kita berproses untuk lebih aware
Jakarta (ANTARA) - Aktivitas manusia melebihi daya dukung daya tampung lingkungannya. Pemanasan global yang menjadi salah satu buntut aktivitas manusia telah meningkatkan kerentanan mereka dari berbagai bencana hidrometeorologi.

Untuk penduduk Jakarta dan sekitarnya, kerentanan terhadap iklim tersebut ditambah pula dengan penurunan muka tanah atau subsiden dampak dari pengambilan air tanah berlebih untuk pemenuhan kebutuhan air bersih. Ini yang membuat Jakarta disebut-sebut sebagai salah satu kota di dunia yang akan ikut tenggelam di abad 21.

Publikasi ilmiah milik Scott A Kulp dan Benjamin H Strauss di Nature Communications berjudul New elevation data triple estimates of global vulnerability to sea-level rise and coastal flooding menyebutkan sampai dengan 340 juta orang diproyeksikan akan hidup di bawah level perkiraan banjir tahunan di 2050. Lebih dari 70 persen orang yang hidup di lokasi yang diperkirakan akan terdampak banjir permanen tersebut ada di delapan negara di Asia, diantaranya China, Bangladesh, India, Vietnam, Thailand, Filipina, Jepang dan Indonesia.

Kulp dan Strauss memasukkan Jakarta dalam pemodelannya, lalu apakah benar Jakarta akan tenggelam?

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hudoyo mengatakan banjir Jakarta dan sekitarnya kali ini seakan meluluhlantakkan berbagai skenario penataan ruang dan pengendalian banjir. Berbagai catatan kejadian yang lalu cenderung tanpa makna.

“Mengapa kita abai dengan sejarah banjir yang pernah terjadi?“ kata Hudoyo.

Banjir Jakarta, dari zaman Jenderal JP Coen (1621) sampai Gubernur Jokowi (2013) sampai-sampai diangkat menjadi judul buku karangan Zaenuddin HM (2013), mengingatkan semua bahwa banjir adalah bagian dari perjalanan sejarah Jakarta. Berbagai rekayasa hidrologis telah dilakukan namun belum juga sepenuhnya membuahkan hasil.

Perkembangan Jakarta sebagai pusat perekonomian, secara membabi buta mengubah “rumah-rumah air” berupa danau, situ dan rawa menjadi “hutan beton” dengan celah minimal dalam meretensi air menjadi satu persoalan. Ia menyebut dulu ada 1500-an situ di Jabodetabek, saat ini tercatat tinggal 178 situ.

Baca juga: KLHK ungkap alasan kesulitan rehabilitasi DAS Ciliwung dan Cisadane

Suasana sisi selatan Waduk Pluit di Jakarta, Selasa (29/5/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/pras.

Rawamangun, Rawa Belong, Rawa Sari dan Rawa Buaya adalah toponimi wilayah rawa dengan peran sangat penting dalam retensi air, saat ini justru menjadi pusat kota dengan luas resapan sangat minimal.

Berdasarkan hikayat penamaannya, beberapa daerah Jakarta dulunya juga merupakan tampungan air. Nama Pancoran berasal dari kata “pancuran” yang pada 1670 merupakan waduk atau aquada sebagai tempat penampungan air dari sungai Ciliwung.

Daerah Lebak juga menyiratkan kondisinya sebagai lembah yang berfungsi sebagai penampung air yang saat ini sudah menjadi daerah perkotaan dengan tingkat perumahan yang padat.

Jakarta berada di lereng kaki sistem kipas alluvial DAS Ciliwung. Kondisi tersebut menempatkan Jakarta sebagai tempat akumulasi air, dengan delapan Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang di dalamnya mengalir 13 sungai menyuplai air ke Jakarta, sehingga melipatgandakan akumulasi air yang ada.

Penjelasan serupa disampaikan peneliti di Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M Fakhrudin. Ada delapan DAS besar yakni DAS Kali Angke Pesanggrahan, DAS Kali Krukut, DAS Ciliwung, DAS Sunter, DAS Kali Buaran, DAS Cakung, DAS Kali Bekasi dan DAS Cisadane.

