Jangan sampai, kemudian ratifikasi ini nantinya hanya dinikmati oleh level atas. Jangan sampai value (nilainya) tidak ada untuk rakyat,
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menginginkan perjanjian internasional dapat benar-benar selalu menguntungkan Republik Indonesia, jangan sampai hanya memberikan keuntungan semu di depannya tapi kemudian kerugian pada masa mendatang.

"Ratifikasi atau perjanjian perdagangan internasional antara Indonesia dengan negara-negara luar harus memiliki potensi yang menguntungkan dalam negeri," kata Herman Khaeron dalam rilis yang diterima di Jakarta, Selasa.

Dia mencontohkan produk sawit yang saat ini sedang dilarang oleh negara-negara Eropa, sehingga seharusnya Indonesia dapat lebih kritis menyikapi ratifikasi perdagangan internasional dengan Eropa.

Politisi Partai Demokrat itu berpendapat, bila perjanjiannya memberikan ruang untuk pintu masuk sawit masuk ke Eropa, maka hal itu dinilai bagus untuk memperkuat perdagangan atau ekspor sawit negara kita ke negara-negara Eropa.

Ia juga mengingatkan agar ratifikasi perdagangan internasional harus berisikan langkah-langkah konkrit peningkatan ekonomi masyarakat berbasis UMKM serta koperasi.

Sedangkan merujuk kepada perjanjian bilateral, lanjutnya, maka ratifikasi perdagangan internasional harus memikirkan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia.

"Pelibatan terhadap perekonomian nasional harus melibatkan seluruh sektor ekonomi yang basisnya UMKM serta koperasi. Dengan tujuan, agar asas pertumbuhan adil merata dapat dipenuhi. Jangan sampai, kemudian ratifikasi ini nantinya hanya dinikmati oleh level atas. Jangan sampai value (nilainya) tidak ada untuk rakyat," katanya.



Baca juga: Mufti: Penuntasan perjanjian dagang internasional dongkrak ekspor RI
Baca juga: Kemendag tingkatkan perjanjian internasional dongkrak ekspor


Terkait perdagangan internasional, sebelumnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengingatkan bahwa hambatan berlebihan terhadap proses dan mekanisme impor dapat berakibat terhambatnya investasi dari perusahaan terutama mereka yang masih membutuhkan bahan baku dari luar negeri.

"Kalau pemerintah memberikan pembatasan terhadap impor yang berlebihan, tidak hanya akan berdampak pada kerugian yang dirasakan oleh negara eksportir, tetapi dapat menghambat pertumbuhan investasi di dalam negeri," kata Galuh Octania.

Menurut dia, pada saat ini masih banyak produk Indonesia yang membutuhkan bahan baku yang tidak dapat disediakan oleh dalam negeri sehingga butuh melewati impor.

Namun, lanjutnya, bila terdapat regulasi restriksi impor yang berlebihan, maka depannya juga berpotensi membuat produk Indonesia yang diekspor akan mengalami penurunan nilai.

Ia menegaskan bahwa sampai saat ini, Indonesia masih menerapkan berbagai bentuk hambatan non tarif. Padahal Indonesia harus menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam mentaati perjanjian dagang internasional, salah satunya melalui penghapusan hambatan non tarif dan juga menghilangkan restriksi (pembatasan) pada perdagangan internasional.

Indonesia, lanjutnya, sudah menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) WTO pada 1994 lalu yang menyebutkan kalau hambatan nontarif tidak boleh menjadi pembatasan dalam perdagangan.

Ia berpendapat bahwa walaupun pemerintah sudah meratifikasi GATT WTO tersebut lewat Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 1994, peraturan turunannya justru menjadi hambatan non tarif sehingga bertolak belakang dengan keinginan guna memangkas peraturan yang menghambat investasi dan ingin meningkatkan ekspor Indonesia.

Baca juga: Jokowi - Ma'ruf diminta dalami perjanjian internasional demi sinergi
Baca juga: IGJ: DPR baru harus kawal perjanjian perdagangan internasional
Baca juga: Indef: Perjanjian internasional tingkatkan neraca perdagangan

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020