegah menumpuknya kredit macet yang bisa mengaburkan target NPL di bawah tiga persen. Semakin banyak perusahaan merumahkan atau memecat karyawan mereka, semakin rendah pula daya beli masyarakat. Ini tantangan besar yang dirasakan industri pembiayaan dan otomotif nasional, apalagi karakter krisis sekarang berbeda dari krisis dulu. Bambang Asmarabudi menilai krisis keuangan kali ini berbeda sekali dengan krisis 1998 di mana saat ini semua harga komoditas anjlok dan daya beli masyarakat merata turun di semua daerah Indonesia. "Dulu saat krisis 1998, yang kena krisis hanya pulau Jawa sedangkan mereka yang di daerah (luar Jawa) justru nggak kena karena harga komoditas melambung dan mereka untung besar. Penjualan otomotif di luar Jawa pun justru meningkat pesat," ujar Bambang. Keadaan itu tidak terjadi pada krisis sekarang di mana sektor pembiayaan tidak ingin lagi terjebak dalam kredit macet seperti dulu dan akibatnya konsumsi nasional pun menurun, termasuk untuk produk-produk otomotif, karena kredit makin sulit didapatkan. Peningkatan uang muka pun menjadi tameng pertama untuk menghindari NPL sehingga jika dulu bisa mendapatkan sepeda motor dengan hanya uang muka Rp500 ribu atau Rp900 ribu, maka sekarang minimal uang mukanya Rp2 juta, terang Bambang. Hal sama dituturkan Jonfis Fandy dari HPM bahwa kalau dulu konsumen hanya mengeluarkan Rp3 juta untuk uang muka mobil, maka sekarang mereka harus menyediakan Rp5 juta sampai Rp10 juta sebagai uang muka kepemikian mobil. Keadaan ini tentu memberatkan produsen otomotif nasional, namun sepanjang semua pihak konsisten menjaga posisi NPL (tidak di atas batas toleransi tiga persen), maka industri otomotif nasional tetap bisa tumbuh, kata Ketua Umum APPI Wiwie Kurnia. Masalahnya, akan sangat sulit memberikan kredit kendaraan apabila harga kendaraan terus meningkat, padahal produsen otomotif tentu tidak mau terus-terusan turun penjualannya. Tetapi, untuk sementara kondisi itu tampak lebih baik ketimbang menaruh industri dalam posisi riskan karena meningginya NPL. Kredit otomotif di Indonesia memang tinggi mencapai 80 persen sehingga produsen dan perekonomian nasional sendiri tentu ingin menjaga pencapaian itu. Namun, demi kebaikan konsumen, produsen, dan perusahaan pembiayaan, maka segala langkah bisnis harus ditempuh dengan mewaspadai jebakan NPL atau kredit macet. (*)

Oleh Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008