Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih menyebutkan bahwa kasus hukum yang menjerat Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan bukan merupakan kasus suap, melainkan mengarah ke penipuan karena Wahyu menjanjikan suatu hal yang tidak dapat dipenuhi.

"Saya melihat ini lebih kepada penipuan, ada pihak yang mengiming-imingi Harun Masiku dengan permintaan uang tertentu agar menjadi anggota DPR. Tapi nyatanya sampai hari ini keputusan tidak berubah," kata Yenti, di Jakarta, Kamis.

Baca juga: DKPP: Pimpinan KPU terkesan lakukan pembiaran tindakan Wahyu Setiawan

Baca juga: KPK: Izin penggeledahan Kantor PDI Perjuangan dari Dewas belum turun


Dugaannya itu diperkuat dengan posisi Harun Masiku yang belum juga ditetapkan menjadi anggota DPR menggantikan Rizky Aprilia.

Yenti menjelaskan putusan KPU tentang caleg terpilih atau pergantian antar waktu (PAW) harus diambil secara kolektif kolegial.

Sementara, dalam rapat pleno KPU pada 6 Januari 2020 sudah diputuskan bahwa permohonan mengangkat Harun Masiku sebagai anggota DPR menggantikan Rizky Aprilia tidak dapat dikabulkan.

"Sejauh ini, saya melihat kasus ini adalah orang per orang. Karena keputusan di KPU itu kolektif kolegial, tidak mungkin Wahyu Setiawan bisa mengubah keputusan sendiri atas keputusan yang sudah ditetapkan secara bersama-sama dengan komisioner KPU yang lainnya," kata mantan Ketua Pansel Capim KPK ini.

Baca juga: Kasus Wahyu Setiawan, DKPP: Di Pilkada perlu dibangun lagi integritas

Atas peristiwa ini, Yenti khawatir akan menggerus kepercayaan masyarakat pada penyelenggara pemilu.

Kasus yang menjerat Wahyu Setiawan ini sangat memprihatinkan, apalagi menjelang Pilkada 2020, ujarnya.

"Dan sangat kebetulan, kasus ini berbarengan dengan mencuatnya kasus korupsi Jiwasraya. Apakah ini benar-benar sebuah kebetulan? Tentu masyarakat jangan mau dikaburkan atas kasus korupsi tersebut," kata Yenti.

Baca juga: Ketua KPU: Wahyu tak pernah coba lobi komisioner lain

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020