Bila pembentukan DKN dipaksakan karena utang politik, dikhawatirkan rekomendasi disampaikan kepada presiden lebih condong merupakan kepentingan politik. Jangan sampai DKN hadir ini jadi upah politik. Ini bahaya
Jakarta (ANTARA) - Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) meminta pemerintah tidak memaksakan rencana pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang dinilai tidak ada mendesaknya.

"Bila pembentukan DKN dipaksakan karena utang politik, dikhawatirkan rekomendasi disampaikan kepada presiden lebih condong merupakan kepentingan politik. Jangan sampai DKN hadir ini jadi upah politik. Ini bahaya," kata Koordinator PBHI, Julius Ibrani, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin, menyikapi wacana pembentukan DKN.

Selama ini, lanjut dia, draf DKN dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan masyarakat sipil. Pemaparan dan pembahasan draf hanya dilakukan di lingkungan terbatas seperti di Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas), Bappenas dan TNI.

Julius menilai upaya pembentukan DKN tak lepas dari langkah kewenangan yang kandas lantaran Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) mendapat penolakan hingga tak disahkan parlemen.

"Pemaparan (DKN) sudah di Wantanas, Bappenas, dan TNI. Kebiasaan buruk dalam menyusun kebijakan dari pemerintah. Ketika RUU gagal kemudian dilemparkan ke ruang yang lebih sempit," kata Julius dalam diskusi bertema Problematika Pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) di Komnas HAM.

Baca juga: TKN Jokowi-Ma'ruf: DKN mampu selesaikan kasus 1998

Ia berpendapat, kemunculan DKN akan memunculkan berbagai permasalahan di sektor keamanan nasional.

Masih adanya kerancuan dalam terminologi keamanan nasional memperparah potensi tumpang tindih baik anggaran, kewenangan dengan lembaga terkait seperti Kemenko Polhukam dan Wantannas.

Julius pun mempertanyakan urgensi pembentukan DKN dengan keberadaan lembaga-lembaga lain yang memiliki fungsi serupa saat ini.

"Tumpang tindih anggaran, kewenangan. Kepentingan publiknya dimana, lembaganya siapa. Setiap lembaga yang sudah ada tidak berjalan koordinaasi. Tidak ada evaluasi koordinasi," ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Charles Honoris mengatakan parlemen tak sekalipun dilibatkan dalam pembahasan DKN.

Baca juga: Pembentukan Dewan Keamanan Nasional diminta transparan

Saat ini, Presiden Joko Widodo telah memiliki supporting system yang baik perihal pertahanan dan keamanan, sehingga keberadaan DKN dipandangnya tak memiliki urgensi.

"Ada Menko Polhukam, mengkoordinir bidang pertahanan dan keamanan, membawahi TNI dan Polri. Ada Dewan Ketahanan Nasional yang memberikan kajian ancaman nasional, ada Lemhannas, ada Wantimpres berisi tokoh-tokoh lintas sektor. Kalaupun ada ancaman multi dimensi, sudah ada Wantimpres. Ada juga KSP diisi Kepala Staf Presiden dibantu tokoh lintas sektor dan berbagai ahli di masing-masing bidang," papar Charles.

Oleh karena itu, dia melihat belum ada urgensi mendirikan institusi baru namanya DKN.

"Kalau pemerintah memaksakan adanya DKN, bagi saya akan menimbulkan tumpang tindih, bagaimana Menkopolhukam, atau DKN yang akan didengarkan presiden," tutur Charles.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020