Jakarta (ANTARA News) - Direktur Ekskutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, PhD menegaskan, di negara demokratis, seperti Amerika Serikat (AS) bahwa peran lembaga survei atau peneliti merangkap konsultan politik sudah menjadi hal yang lumrah.
Deny JA mengemukakan hal tersebut dalam siaran pers yang diterima ANTARA News, di Jakarta, Kamis, menanggapi pernyataan beberapa pihak di media yang mempersoalkan netralitas lembaga survei karena memiliki peran ganda sebagai konsultan politik.
Dia meminta agar semua pihak memahami dan menyimak dengan benar tentang kredibilitas dan peran lembaga survei dan konsultan politik yang ada. "Tak ada salahnya jika kita belajar dari negara-negara yang sudah maju," ujarnya.
Deny mencontohkan, di AS, banyak lembaga survei yang juga menjadi konsultan politik. Bahkan sejak 1969 sudah berdiri lembaga konsultan politik yang bernama "American Association of  Political Consultant". Asosiasi konsultan politik yang sudah ada sejak 39 tahun silam itu merupakan asosiasi konsultan politik terbesar di dunia.
"Asosiasi ini tak sekadar beranggotakan konsultan politik tetapi juga pollsters (peneliti survei opini publik)," katanya.
Lebih lanjut peraih beberapa award ini mencontohkan, seorang Dick Morris adalah konsultan politik yang pernah di sewa Bill Clinton, mantan presiden AS pada 1994â?? 1996 dan ia juga seorang pollster.
Selain itu, seorang Mark J. Penn adalah presiden dari lembaga riset terkemuka yaitu Polling Firm Penn, Schoen and Berland Associates. Ia adalah konsultan politik sekaligus seorang pollster yang belum lama menjadi konsultan politik Hillary Clinton pada pilpres Amerika Serikat  2008 lalu.
Untuk mengetahui data tentang lembaga konsultan politik yang merangkap sebagai pollster yang ada di Amerika Serikat ini dapat akses di website atau situs http://en.wikipedia.org/wiki/dick_morris, http://en.wikipedia.org/wiki/Mark_Penn, http://en.wikipedia.org/American_Association_of_political_consultan.
"Jadi sesungguhnya tak ada masalah konsultan politik merangkap pollsterâ?? tegas Denny JA.
Namun demikian, Denny menyadari, profesi sebagai peneliti survei opini publik merangkap konsultan politik merupakan tradisi baru di Indonesia, sehingga wajar saja jika masih ada pihak yang mempertanyakan. Padahal di negara yang sudah maju seperti Amerika, hal ini merupakan profesi yang sudah lazim terjadi.
"Jadi persoalannya sekarang adalah bukan terletak pada masalah boleh merangkap atau tidak tetapi lebih pada profesionalisme dan track record lembaga yang menjadi ukurannya," tegasnya.
Soal kredibilitas dan akurasi hasil survei, Lingkaran Survei Indonesia sudah membuktikan sebagai lembaga survei paling akurat dan sebagai konsultan politik paling efektif. Oleh karena itu lanjut Denny, lembaganya mendapat 7 rekor MURI yang sampai saat ini belum terpecahkan.
Selama ini Lingkaran Survei Indonesia sudah melakukan Quick Count sebanyak 67 kali dalam pilkada dan tercatat sebagai lembaga survei paling banyak melakukan Quick Count dan hasilnya tak satupun pemenangnya berbeda dari yang diumumkan KPUD. Penghargaan rekor Quick Count paling presisi juga masih belum terpecahkan yaitu hanya selisih 0.05 persen dari hasil perhitungan KPUD (Pilkada Tanjung Jabung Timur, Jambi 2005).
"Fakta sudah berbicara bahwa konsultan politik dapat juga menjadi lembaga survei paling akurat. Namun sebaliknya, ia bisa buruk sebagai konsultan politik dan buruk sebagai lembaga survei. Yang perlu dicermati adalah track record lembaga itu," ungkap peraih gelar doktor dari Ohio State University AS ini.
Menanggapi adanya sinyalemen lembaga survei yang diduga melakukan survei atas pesanan, Denny mengatakan hal itu serahkan saja pada publik untuk menilai apakah lembaga survei tersebut kredibel atau tidak.(*)     

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008