Shanghai mampu mengoptimalkan 'resources' hingga menerapkan teknologi tepat guna dalam mengatasi potensi bencana banjir
Shanghai (ANTARA) - Secara geografis, Shanghai sangat tepat sebagai jantung perekonomian China karena letaknya di tengah-tengah garis pantai timur dan selatan muara Sungai Yangtze, sehingga pelabuhannya disebut-sebut paling sibuk di dunia, sejajar dengan Singapura dan Rotterdam di Belanda.

Dengan ketinggian dari permukaan air laut yang hanya tiga meter ditambah dengan aliran sungai besar, menjadikan kota setingkat provinsi di pesisir timur China itu, sangat rentan terhadap ancaman banjir.

Apalagi dalam beberapa dekade, pertumbuhan urbanisasi di Shanghai sangat pesat seiring dengan pesatnya pertumbuhan perekonomian kota termaju dan terkaya di China itu.

Indeks kerentanan banjir di kota-kota pesisir China pada 2012 menempatkan Shanghai sebagai kota yang paling rentan terkena banjir. Shanghai juga beberapa kali mengalami banjir.

Zhengzheng Zhou PhD dari Departemen Teknik Hidrolik Tongji University dalam penelitiannya mengidentifikasi tiga kejadian banjir besar di Shanghai.

Pertama, banjir yang terjadi pada tahun 1991 yang dipicu oleh hujan deras disertai badai. Saat itu, banjir besar melanda daerah pinggiran. Jalan umum dan sekitar 340 ribu rumah warga tergenang.

Banjir besar kedua pada 25 Agustus 2008 yang disebabkan hujan sangat lebat. Sedikitnya 150 ruas jalan utama tergenang air dengan ketinggian antara 10 hingga 40 centimeter, 11 ribu rumah warga tergenang air setinggi 5-10 centimeter, dan 30 jadwal penerbangan tertunda.

Banjir besar ketiga terjadi pada 8 Oktober 2013 yang disebabkan oleh topan dan hujan deras hingga aliran Sungai Huangpu yang membelah kota berpenduduk 24,16 juta jiwa itu meluap, tanggul banjir setinggi 15 meter jebol, dan permukiman warga turut terendam.

Dari situ dapat disimpulkan bahwa banjir di Shanghai disebabkan oleh tiga faktor topan, hujan lebat, dan meningkatnya ketinggian air di pesisir, demikian Zhou dan kawan-kawan dalam jurnal bertajuk Bencana Banjir dan Upaya Pengendaliannya yang dipublikasikan pada 2016.

Meskipun jarang diterjang badai, Shanghai hampir setiap tahun diguyur hujan deras, terutama pada Mei-September, yang menimbulkan genangan di mana-mana.

Dalam beberapa dekade, ketinggian air Sungai Huangpu yang membelah Kota Shanghai terus bertambah, terutam pada Agustus dan September.

Baca juga: Nasib Tanggul Laut Raksasa Jakarta penahan banjir

Pusat Pengendalian Banjir dan Pencegahan Kekeringan Nasional China pernah meluncurkan strategi yang mengintegrasikan kerangka kerja pengendalian banjir dan sistem penanggulangan bencana.

Secara teknis, ada tiga sistem pertahanan yang diterapkan dalam menghadapi banjir. Pertama, pembangunan tanggul laut sepanjang 532 kilometer yang membentang dari muara Sungai Yangtze hingga Teluk Hangzhou sejak 1950-an.

Kedua, pembangunan tanggul pengendalian banjir sepanjang 511 kilometer di sepanjang Sungai Huangpu untuk melapisi tanggul pertama.

Pertahanan ketiga, menerapkan sistem pengendalian genangan air regional. Di kawasan permukiman ada 14 zona pengendalian yang dilengkapi pompa air berkapasitas 1.491 meter kubik per detik untuk mengurangi risiko genangan air.

Secara nonteknis, pada 2014 Shanghai mengomparasikan berbagai sistem mulai dari komando pengendalian, regulasi, keputusan, dan penanganan bencana banjir. Perpaduan sistem tersebut sangat efektif dalam penanganan banjir.

Dari situ dapat disimpulkan, ternyata penanganan banjir di Shanghai sangat rumit dan membutuhkan penanganan yang komprehensif.
 
