Tanjungpinang (ANTARA) - Angin laut mengayun perahu kecil yang parkir di bibir Perairan Kawal, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

Puluhan kelong, alat tangkap ikan berupa bangunan dari kayu yang dipasang jaring di bagian tengahnya, menepi. Kelong apung menepi lantaran tidak sanggup menghadapi musim angin utara.

Suara angin yang kuat di antara dinding batu miring, persis di bawah Jembatan Kawal memecah kesunyian siang pekan lalu.

Di atas belasan perahu yang berjejer itu, tampak sejumlah nelayan sibuk membenahi jaring, memasang umpan pada bubuh dan menguras air di perahu.

Mereka harus menyelesaikan pekerjaan itu sebelum petang. Saat malam, mereka mulai memasang bubuh untuk menjerat kepiting atau ketam di sekitar pepohonan bakau di sekitar perairan itu.

Nelayan lainnya siap mengarungi gelombang tinggi untuk memancing dan menjaring. Perahu kecil dengan panjang 5-8 meter, dan lebar 1,5 meter itu, ke tengah laut nan jauh dari pulau-pulau.

"Di sini tidak ada ikan yang besar. Jadi kami harus ke tengah laut, mencari kawasan yang banyak karangnya," kata Parno yang sudah belasan tahun berprofesi sebagai nelayan.

Ratusan nelayan Kawal bernasib sama. Mereka harus menyiapkan solar lebih dari 20-30 liter agar menangkap ikan di perairan yang jauh. Hasilnya pun belum pasti, karena mereka hanya dapat berusaha.

Kadang mereka membawa ikan yang banyak, kemudian menjualnya kepada tauke. Namun, mereka juga pernah mendapat beberapa ekor ikan setelah seharian mengarungi gelombang yang tinggi. Ikan itu hanya cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga.

Kondisi itu seolah mematahkan persepsi orang yang umumnya menganggap pekerjaan sebagai nelayan, tidaklah sulit. Nelayan dianggap pekerjaan yang mudah.

Baca juga: BMKG imbau nelayan waspadai gelombang 7 meter

Baca juga: Penambangan pasir ilegal kembali marak di Bintan

Baca juga: Membongkar drama pertambangan pasir ilegal di Bintan



Musim angin utara

Musim angin utara menjadi momok bagi nelayan. Gelombang tinggi, angin kencang dan cuaca yang tidak bersahabat lainnya setiap November hingga Februari kerap mengganggu aktivitas nelayan.

Banyak nelayan yang tidak ingin mengambil risiko saat musim angin utara. Mereka memilih bekerja di darat. Bahkan mereka enggan menyewakan perahunya untuk mengantar pemancing.

Sementara nelayan lainnya, seperti Yoyok dan Parno memilih tetap bekerja. Yoyok mencari kepiting di rawa-rawa yang ditumbuhi pohon bakau, sedangkan Parno memilih menyewakan perahunya kepada para pemancing.

ANTARA dan wartawan lainnya menyewa perahu milik Parno untuk mengetahui bagaimana kondisi nelayan tradisional memancing ikan saat musim angin utara. Gelombang laut di awal perjalanan, masih tenang.

Perahu mengarah di Perairan Galang Batang dan di sekitar Pulau Pangkil. Gelombang laut mulai mengayun perahu ketika memasuki Pulau Hantu, dekat Perairan Galang Batang.

Parno mulai ketakutan ketika mendekati Pulau Hantu. Selama ini, nelayan merasa takut melintasi perairan di pulau itu.

"Tidak kuat kita lewat di tempat ini. Banyak yang tidak selamat," ucapnya.

Parno kemudian mengarahkan perahunya ke arah timur, dekat kawasan yang disebut-sebut sebagai "batu". Di lokasi ini, biasanya banyak nelayan yang memancing ikan. Namun, dalam tiga tahun terakhir, nelayan kesulitan mendapatkan ikan di kawasan itu. Hal itu disebabkan sejumlah kapal isap pasir beroperasi.

