Jakarta (ANTARA) - Lembaga swadaya masyarakat Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mengharapkan adanya perbaikan regulasi sebagai bentuk pencegahan  kasus konflik agraria yang masih terjadi selama tahun 2019 tercatat  346 kasus.

"Jika ditanya mitigasinya apa, regulasinya yang harus harus diperbaiki. Memperbaiki regulasi bukan berarti menahan investasi. Selain itu praktik birokrasi harus diperbaiki," ujar Koordinator Eksekutif HuMa Indonesia Dahniar Adriani dalam konferensi pers di Jakarta Pusat.

Menurut data yang dikumpulkan HuMa, sampai dengan akhir Desember 2019  mendokumentasikan 346 konflik agraria dan sumber daya alam. Konflik itu terjadi di 166 kabupaten dan kota yang berada di 32 provinsi.

Konflik melibatkan areal sebesar 2.322.669 hektare (ha) dan melibatkan 1.164.175 jiwa masyarakat adat dan lokal.
Baca juga: 30 persen aduan masyarakat terkait konflik agraria, sebut Komnas HAM

Sektor perkebunan masih tercatat sebagai jenis kasus yang paling banyak dengan tercatat 161 konflik yang terjadi di areal terdampak seluas 645.484.42 ha dan melibatkan 49.858 jiwa

Namun, konflik di sektor kehutanan melibatkan areal dan keterlibatan orang yang lebih banyak, menurut data yang dikumpulkan sendiri oleh HuMa. Organisasi nirlaba itu mencatat terjadi 92 konflik sektor kehutanan dengan 1.293.394,682 ha areal terdampak dan melibatkan 586.349 jiwa.

Pemerintah, ujar dia, diharapkan lebih mendukung kelompok masyarakat adat dan lokal yang berusaha menjaga hutan adat mereka. Tidak hanya dengan bantuan dana desa yang memang berhasil membantu penguatan di akar rumput tapi juga mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pengakuan untuk payung hukum.
Baca juga: BNRA dinilai mampu selesaikan konflik agraria, sebut pegiat

Hal itu diakui Solichin, tokoh pemuda masyarakat adat Karampuang yang berada di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.

Meski termasuk sukses memanfaatkan dana desa untuk pengembangan ruang-ruang adat, pelestarian kebudayaan dan pengelolaan wilayah adat tapi masyarakat adat Karampuang sempat menjalani jalan yang panjang mendapatkan pengakuan hukum sebagai masyarakat adat.

"Tantangan untuk mengelola hutan adat di Karampuang ada dua internal dan eksternal. Secara eksternal untuk diakui oleh peraturan daerah, masyarakat adat Karampuang menjalani proses yang panjang. Pengakuan masyarakat adat di Sinjai itu pada 2018," ujar Solichin, yang hadir di konferensi pers tersebut.
Baca juga: Komnas HAM: RUU Pertanahan tak hadirkan penyelesaian konflik
Baca juga: Pemerintah diharapkan dukung masyarakat adat untuk jaga hutan

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020