Jakarta (ANTARA News) - Betapa susahnya menjadi petani di masa ini. Sudah pada musim tanam pupuk selalu langka, hasil padi pun anjlok saat musim panen tiba. Sungguh sebuah cerita klasik yang selalu terulang setiap tahun. Tidak heran jika kemudian, banyak dari mereka beralih profesi menjadi pedagang atau buruh bangunan yang bayarannya memang lebih menggiurkan ketimbang menjadi petani. Pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru mengenai besaran upah nominal petani yang naik 0,25 persen selama November dibanding Oktober, namun riilnya turun 0,33 persen. Gambaran ini berbeda dengan upah buruh bangunan yang baik nominal maupun riilnya naik, masing-masing 1,76 dan 1,63 persen. "Jadi, enak jadi buruh bangunan daripada jadi petani," kata Kepala BPS Rusman Heriawan. Lantas, apa yang membuat hidup petani tidak lebih baik dari buruh? Ada banyak faktor di baliknya, namun yang paling mengemuka adalah kian beratnya ongkos bertani dan bertambah sulitnya meningkatkan hasil panen setelah pupuk hilang dari pasaran. Untungnya, masalah kelangkaan pupuk tahun ini ditangani cukup istimewa oleh banyak kalangan, khususnya oleh para wakil rakyat di DPR, sampai-sampai mereka harus menggelar rapat khusus soal pupuk bersubsidi pada Selasa (26/11). Tak tanggung-tanggung, rapat itu dipimpin langsung Ketua DPR RI Agung Laksono dengan menghadirkan wakil-wakil pemerintah dari tiga departemen, yaitu Menteri Perdagangan, Meneg BUMN dan Menteri Pertanian, ditambah perwakilan Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri, serta Wakil Kepala Polri. Entah mengapa, kelangkaan pupuk selalu muncul setiap musim tanam. Tapi tahun ini penanganannya berbeda karena bertepatan dengan mulainya kampanye partai politik menjelang Pemilu April 2009 di mana semua fraksi dalam rapat serempak berlomba mendesak pemerintah segera mengatasi soal ini. Bahkan, sempat muncul ide masalah kelangkaan pupuk ditangani secara darurat, layaknya mengatasi bencana alam. Yang jelas, upaya apapun tampaknya mesti dimulai dari menjejak asal muasal perkara itu bisa terjadi. Ada beberapa hal yang membuat pupuk bersubsidi langka di pasaran, salahsatunya adalah anggaran negara yang terbatas sehingga ada perbedaan besar antara jumlah alokasi pupuk dengan volume konsumsi. Pada 2003 misalnya, konsumsi urea bersubsidi mencapai 3,91 juta ton, padahal yang dialokasikan cuma 1,28 juta ton. Demikian pula tahun ini, sawah-sawah di Indonesia diperkirakan membutuhkan pupuk urea sebesar 4,3 juta ton, hampir dua kali lipat stoknya sendiri yang hanya 2,94 juta ton. Untuk soal ini, Menteri Perdagangan menjelaskan perbedaan antara rencana distribusi dengan tingkat kebutuhan petani, antara lain karena gangguan dan bencana alam sehingga pangan mesti ditanam kembali. Ironisnya, petani terbiasa menggunakan pupuk 400-600 kg per hektare, jauh lebih besar dari yang direkomendasikan Menteri Pertanian sebesar 200-250 kg per hektare. Faktor lain yang mendorong pupuk menjadi sering diselewengkan adalah perbedaan harga yang cukup besar antara yang bersubsidi dengan nonsubsidi. Contoh, harga urea bersubsidi dipatok Rp1.200 per kg, sedangkan harga nonsubsidi mencapai Rp5.000 per kg. Persoalan bertambah pelik manakala Komite Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) di daerah-daerah belum berfungsi baik. Ini terlihat dari penemuan Polri yang setidaknya telah mengidentifikasi tujuh modus penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi yang akhirnya menyulitkan petani. Menurut