Jakarta (ANTARA) - Sebuah prasasti ditemukan di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu, tidak jauh dari tepian Kali Cakung. Tulisan aksara kuno Pallawa mengitari batu berbentuk mirip telur itu, menceritakan salah satu upaya terawal kerajaan kuno mengatasi permasalahan air di daerah yang kini dikenal sebagai Jakarta.

Prasasti di Jakarta itu kemudian dinamai Tugu. Dan menurut pendapat arkeolog, artefak tersebut kemungkinan merupakan bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara, yang menguasai wilayah barat pulau Jawa dari abad ke-4 Masehi (M) hingga ke-7 M.

Prasasti Tugu Jakarta bercerita tentang pembuatan saluran oleh Raja Purnawarman yang dinamai Gomati serta prestasi pendahulunya yang membuat saluran sungai bernama Candrabhaga, menurut arkeolog Dr Ninie Susanti.

Baca juga: Sunatullah Jakarta

Ninie dan timnya bekerja sama dengan Pusat Konservasi Cagar Budaya Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan DKI Jakarta sudah melakukan pemetaan daerah di sekitar penemuan Prasasti Tugu untuk menentukan di manakah sebenarnya letak Gomati yang ditulis dalam prasasti tersebut.

"Memang kita belum bisa menentukan karena banyak saluran-saluran yang dibuat di kemudian hari. Yang dibuat oleh Punawarman itu jelas alami, tidak dibuat seperti saat ini. Ahli-ahli sudah menduga saluran itu tidak dibuat percuma, tapi dibuat untuk mengurangi banjir baik dari laut atau yang lain sekaligus untuk irigasi," ujar akademikus dari Universitas Indonesia itu.

Tertulis di prasasti tersebut, Raja Besar Purnawarman dalam tahun ke-22 pemerintahannya menitahkan pembuatan saluran Sungai Gomati sepanjang 6122 tumbak atau sekitar 12 kilometer (km). Pembangunan itu selesai dalam tempo 21 hari dan mengalir di tengah-tengah kediaman yang mulia "Sang Pendeta neneknda", yang kemungkinan besar merupakan nenek dari Raja Purnawarman.

Titik pasti dari Candrabhaga dan Gomati sendiri masih menjadi misteri sampai saat ini meski jika dibuat pertimbangan dari sisi linguistik atau toponimi, Gomati bisa berada di sekitar daerah yang sekarang disebut sebagai Kalimati yang berada di Jakarta Utara, tidak terlalu jauh dari tempat ditemukannya Prasasti Tugu.

Candrabhaga, yang digali kemungkinan oleh kakek atau ayah dari Raja Purnawarman, diperkirakan kini merupakan aliran sungai yang dikenal sebagai Kali Bekasi.

Sejarawan: Banjir bukti Jakarta lupa kepada saudara kembarnya


"Dilihat dari proses peletakkan Prasasti Tugu yang ada di Kampung Batutumbuh di Tugu, Jakarta Utara. Tim kami menilai tidak mungkin bahwa menggali kali yang ada di Bekasi dan lalu prasastinya di Tugu," ujar Chaidir Ashari, bagian dari tim Dr. Ninie Susanti yang melakukan studi mendalam tentang Prasasti Tugu.

Namun, Chaidir mengakui perlu ada studi lebih lanjut perihal pembuktian hal tersebut. Terlebih lagi, jika memang Gomati adalah sekarang Kalimati, maka akan sangat sulit membuktikan hal tersebut mengingat sudah ratusan tahun berlalu dan perkembangan modern di wilayah tersebut membuatnya sulit diamati lewat data pengamatan udara.

Sejauh ini, tim arkeolog mengasumsikan pembangunan Sungai Gomati yang menurut Prasasti Tugu dilakukan selama 21 hari itu dilakukan untuk mengalirkan air dengan kemungkinan untuk menyebar air karena terdapat kali besar yang sering meluap, menurut Chaidir.

Bila dibilang sebagai salah satu bentuk mitigasi bencana air yang dilakukan Kerajaan Tarumanegara, ujar Chaidir, kemungkinan besar bisa diasumsikan seperti itu.

Prasasti Tugu sendiri merupakan satu-satunya prasasti Tarumanegara yang berbicara soal perairan dari tujuh prasasti yang berasal dari era kerajaan yang berkuasa di barat Jawa itu.

Dr. Ninie sendiri ingin menegaskan, dengan adanya temuan-temuan dari prasasti itu kebasahan dari Tarumanegara sudah bisa dipastikan dan bahwa orang-orang pada masa itu sudah bijak menanggapi permasalahan dengan air yang terjadi di wilayah kekuasaannya.
 
Beberapa peserta mengikuti lomba rakit di Kali Ciliwung, Jakarta, Minggu (30/5/1995). (ANTARA FOTO/SDF13/pf01/pras)


Museum Nasional

Prasasti Tugu kini menempati rumah barunya di Museum Nasional yang terletak di Jakarta Pusat. Catatan pertama soal penemuan dari prasasti ini pertama kali ditemukan dalam laporan notulen rapat Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau Royal Batavian Society of Arts and Sciences yang dilakukan pada 4 Maret 1879.

Dalam rapat yang membahas penemuan Prasasti Tugu itu, J.A. van der Chijs mengusulkan agar benda bersejarah itu dipindahkan setelah sebelumnya diletakkan sementara di Gereja Tugu yang terletak di Kampung Tugu.

