Beijing (ANTARA News) - Seorang bocah usia dua tahun menjadi yatim piatu di Chongzhou, China baratdaya, menyusul kematian kedua orang tuanya akibat minum racun serangga setelah mereka bertengkar dengan sengit. Tragedi ini, yang dilaporkan media pemerintah bulan lalu, merupakan kesaksian atas sisi gelap reformasi, yakni melonjaknya angka bunuhdiri. Rata-rata, setiap dua menit ada seorang penduduk China yang menghabisi jiwa sendiri, sehingga negara berpenduduk terbesar di dunia itu mencetak rekor yang tak menggembirakan itu saat China akan merayakan 30 tahun perombakan ekonominya yang spektakuler. "Dengan reformasi, masyarakat menjadi lebih rumit," kata Huo Datong, psikoanalis pertama yang membuka praktek di China. "Individualisme menjadi semakin nyata dan berbagai masalah kejiwaan menjadi kian serius," katanya kepada AFP dari Chengdu, sebuah kota di China baratdaya. Sejak perombakan ekonomi dimulai pada 1978, Kerajaan Tengah itu telah melalui berbagai pergolakan yang luar biasa dan demikian pula hati penduduknya yang berjumlah 1,3 miliar jiwa. Masyarakat telah tercerabut dari akarnya sebagai keluarga tradisional dan struktur marga telah tercerai-berai, sehingga membuat hubungan sosial menjadi tegang dan menempatkan pribadi dalam keadaan sangat tertekan, kata para pakar. Dalam hanya satu generasi saja, peradaban China yang telah berusia satu milenium telah berubah menjadi satu masyarakat yang bertujuan hanya mengejar keuntungan semata, dengan berbagai kosenkuensi yang nyata. Dalam lomba untuk cepat-cepat menjadi kaya, budaya persaingan memberikan tekanan besar paling tidak pada anak-anak, yang biasanya tak mempunyai saudara kandung dan menghadapi harapan yang hampir tak mungkin orang tua mereka akan meraih sukses. Di negara yang dulunya ada tiga atau empat generasi tinggal seatap, para orang tua kini ditinggalkan, suatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, sementara para perantau pergi ke kota-kota untuk bekerja, dengan meninggalkan anak-anak mereka di desa. "Kami menyaksikan semakin banyaknya pasien di rumah-rumah sakit jiwa yang berada di sana akibat pembangunan ekonomi telah menyebabkan ikatan kekeluargaan terlepas. Orang-orang kini menjadi lebih terasing dengan anggota masyarakat lainnya," ujar Huo. Kini saatnya meraih berbagai kemungkinan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi pendidikan, bersantai dan melakukan perjalanan, dan makin banyak orang berkesempatan menaiki anak tangga sosial ketimbang masa dahulu. Namun demikian, pada saat bersamaan banyak penduduk China merasa tak berdaya menghadapi rasa tak aman. Pada masa lalu, Partai Komunis mengatur kehidupan setiap orang, dengan menjamin "bakul nasi" berupa dukungan pemerintah mulai dari buaian atau ayunan hingga ke liang lahat. Hal ini semua sudah lenyap dan banyak penduduk China telah kehilangan pijakan. Dengan sekitar 250.000 orang hingga 300.000 orang melakukan bunuhdiri setiap tahunnya, angka bunuhdiri di negara itu merupakan seperempat dari jumlah bunuhdiri global.                     Banyak melanda wanita China merupakan satu-satunya negara di dunia tempat lebih banyak wanita ketimbang pria menghabisi jiwanya sendiri, dengan angka bunuhdiri di kalangan kaum hawa mencapai 58 persen, kata para pakar. Terutama sekali wanita di kawasan pendesaan menghadapi risiko tersebut. Penyebab utamanya adalah mereka biasanya menanggung beban berat, yakni bekerja di ladang, mendukung kehidupan orang tua dan membesarkan anak. "Masyarakat menjadi semakin rapuh," kata Zhang Chun, ketua jaringan pencegahan bunuhdiri di Nanjing, China timur. "Sejak terjadinya perubahan sosial yang cepat dan berlangsungnya pergesekan antara nilai-nilai tradisional dan modern, banyak orang kini berusaha mendapatkan kembali keseimbangan ini."    Bahkan saat China berpindah posisi menjadi perekonomian terbesar keempat di dunia, yang membuat banyak penduduknya bangga, bunuhdiri telah mejadi penyebab utama kematian dalam kelompok populasi antara 15 hingga 34 tahun. China juga menjadi salah satu negara yang langka, tempat bunuhdiri lebih sering terjadi di pedesaan daripada di perkotaan. "Jumlah bunuhdiri tiga atau empat kali lebih banyak ketimbang di kota," kata Yang Qing, profesor psikologi paaa Universitas Shenzhen, China selatan.      Terperangkap China terperangkap di tengah tuntutan yang seringkali bertentangan, yakni Komunisme, Konfusionisme dan kapitalisme, dan mereka tak tahu yang mana yang harus diikuti, kata para ahli. "Ini tidak seperti di Barat, tempat mayoritas penduduk sudah memiliki keagamaan yang mantap," kata Zhu Wanli, seorang psikolog di Chongqing.   "Banyak orang di sini tidak memiliki agama, terutama kalangan generasi muda."    Jika mereka pergi ke wihara, kebanyakan dari mereka hanya untuk menyalakan dupa. Itupun cuma untuk memohon mendapat banyak uang. (*)

Oleh
Copyright © ANTARA 2008