Menuju kawasan "batu" itu, ternyata tidak mudah. Gelombang setinggi 2 meter menghantam perahu berbadan panjang 8 meter dan lebar 1,5 meter. Beberapa kali perahu yang berupaya menembus gelombang tinggi itu terhempas dan nyaris terbalik.

Air laut masuk ke dalam perahu. Parno sibuk mengambil terpal untuk menutupi tubuh wartawan yang basah.

"Pertarungan" melawan gelombang berlangsung selama setengah jam. Parno berhasil membawa wartawan ke kawasan "batu". Di kawasan itu, gelombang agak bersahabat.

Parno pun melemparkan jangkar ke laut. Kemudian ia dan wartawan pun mulai mengeluarkan pancingan gulung dan cumi sebagai umpan.

Selama sejam Parno memancing, hanya sekitar lima ekor ikan yang didapat. Ikan itu dikenal dengan nama ikan pasir. Sementara wartawan tidak memperoleh ikan.

"Ternyata sulit mendapatkan ikan," kata Aji Anugraha, wartawan pijarkepri.com, yang ikut memancing.

Baca juga: Pengusaha bantah sebagai pimpinan kartel pasir ilegal Bintan

Baca juga: Polres Bintan tertibkan penambangan pasir ilegal



Kapal Isap

Di sekitar lokasi pemancingan tampak sejumlah kapal isap yang menyedot pasir. Kapal itu mengangkut pasir menuju kawasan industri PT Bintan Alumina Indonesia.

Perairan Galang Batang menjadi kotor akibat aktivitas penyedotan pasir yang berulang kali ditolak nelayan lokal. Hal itu disebabkan nelayan di Kawal kesulitan mencari ikan di kawasan tersebut.

Nelayan bisa mendapatkan ikan sebelum aktivitas reklamasi. Penghasilan kotor dalam sehari berkisar antara Rp300.000-Rp500.000, namun sekarang hanya sekitar Rp100.000-150.000.

Uang kompensasi yang diberikan kepada para nelayan Rp200.000/bulan, namun tidak semua nelayan menerimanya.

"Sekitar setahun lalu kami pernah protes, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Nelayan hanya diberikan Rp200.000/bulan. Saya termasuk nelayan yang menolaknya," kata Parno, salah seorang nelayan lokal.

Kondisi ini mendesak nelayan harus menjauh dari lokasi pengisapan pasir ketika melaut. Kelompok nelayan hanya menginginkan pemerintah memperhatikan permasalahan ini dengan menyediakan kapal besar jika tidak dapat membenahi perairan yang sebelum perusahaan itu beroperasi memiliki banyak karang.

"Kapal besar itu supaya kami bisa melaut ke lokasi yang jauh, yang banyak ikan," katanya.

Dinas Perhubungan Provinsi Kepulauan Riau tidak mengetahui proyek pendalaman alur di Perairan Galang Batang, Kabupaten Bintan.

Kepala Dishub Kepri, Jamhur Ismail, di Tanjungpinang, Jumat, mengaku baru mendapatkan informasi tersebut.

"Saya baru mendengar informasi itu. Nanti saya mau periksa kebenarannya," ujarnya.

Jamhur tidak merespons ketika diinformasi bahwa proyek pendalaman alur itu sudah lama terjadi. Bahkan ia mengaku tidak mengetahui pasir laut yang diisap melalui kapal isap diangkut ke kawasan reklamasi PT Bintan Alumni Indonesia (BAI)

"Saya belum tahu permasalahan itu. Sudah lama ya? Nanti kita periksa sama-sama ya," ucapnya.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Kepri, Hendri Kurniadi mengaku belum mengetahui aktivitas kapal isap tergolong pertambangan atau pendalaman alur. Namun, perusahaan yang melakukan pendalaman alur itu harus mengantongi Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) jika menjual kepada PT BAI.

"Tidak ada IUP OP yang dikeluarkan pemda untuk kegiatan itu. Jika terbukti ilegal, maka kegiatan itu merugikan negara dan harus dihentikan," katanya.*

Baca juga: Pasir ilegal di Bintan rugikan masyarakat

Baca juga: Tambang pasir ilegal merajalela di Bintan

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020