Lalu ada 13 sungai yang melintasi Jakarta di antaranya Kali Angke, Kali Baru Barat, Kali Baru Timur, Kali Buaran, Kali Cakung, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Grogol, Kali Jati Kramat, Kali Krukut, Kali Mookervaart, Kali Pesanggrahan, Kali Sekretaris dan Kali Sunter.

Dengan topografi tersebut, ditambah rata-rata kondisinya mengalami penurunan kemampuan daya serapnya karena perubahan lahan yang berlangsung cepat, membuat aliran permukaan atau direct run-off cenderung terus meningkat. Selain itu, sekitar 30 persen area di DKI Jakarta berada di bawah muka air laut dan cenderung meningkat terus, sehingga sistem drainase mengandalkan pompa.

"Sunatullah Jakarta menjadi daerah paparan banjir," kata Fakhrudin.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata Sunatullah sebagai  hukum (kejadian dan sebagainya) alam yang berjalan secara tetap dan otomatis.

Baca juga: Kepala BNPB minta masyarakat sekitar DAS mengungsi dulu
 

Perubahan tata ruang

Hasil penelusuran data hidrologi di stasiun Katulampa di Bogor, Ratujaya di Depok dan Manggarai di Jakarta menunjukkan bahwa di Depok waktu menuju puncak banjir (time to peak) mengalami pemendekan, sedangkan di Katulampa dan Manggarai relatif tetap. Artinya saat terjadi hujan di Depok, dalam waktu yang pendek terjadi peningkatan limpasan secara cepat.

Kondisi tersebut, menurut Hudoyo, mengindikasikan bahwa suplai air yang besar dimulai dari Depok.

Hasil analisa perubahan penutupan lahan secara seri antara tahun 2006, 2009, 2015 dan 2019 menunjukkan bahwa Depok mengalami peningkatan permukiman rata-rata delapan persen per tahun. Pada 2006 terdapat rawa seluas 55,16 hektare (ha) yang berfungsi menjadi retensi air, namun area rawa tersebut berubah menjadi permukiman di 2009.

Sedangkan hasil perhitungan berdasarkan data curah hujan BMKG tanggal 31 Desember 2019 dan 1 Januari 2020 menunjukkan bahwa delapan DAS (termasuk 13 sungai di dalamnya) menyuplai air ke Jakarta sebesar 7.616,88 meter kubik per detik (m3 per detik). Jika dibandingkan dengan kemampuan 13 sungai mengalirkan air, yaitu sebesar 3.050,62 m3 per detik, maka terdapat kelebihan air sebesar 4.566,28 m3 per detik yang menggenangi Jakarta.

Perhitungan tersebut telah mempertimbangkan koefisien limpasan yang dikontrol oleh kondisi tutupan lahan. Koefisien limpasan wilayah Jakarta rata-rata sebesar 0,61, yang berarti 61 persen hujan menjadi limpasan dan hanya 39 persen yang meresap kedalam tanah.

Sebuah gambaran betapa tata ruang punya andil besar dalam kejadian banjir, kata Hudoyo.

Sesuai dengan kewenangannya, KLHK mengalokasikan program pemulihan lahan kritis di bagian hulu DAS untuk meningkatkan retensi air serta pengurangan erosi. Sejak 2015 hingga 2019 telah direhabilitasi lahan kritis seluas 1.224 ha di hulu DAS Ciliwung dan hulu DAS Cisadane, dan program tersebut akan selalu ditingkatkan agar seluruh lahan kritis di hulu delapan DAS dapat dipulihkan.

Foto udara aliran Sungai Ciliwung di kawasan Gedong, Pasar Rebo, Jakarta, Kamis (7/2/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa erosi total di 8 DAS sebesar 217.620 ton per ha per tahun yang menyebabkan pendangkalan dan menurunkan kapasitas tampung 13 sungai yang mengalir ke Jakarta.