Konsep Kota Spons yang diterapkan di area Lingang yang diproyeksikan mampu menyerap 70 persen air hujan pada 2020. (ANTARA/HO-Shine/mii)


Strategi Baru
Pada 2014, Kementerian Perumahan dan Pembangunan Kawasan Permukiman China (MHURD) mengeluarkan strategi baru yang diberi nama "Sponge City" atau Kota Busa.

Konsep utama dari strategi ini adalah menciptakan harmonisasi dengan cara menyimpan, menahan, meresap, menjernihkan, dan mengalirkan air hujan.

Sebuah proyek percontohan untuk membantu daerah Lingang, area seluas 79 kilometer persegi di pesisir timur Kawasan Pudong Baru, dijadikan zona percontohan "Kota Spons" terbesar di China.

Parit, rumput, jalan setapak, dan lahan basah di area baru itu sangat bermanfaat untuk menyimpan air. Trotoarnya terbuat dari batu bata yang bisa menyerap air sehingga dengan cepat mampu mengurangi genangan.

Lalu, ada danau buatan di area yang dikembangkan oleh Lembaga Rekayasa Kota Shanghai itu, yang berfungsi sebagai tadah hujan.

Rumput dan tumbuhan ditanam di atas taman berfungsi menjernihkan air hujan yang ditampung dalam kolam.

Air dari kolam itu dialirkan ke fasilitas pencucian kendaraan bermotor yang dibangun di tempat parkir. Tempat parkir itu sendiri lantainya dari batu bata berdaya serap tinggi sehingga sama sekali tidak menimbulkan persoalan baru yang disebut genangan.

Konsep ini membantu Lingang menghadapi topan Lekima pada Agustus 2019 di pantai timur China, demikian Asisten Direktur Pusat Penelitian "Kota Spons" Lingang, Lu Yongpeng, dikutip Shine.com.

Tentu saja konsep tersebut tidak murah. Pemkot Shanghai menyulap jalan sepanjang 36 kilometer dengan menggunakan material khusus agar mampu menyerap air hujan sekaligus mendistribusikannya ke anak-anak sungai di kedua sisi jalan.

Merenovasi taman seluas 14.200 meter persegi di dekat permukiman. Taman tersebut mampu menyerap 158 meter kubik air hujan dan menyimpan 190 meter kubik lainnya di kolam dan lahan basah.

Selain itu, dibangun pula taman baru seluas lima kilometer persegi, saluran air baru sepanjang 40 kilometer, dan danau buatan seluas 510.000 meter persegi di area Lingang agar mampu menyimpan 900.000 meter kubik air hujan.

Baca juga: Satu garis hulu hilir bebas banjir

Teknologi berbasis kecerdasan artifisial (AI) juga disematkan di Lingang untuk memantau curah hujan dan sistem pengendalian banjir.

Pemkot Shanghai perlu lahan seluas 200 kilometer persegi lagi untuk pembangunan area spons agar mampu mengelola 70 persen air hujan pada 2020.

Program Kota Spons yang fokusnya adalah menyerap luapan air tidak hanya diterapkan di Shanghai, melainkan juga di Wuhan (Provinsi Hubei) dan Xiamen (Provinsi Fujian).

Kota-kota di China, terutama yang langganan banjir, akan memanfaatkan 80 persen area perkotaan agar bisa menyerap sedikitnya 70 persen air hujan pada tahun ini.

"Shanghai mampu mengoptimalkan 'resources' hingga menerapkan teknologi tepat guna dalam mengatasi potensi bencana banjir," komentar Wandi Adriano dari Konsulat Jenderal RI di Shanghai, Rabu (22/1).

Informasi yang dihimpun ANTARA di Shanghai, menyebutkan bahwa sudah ada penjajakan kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Shanghai dalam pembangunan infrastruktur karena kedua wilayah beda negera itu memiliki kemiripan karakteristik. Sama-sama di pesisir, sama-sama dilewati banyak aliran sungai.

Namun, tidak diketahui kapan kerja sama tersebut ditindaklanjuti, mengingat draf nota kesepahaman sudah dibahas oleh kedua belah pihak.

Baca juga: Kanal-kanal pengendali banjir Jakarta
Baca juga: Jakarta dan air bersaudara

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020