Jakarta (ANTARA) - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan bahwa aliran dana ilegal lintas negara atau Illicit Financial Flows (IFF) saat ini diperkirakan mencapai 2 persen hinga 5 persen terhadap Gross Domestic Product (GDP) global.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan hal itu merupakan salah satu dampak negatif dari adanya globalisasi serta kemajuan interkoneksi sehingga kejahatan ekonomi lintas negara semakin canggih dan terorganisir.

“Aliran dana illegal lintas negara yang berasal dari aktivitas kejahatan ekonomi antarnegara juga meningkat karena hadirnya virtual asset seperti crypto currency yang sulit dilacak,” katanya di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa.

Baca juga: PPATK telusuri aliran dana kasus Jiwasraya

Kiagus menuturkan globalisasi mengakibatkan transaksi pergerakan modal atau free flow of capital, pergerakan orang atau free flow of persons, serta pergerakan barang dan jasa atau free flows of goods and services menjadi tanpa batas.

Ia menyebutkan berdasarkan laporan Global Financial Integrity (GFI) pada 2017 berjudul Transnational Crime and the Developing World diketahui bahwa pendapatan yang dihasilkan dari 11 kejahatan transnasional diperkirakan 1,6 triliun dolar AS sampai 2,2 triliun dolar AS per tahun.

“Itu tidak hanya masuk langsung ke kantong para pelaku tetapi juga digunakan kembali untuk membiayai kejahatan lainnya,” ujarnya.

Baca juga: Kemendagri kerja sama dengan PPATK awasi aliran dana pemda

11 kejahatan tersebut meliputi perdagangan gelap seperti senjata, narkoba, manusia, organ manusia, barang antik secara illegal, barang palsu, satwa liar, penagkapan ikan illegal, penebangan liar, penambangan liar, dan pencurian minyak mentah.

“Kejahatan transnasional ini dapat merusak ekonomi lokal dan nasional, merusak lingkungan, dan membahayakan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Selain itu, Kiagus megatakan fakta domestik menunjukkan adanya ancaman laundering offshore yaitu suatu tindak kejahatan dilakukan di Indonesia yang dialihkan ke luar negeri melalui sistem keuangan.

Ia menjelaskan money laundering dapat mempersulit pengendalian moneter, mengurangi pemasukkan negara, dan mempertinggi country risk yang dapat menciptakan instabilitas sistem keuangan serta perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Ia melanjutkan, melalui perkembangan teknologi digital di era globalisasi itu menyebabkan upaya pencucian uang semakin bervariasi yang saat ini sudah memasuki era digital money laundering.

“Pelaku kejahatan tidak lagi menikmati hasil kejahatannya dalam bentuk uang tunai atau jenis aset lainnya namun memanfaatkan tekhnologi informasi dalam mengelola dana ilegal tersebut,” jelasnya.

Menurutnya, adanya inovasi keuangan digital dan realita penggunaan virtual currency dalam financial crime mempertinggi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Pelaku tindak pidana pendanaan terorisme tersebut memanfaatkan adanya inovasi keuangan digital seperti untuk penghimpunan dana melalui crowd funding dan penggunaan virtual currency sebagai sumber kegiatan terorisme.

“Realita ini menjadi faktor pendorong dalam menentukan arah kebijakan PPATK untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT di Indonesia,” katanya.

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020