Jakarta,  (ANTARA News) - Rambutmu adalah mahkotamu, dapat disingkat secara serampangan sebagai "ram". Ini terbilang kurang seksi karena ada singkatan yang terdengar sedap di telinga meski pahit terasa di lidah, yakni selingan indah keluarga utuh alias selingkuh.

"Jangan pernah membahas topik seputar selingkuh. Belum waktunya," kata seorang guru kelas sembilan ketika menasehati anak muridnya. Dan seorang murid merespons, "Apa singkatan dari buceri?" Dengan mata setengah membelalak, guru menjawab, "Bule dicat sendiri. Ini gaya rambut yang sedang ngetren bagi perempuan yang ingin tampil seksi." Bukankah warna punya nuansa?

Seisi kelas sontak gaduh, terdengar aksi siul berbalas siul. Abrakadabra... imaji tentang The Ideal Girl di abad krisis terkoreksi dalam penjelasan mengenai keberadaan perempuan bergaya rambut buceri. Apalagi bila dipadu dengan cat pipi tipis merah marun di atas kulit wajah putih kekuningan. Wajahmu adalah mahkotamu.

Apakah wajah masyarakat tampil seksi akhir-akhir ini, setelah pemerintah menurunkan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium menjadi Rp5.500 per liter? Apalagi saat ini Menteri Keuangan serta menteri-menteri terkait tengah menghitung kemungkinan penurunan kembali harga jual premium.

Boleh sedikit berharap meski tidak perlu tergoda oleh buaian angin surga bahwa sudah ditempuh langkah exercise.

"Kita lakukan exercise, perhitungan dengan cermat untuk melihat peluang menurunkan kembali premium dan kalau juga bisa, solar. Agar industri kita bisa ringan," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat evaluasi kinerja Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Gedung Bank Rakyat Indonesia (BRI) pusat, Jakarta, Jumat (5/12).

Kalau perempuan menggoyahkan jagat ketegaran dari lawan jenisnya dengan mengecat rambut menjadi kebule-bulean maka ada makna di seberang sana. Pemikir postmodernis David Harvey menyebutnya sebagai kebangkitan perasaan baru di tengah cepatnya roda sektor konsumsi.

Menurut Harvey, kesementaraan tengah menyelinap dalam dunia mode, produk, proses bekerja, ideologi, nilai dan perilaku keseharian termasuk persahabatan dan nilai sakral perkawinan.

Kata kesementaraan hendaknya digarisbawahi. Sedangkan futurolog Alvin Toffler mengartikulasikannya sebagai gejala dari masyarakat pembuang (throw away society). Tidak ada yang mapan, karena yang ada hanya kesementaraan. Ini litani dari perempuan bergaya rambut buceri.

Baik Harvey maupun Toffler menyatakan perubahan mendalam terjadi pada taraf kejiwaan seseorang karena tersandera oleh kesementaraan. Konsensus tererosi, kesetiaan jadi barang langka, komitmen jadi fosil. Ujung-ujungnya, relatif sarat onak dan bebatuan ketika seseorang atau kelompok ingin menjalankan rencana jangka panjang.

Muncullah ungkapan bernada nyinyir dari kasanah persahabatan, "Ada uang abang disayang, enggak ada uang abang ditendang." Inikah salah satu pencitraan dari kebutuhan akan manipulasi rasa dan opini. Kalau dideskripsi dalam gambar, (maaf), seorang perempuan dengan kedua mata dan wajah yang berekspresi "menggoda" tengah menarik dasi pria mitranya. Aksi berbalas seksi.

Dunia periklanan pun laku keras bak kacang goreng. Karena wajah yang dihiasi rambut kebule-bulean atau hitam pekat bagi perempuan, serta pria bergaya macho, tampil sebagai santapan telak bagi dunia iklan. Bahasa sehari-harinya, jual tampang bagi pencitraan diri.

Mereka ini pengekor dari aksioma bahwa iklan tidak sekedar memberitahu atau mempromosikan tetapi bermetamorfosis menjadi usaha memanipulasi hasrat. Imaji jadi komoditas. Wajah dipoles, bibir digincu dan penampilan pun diberi predikat sebagai keren habis.

Padahal, daya kecoh (virtual reality) mengendap dan mengintip mereka yang suka memburu pencitraan diri. Bagi mereka ini, schizofrenia bayaran kontannya. Orang tidak lagi dapat membedakan antara dunia kenyataan dan bayangan. Lahirlah pribadi terpecah yang tertantang untuk berkompetisi dalam membangun imaji.

Konsekwensinya, usaha mensponsori kegiatan berkesenian, amal dan olahraga sama pentingnya dengan investasi dalam mesin-mesin produksi. Di tengah iklim serba kompetitif untuk mengejar pencitraan diri, bukan tidak mungkin ada upaya memanipulasi. Persetan dengan rambu-rambu etika. Jadilah, estetika mengatasi etika.

Tetapi ada secercah harapan di laga ekonomi, paling tidak di tingkat akar-rumput. Pemerintah memutuskan untuk mendongkrak nilai penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi Rp2 triliun sehingga total kredit yang dapat digelontorkan pada 2009 menjadi Rp20 triliun.

Keputusan itu ditelorkan dalam rapat evaluasi kinerja KUR yang dipimpin Presiden Yudhoyono dan dihadiri oleh jajaran menteri-menteri ekonomi, Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, serta kalangan perbankan.

Keputusan pemerintah untuk menaikkan nilai pinjaman KUR menjadi dua kali lipat dari Rp1 triliun pada 2008 menjadi Rp2 triliun pada 2009, menurut Presiden, merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk menggerakkan sektor riil dalam mengatasi dampak krisis keuangan global.

Mesin skenario 2009 belum mengepul mulus. "Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memprediksi akan terjadi PHK 500 ribu sampai 1 juta orang hingga 1 juta orang hingga akhir 2009," kata Direktur Pengembangan Pasar Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Reyna Usman Ahmadi.

Menurut data Tim Monitoring Depnakertrans, jumlah pekerja yang terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai 66.603 orang. "Untuk yang rencana PHK suratnya sudah masuk jumlahnya 23 ribuan dan untuk yang rencana dirumahkan ada 19 ribuan pekerja," kata Menakertrans Erman Suparno saat raker bersama Komisi IX DPR pekan lalu.

Apa yang dapat ditangguk dari ketidakmenentuan dan kesementaraan ini? Ada ketersediaan nilai fantastis yang dibalut kebahagiaan fisik, meski ada bayang-bayang hilangnya kepastian akan masa depan (the loss of sense of the future). Hasilnya, ketidaknyamanan.

Semakin sementara kondisinya, semakin orang mencari sesuatu yang abadi, yakni sesuatu yang lebih memuat jaminan keamanan di masa depan. Pemilik modal pun terus bertanya, "Jualan apa yang bisa laku keras."

Jawabnya bernuansa sloganistis, "think globally and act locally". Seksi! (*)



 

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008