Beijing Treaty memberikan pengakuan atas hak moral dan hak ekonomi pelaku pertunjukan audiovisual sehingga bisa mendapatkan perlindungan dan kompensasi dari penggunaan karya-karya kreatif mereka
Jakarta (ANTARA) - Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional lainnya di Jenewa Duta Besar Hasan Kleib, secara resmi menyampaikan instrumen ratifikasi Traktat Beijing mengenai Pertunjukan Audiovisual (Beijing Treaty) kepada Direktur Jenderal World Intellectual Property Organization (WIPO) Francis Gurry, Markas Besar WIPO di Jenewa, Swiss, Selasa (28/1).

Beijing Treaty adalah perjanjian multilateral tentang pertunjukan audiovisual yang disepakati pada 26 Juni 2012 dan mengatur hak kekayaan intelektual untuk pertunjukan audiovisual dan memperluas hak-hak para pelaku pertunjukan.

Penyerahan instrumen ratifikasi Beijing Treaty kali ini memiliki arti yang sangat penting. Berkat ratifikasi Indonesia sebagai negara ke-30 maka traktat ini mulai berlaku tiga bulan dari disampaikannya notifikasi ini.

Beijing Treaty memberikan pengakuan atas hak moral dan hak ekonomi pelaku pertunjukan audiovisual sehingga bisa mendapatkan perlindungan dan kompensasi dari penggunaan karya-karya kreatif mereka.

Ratifikasi Beijing Treaty oleh Indonesia menjamin bahwa pelaku pertunjukan Indonesia memiliki memiliki hak yang sama dengan pelaku pertunjukan di negara-negara anggota WIPO yang telah meratifikasi traktat ini.

“Perkembangan teknologi saat ini terjadi dengan pesat di mana pertunjukan audiovisual tidak hanya dapat dinikmati secara langsung maupun TV publik namun juga melalui TV berbayar dan internet. Pemberian perlindungan bagi pelaku pertunjukan sangat penting dalam pembangunan kreativitas nasional karena akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kreatif secara signifikan serta memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat,” kata Wakil Tetap RI Duta Besar Hasan Kleib melalui keterangan tertulis PTRI Jenewa, Rabu.

Di saat yang sama, Dubes Kleib juga menyerahkan instrumen ratifikasi Traktat Marrakesh untuk Fasilitasi Akses atas Ciptaan yang Dipublikasi bagi Penyandang Disabilitas Netra, Gangguan Penglihatan, atau Disabilitas dalam Membaca Karya Cetak (Marrakesh Treaty).

Marrakesh Treaty yang disepakati pada 27 Juni 2013 merupakan penambahan atas traktat internasional di bidang hak cipta.

Marrakesh Treaty memiliki dimensi kemanusiaan dan pembangunan sosial yang jelas dengan tujuan utama untuk menciptakan seperangkat standar batasan dan pengecualian untuk kepentingan penyandang disabilitas netra, gangguan penglihatan, dan disabilitas dalam membaca karya cetak.

Traktat ini memperkenalkan batasan dan pengecualian terkait produksi, distribusi, dan pembuatan karya cetak agar dapat diakses dan dimanfaatkan oleh penyandang disabilitas netra, gangguan penglihatan, dan disabilitas.

Ratifikasi Beijing Treaty dan Marrakesh Treaty merupakan wujud nyata komitmen Pemerintah Indonesia dalam memberikan jaminan kekayaan intelektual dan kepastian perlindungan hukum bagi pelaku pertunjukan audiovisual di Indonesia serta jaminan pemanfaatan pengecualian hak cipta bagi penyandang disabilitas netra, gangguan penglihatan, dan disabilitas.


Baca juga: Indonesia pimpin sidang internasional terkait kekayaan intelektual

Baca juga: Indonesia berpartisipasi dalam bazar amal PBB




Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020