Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mendahulukan bukti materiil, bukan dugaan di dalam menangani kasus korupsi.

"KPK harus cermat dalam melakukan pembuktian. Tidak bisa hanya mengandalkan praduga dan dugaan bahwa seseorang telah menerima suap, namun harus ada bukti materiil," kata Suparji di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan bukti harus lebih didahulukan daripada dugaan. Sebab, jika tidak mampu membuktikan maka terdakwa yang diajukan KPK tetap punya kemungkinan bebas.

Ia mencontohkan kekalahan KPK dalam kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 dengan tersangka Sofyan Basir. Mantan direktur utama PLN itu divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.

"Dalam kasus Sofyan Basir di mana soal pembuktian terhadap seseorang yang didakwa melakukan sebuah perbuatan tindak pidana, tapi ternyata unsur-unsurnya tidak terpenuhi karena tidak didukung dengan alat bukti," ujar Suparji.

Demikian juga dengan Syafruddin Arsyad Temenggung dalam kasus BLBI. Kasasi yang diajukan oleh mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu dikabulkan Mahkamah Agung (MA).

Fakta-fakta itu, kata Suparji, harus menjadi kesadaran bagi KPK bagaimana melakukan sebuah perbaikan dan juga menyadari bahwa apa yang dilakukan tidak sempurna.

"Pembuktian tidak bisa 'otak-atik gathuk' (mengutak-atik sesuatu agar cocok). Misalnya seseorang datang ke sini terus kemudian ada pertemuan setelah itu dianggap terjadi kejahatan bahkan dianggap ikut membantu padahal itu belum tentu," jelas Suparji.

Baca juga: KPK panggil Direktur Keuangan dan SDM Waskita Wado Energi

Baca juga: KPK panggil Zulkifli Hasan

Baca juga: KPK: Tersangka korupsi proyek infrastruktur Sidoarjo bisa bertambah

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020