Wakapolri Makbul Padmanegara, penyelewengan pupuk bersubsidi dilakukan melalui banyak modus, diantaranya dengan menimbun stok secara ilegal, mengganti kemasan pupuk bersubsidi, menyebarkan isu kelangkaan pupuk, memperdagangannya secara antar pulau, penyelundupan, mengaburkan data administrasi, memalsukan kuota kebutuhan pupuk di daerah, menggeser stok dari daerah yang harganya murah ke daerah dengan harga lebih tinggi, dan terakhir memalsukan pupuk. "Kami menemukan dua pabrik pupuk palsu di Cianjur dan Sukabumi," ungkap Makbul. Di Jawa Barat saja setidaknya terungkap 33 kasus yang melibatkan 54 tersangka dan 869 ton pupuk bersubsidi di mana 24 kasus diantaranya sudah dilaporkan ke Kejaksaan untuk diajukan ke pengadilan. Guna memudahkan pengidentifikasian dan kepentingan hukum, berdasarkan temuan tindak kriminalitas pupuk di lapangan, Makbul mengusulkan warna karung kemasan pupuk bersubsidi dibedakan dengan pupuk nonsubsidi karena selama ini perbedaan hanya terletak pada label karung semata. Sistem tertutup Pemerintah bukannya tidak tanggap dengan pemalsuan pupuk itu karena sejak pertengahan 2008, Menteri Perdagangan sebenarnya telah menerbitkan aturan distribusi pupuk bersubsidi yang baru dengan sistem tertutup sehingga hanya petani atau kelompok tani yang sudah terdaftar pada pengecer di satu wilayah yang bisa membeli pupuk bersubsidi. Pencatatan jumlah petani serta luas lahan tani diharapkan selesai pada 2009 dan kemudian akan diverfikasi Badan Pusat Statistik sebelum sistem tertutup ini diimplementasikan secara penuh di seluruh Indonesia pada 2010. Ironisnya, kelangkaan pupuk justru lebih sering terjadi setelah sistem tertutup diterapkan. Para pelaku kriminal yang menyebabkan pupuk langka diduga memanfaatkan masa transisi sistem distribusi baru ini untuk mengeruk keuntungan, bahkan di Jawa Timur ditemukan kasus kelompok tani palsu. Keadaan menjadi kian rumit setelah banyak kepala daerah yang belum memahami tugas dan wewenangnya dalam kerangka penyaluran dan pengawasan pupuk bersubsidi. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan Subagyo mencontohkan, begitu ada keluhan kelangkaan pupuk, bupati dan gubernur sebenarnya bisa langsung bertindak dengan menggeser alokasi pupuk dari daerah stoknya masih banyak ke daerah yang kekurangan stok. Sayang, pemerintah daerah yang justru bagian dari Tim KP3 tidak mengawasi dengan baik distribusi pupuk sehingga kelangkaan pupuk terus saja terjadi. Akibatnya, pada 14 November 2008, pemerintah terpaksa menambah cadangan pupuk urea sebanyak 200 ribu ton dan usai rapat istimewa bersama DPR itu, jumlah cadangan kembali ditambah 300 ribu ton, namun masih menunggu penetapan Menteri Pertanian. Pada saat yang sama, produsen pupuk diperintahkan untuk melakukan Operasi Pasar di wilayah distribusi mereka. Namun, hal terpenting adalah pemerintah daerah harus memperketat pengawasan distribusi pupuk bersubsidi dan menjamin validitas pengumpulan data pembelian pupuk bersubsidi oleh petani dari pengecer. Tanpa itu, sistem distribusi tertutup malah menjadi sumber penyelewengan pupuk bersubsidi. Kesimpulan dari itu semua, dukungan pemerintah pada petani harus diwujudkan dengan menciptakan sistem distribusi pupuk bersubsidi yang sempurna, jangan menunggu petani beralih profesi menjadi buruh dan meninggalkan sawah-sawah mereka yang akhirnya malah membuat Indonesia menjadi importir beras. (*)

Oleh Oleh Eko Listiyorini
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008