Peneliti geografer perkotaan di Pusat Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI Galuh Syahbana Indraprahasta mengatakan di zaman Belanda relatif sudah ada pemikiran mengatasi persoalan banjir, buktinya berupa pembangunan Kanal Banjir Barat. Namun di masa kemerdekaan dan Orde Baru orientasi pemerintah memang ke ekonomi, dan baru di era reformasi isu lingkungan muncul.

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menurut dia, baru menunjukkan bahwa pemerintah peduli soal tata ruang yang sebelumnya hanya sebatas urusan melengkapi dokumen formal saja. “Artinya kita baru 12 tahun mulai memperhatikan soal tata ruang. Jadi masalah kita aware atau tidak, kita berproses untuk lebih aware”.

Dalam pengaturan tata ruang Galuh mengatakan, jelas ada fungsi lindung dan budi daya. Tapi apakah itu dirujuk oleh kementerian terkait yang memiliki lahan ketika bicara aspek fungsi dan kepemilikan, di situ perlu ada koordinasi yang perlu diperbaiki.

Salah satunya harus memakai peta integral yang satu, aspek pengendalian karena selama ini ada tendensi pembiaran disengaja maupun tidak disengaja, kalau tidak sengaja ada aspek sumber daya manusia yang tidak cukup untuk mengawasi. Kalau aspek sengaja, menurut dia, ada proses negosiasi politik antara pemilik daerah maupun itu pemerintah kota atau kabupaten dengan pemilik lahan, katakan lah investor.

“Saya pikir itu jadi masalah di kita. Bagaimana, katakan lah, vila ada yang bisa dibongkar ada yang tidak bisa dibongkar. Ada isu otonomi daerah harus digenjot untuk mendapat PAD, maka dia mencari ruang menggenjot PAD-nya,” kata Galuh yang menyebut persoalan tersebut sangat pragmatis.

Galuh merekomendasikan perlunya pembenahan kebijakan rencana tata ruang wilayah maupun rencana tata ruang daerah sebagai instrumen perencanaan dan pengendalian bencana, selain perlu adanya kebijakan berbasis etika lingkungan.

Baca juga: Menteri LHK instruksikan Dirjen DASHL analisis ilmiah banjir Bengkulu

Solusi multidimensi

Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa banjir Jakarta mencakup multidimensi, ada dimensi iklim, bentang alam, tata ruang dan tata kelola, serta dimensi sosial ekonomi yang melibatkan banyak sektor dan multikepentingan. Dampak limpasan perlu semakin dipertimbangkan dalam formulasi program pembangunan.

Penataan ruang, pengendaliannya serta pengembalian fungsi retensi air di setiap segmen bentang alam harus menjadi perhatian semua pihak. Sedangkan keterlanjuran pemanfaatan ruang di daerah genangan harus dibarengi dengan strategi adaptasi untuk pengurangan risiko bencana.

Keterlanjuran bangunan di daerah resapan harus diimbangi dengan rekayasa meresapkan air ke dalam tanah. Selain itu, rasionalisasi fungsi drainase harus dilakukan seiring dengan perkembangan permukiman dan lahan terbangun.

Warga beraktivitas di dekat bangunan yang terendam air laut di kawasan Penjaringan, Jakarta, Jumat (9/3/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pras.

Bagi masyarakat, beraktivitas di daerah genangan banjir harus menjadi bagian program “bersahabat dengan bencana”. Peningkatan retensi air melalui “bangunan ramah retensi air” dengan memperhatikan estetika harus menjadi arus utama, setidaknya dibutuhkan sumur resapan untuk wilayah Depok sebanyak 186.078 unit atau sebanyak 4.041.296 unit di delapan DAS.

Intervensi kerekayasaan melalui program pengelak banjir (banjir kanal) perlu dipadukan dengan upaya menjaga kapasitas tampung sungai dari sedimentasi dan penumpukan sampah serta upaya-upaya sektor lain.

Terakhir, ujar Hudoyo, penanganan lahan kritis di bagian hulu oleh KLHK sebagai salah satu upaya meningkatkan retensi air, meski bukan merupakan faktor tunggal pengendalian banjir. Upaya tersebut akan dilakukan secara terus menerus dan terprogram sebagai perwujudan “menjaga tapak, merawat peradaban”.

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020