Jakarta (ANTARA) - Amnesty International, sebuah organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang penegakan HAM, mendorong Myanmar untuk mematuhi putusan Mahkamah Internasional (ICJ) serta segera mengambil langkah untuk menghentikan kekerasan yang berkelanjutan terhadap etnis Rohingya dan mencegah perusakan bukti.

“Putusan ICJ hari ini mengandung pesan untuk para pejabat senior Myanmar, yaitu dunia tidak akan mentolerir kekejaman mereka, dan tidak akan menerima retorika kosong mereka tentang kondisi terkini di Negara Bagian Rakhine begitu saja," kata Direktur Regional Amnesty International untuk Asia Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Nicholas Bequelin melalui keterangan tertulis, Kamis. 

"Sebanyak 600.000 warga Rohingya yang masih tinggal di sana ditolak hak-hak dasarnya secara rutin dan sistematis. Mereka menghadapi risiko nyata kekejaman yang lebih lanjut," ia melanjutkan.

Keputusan Mahkamah Internasional hari ini yang memerintahkan Myanmar untuk mengambil "langkah sementara" demi mencegah terjadinya genosida terhadap etnis Rohingya, diambil hanya beberapa hari setelah Myanmar menerbitkan ringkasan laporan dari temuan 'Komisi Penyelidikan Independen' yang dibentuk pemerintahan mereka.

Amnesty menilai komisi itu tidak independen dan tidak netral dan tidak bisa dianggap sebagai upaya kredibel untuk menyelidiki kejahatan terhadap etnis Rohingya. Sementara itu, belum ada upaya untuk menyelidiki pelanggaran serius dan luas terhadap etnis minoritas lainnya di Myanmar.

“Sampai semua pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran serius ini dimintai pertanggungjawaban, kejahatan keji itu akan tetap merajalela. Dewan Keamanan PBB harus segera merujuk situasi di Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC)," ujar Bequelin.

Putusan Mahkamah Internasional dibuat berdasarkan gugatan yang dilayangkan oleh Gambia pada 11 November 2019. Dalam hal ini, negara berpenduduk mayoritas Muslim itu menuduh Myanmar melanggar kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida 1948.

Pengaduan tersebut mencakup desakan agar mahkamah memerintahkan "langkah-langkah sementara" untuk mencegah semua tindakan yang bisa terhubung atau berkontribusi pada kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya dan melindungi mereka dari bahaya lebih lanjut saat kasus ini sedang disidangkan.

Audiensi publik mengenai langkah sementara itu diadakan di Den Haag pada 10-12 Desember 2019. Delegasi Myanmar, yang dipimpin oleh Penasihat Negara dan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, menolak tuduhan genosida, dan mendesak pengadilan untuk menolak perkara tersebut dan menolak desakan untuk melakukan langkah sementara.

Pada Senin (20/1), Komisi Penyelidikan Independen yang dibentuk pemerintah Myanmar menyerahkan laporan terakhirnya kepada Presiden Myanmar.

Dalam laporannya komisi itu membuat kesimpulan bahwa meskipun pasukan keamanan Myanmar mungkin bertanggung jawab atas kejahatan perang dan “penggunaan kekuatan yang tidak proporsional”, komisi tidak menemukan bukti adanya rencana genosida.

Baca juga: Amnesty serukan peningkatan tekanan internasional tangani isu Rohingya
Baca juga: Amnesty International: militer Myanmar melanggar HAM di Rakhine
Baca juga: Amnesty International serukan resolusi keras kepada Myanmar

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020