Jakarta (ANTARA) - Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian mengembangkan vaksin untuk penyakit Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) setelah kasus penyakit tersebut merebak di Sumatra Utara pada akhir 2019 lalu.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita menjelaskan bahwa pengembangan vaksin ASF ini diharapkan memberi solusi pencegahan penyakit, mengingat hingga kini belum ada vaksin untuk ASF.

"Saat ini belum ada vaksin ASF yang efektif tersedia untuk pencegahan penyakit ini, sehingga saya minta 12 Pakar Kesehatan Hewan Indonesia dari Unud, Unair, IPB, Unibraw, dan UGM serta unit teknis di Kementan untuk segera mengembangkan vaksin ASF ini," kata Ketut Diarmita melalui keterangan resmi di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Pemprov Bali petakan 25 titik berisiko terkena virus demam babi Afrika

Menurut Ketut, virus penyebab ASF ini sangat bandel karena bisa tahan lama di produk dan lingkungan. Pelaksanaan strategi pengendalian dengan pengawasan lalu lintas, desinfeksi, disposal dan biosekuriti saat ini masih belum cukup membendung penyebaran penyakit.

Sementara itu, Kepala Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Agung Suganda menyatakan kesiapannya untuk mengawal dan memfasilitasi pengembangan vaksin tersebut. Hal itu disampaikan pada saat membuka Rapat Koordinasi Tim Pakar Pengembangan Vaksin ASF mewakili Dirjen PKH di Surabaya, Kamis (23/1).

Dalam kesempatan yang sama, salah satu pakar dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana IGN Kade Mahardika menyampaikan bahwa pembuatan vaksin ASF sangat kompleks, karena saat ini penelitian dasar tentang hal ini belum mencukupi.

Baca juga: Mentan akan isolasi daerah terjangkit demam babi

Ia menjelaskan bahwa karakteristik biologis virus ASF sangat kompleks dengan genom yang besar, dan setengah protein virusnya tidak diketahui fungsinya. Begitu pula dengan mekanisme perlindungan terhadap ASF yang belum banyak diketahui.

Mahardika juga menyampaikan kendala pengembangan vaksin ASF yang selama ini berjalan yakni penelitian tentang virus hidup dibatasi hanya di laboratorium dengan tingkat biosekuriti yang tinggi, kurangnya model hewan kecil yang tepat dan ekonomis untuk percobaan, serta beberapa kendala teknis lainnya.

Para peneliti mengembangkan vaksin ASF berbasis teknologi DNA rekombinan pada prokaryota dengan sistem Chaperone kombinasi protein struktural dan non struktural yang aman dan dapat diproduksi cepat.

"Prosesnya sudah kita laksanakan, dan saat ini 'master seed' sudah siap untuk dibuatkan prototipenya di Pusvetma," kata dia.

 

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020