Atas usaha P De Roo de la Faille akhirnya pada 1911 prasasti tersebut dipindahkan ke museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau yang kini dikenal sebagai Museum Nasional.

Penemuan dari Tugu sendiri cukup unik. Menurut Kurator Koleksi Museum Nasional Fifia, prasasti Tugu saat itu terkubur dalam tanah dengan hanya bagian puncak prasasti yang terlihat di permukaan setinggi 10 sentimeter.

Ketika tanah sekeliling Tugu semakin tergerus, maka perlahan-lahan prasasti itu semakin muncul ke permukaan dan oleh masyarakat sekitar akhirnya disebut sebagai batu tumbuh.

"Penamaan daerah itu Kampung Batutumbuh juga ada kaitannya dengan penemuan Tugu. Karena tergerus maka semakin kelihatan dasarnya dan karena itu masyarakat sekitar menamainya seperti itu," ujar dia.

Selain itu, ada satu hal lain yang unik dari Prasasti Tugu yaitu sebagai satu-satunya peninggalan Tarumanegara yang ditemukan di daerah yang kini dikenal sebagai DKI Jakarta.

Lima prasasti lain yaitu Kebun Kopi, Ciaruteun, Muara Cianten, Jambu, dan Pasir Awi ditemukan di daerah Bogor, Jawa Barat sementara satu Prasasti Cidanghiyang ditemukan di daeah Kabupaten Pandeglang, Banten.

Satu hal lain yang unik dari prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa awal berbahasa Sansekerta ini, tegas Fifia, adalah dari semua prasasti yang berasal dari era pemerintahan Purnawarman hanya Prasasti Tugu yang memuat keterangan terbanyak.

Namun, sayangnya dalam prasasti itu tidak tertulis angka tahun meskipun unsur penanggalan lain seperti hari dan bulan sudah terdapat di dalamnya.
 
Sejarawan JJ Rizal ketika ditemui di kediamannya di Depok, Jawa Barat, Selasa (7/1/2020) (ANTARA/Prisca Triferna)


Belajar dari Sejarah

Keberadaan Prasasti Tugu mengingatkan kepada semua bahwa hubungan Jakarta dengan air bukan terjadi hanya dalam puluhan tahun terakhir, tapi bahkan sudah ribuan tahun.

Bahkan, menurut sejarawan JJ Rizal, Jakarta dan air itu sudah seperti saudara karena pembentukan daerah yang dulu disebut Batavia itu sendiri dimulai dari air hujan tropis yang memotong tiga punggung gunung yaitu Pangarango, Gede dan Salak dalam masa pre-historis.

Jakarta masa kini, kata pendiri Komunitas Bambu itu, sudah “mengkhianati” saudaranya, yaitu air, ketika membiarkan 90 persen wilayahnya menjadi ladang abu, yaitu beton, bukannya malah menjadi kota air yang memberi ruang biru dan ruang hijau.

Padahal hubungan erat Jakarta dengan air bisa dilihat dari hal sederhana, yaitu dari sisi toponimi atau linguistik. Banyak daerah di Jakarta yang memiliki nama dengan unsur berkaitan dengan air, seperti penggunaan kata kali dan rawa, dengan contohnya seperti Rawamangun dan Kalideres.

Oleh karena itu, menurut dia, sudah saatnya warga Jakarta berhenti "durhaka" terhadap saudaranya.

Penduduk Ibu Kota, tegas dia, harus berhenti melihat air sebagai musuh dan masalah yang harus dienyahkan dan mulai memikirkan bagaimana hidup berdampingan dengan air.

"Kalau kita lihat Sungai Ciliwung yang ‘dibeton’ itu dipagar tinggi-tinggi seolah-olah kita tidak bisa melihat saudara kita sendiri. Dianggap sebagai momok, menakutkan, yang buruk. Ini yang saya anggap kesalahan besar kita," ujar dia.

Baca juga: Sejarawan sebut air dan Jakarta saudara tidak terpisahkan

Permasalahan banjir di Jakarta, kata dia, tidak akan selesai hanya jika mengambil perspektif teknis dan infrastruktur. Pandangan kebudayaan atau kultur juga perlu dimasukkan ke dalamnya.

Dia mengambil contoh bagaimana penduduk asli Jakarta, yaitu orang Betawi, memiliki beberapa kearifan lokal yang berhubungan dengan air, seperti kepercayaan akan kesakralan buaya putih yang tinggal di sungai-sungai di Jakarta sampai pemberian roti buaya dalam tradisi pernikahan Betawi.

Baca juga: Sungai Citarum pemasok utama air Jawa Barat dan Jakarta

Orang Betawi, ujar dia, melihat buaya sebagai hewan yang dihormati karena dianggap sebagai perwakilan leluhur. Selain itu terdapat tradisi Betawi tempo dulu yang disebut ngancak atau memberikan persembahan sesajen yang diletakkan di dekat sungai, sebuah kearifan lokal agar manusia bisa hidup selaras dengan alam di sekitarnya.

Hal-hal itu seperti bisa menjadi pertimbangan sebagai pendekatan atau pandangan lain untuk mengatasi permasalahan banjir di Ibu Kota.

"Harus ada upaya yang serius dari sekedar perdebatan tentang apa itu normalisasi dan naturalisasi. Dan cara kita mempelajari normalisasi dan naturalisasi menurut saya harus berangkat dari pikiran-pikiran yang sifatnya kultural," kata JJ Rizal.
Baca juga: Jakbar kuras 350 saluran air dan dua waduk

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020