Perjanjian perdagangan regional harus melampaui liberalisasi perdagangan dan tarif untuk memberikan manfaat nyata
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Salvador Buban menyatakan bahwa negara-negara anggota ASEAN perlu melakukan harmonisasi regulasi untuk meningkatkan kinerja perdagangan di kawasan Asia Tenggara.

"Untuk meningkatkan kinerja perdagangan, perjanjian perdagangan regional harus melampaui liberalisasi perdagangan dan tarif untuk memberikan manfaat nyata," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.

Baca juga: ASEAN geser AS di peringkat kedua mitra dagang terbesar China

Menurut dia, sangat penting untuk saat ini agar berbagai pihak dapat mengatasi tindakan nontarif dan masalah fasilitasi perdagangan lainnya, dalam program kerja yang transparan, dapat ditindaklanjuti, dan realistis.

Salvador menjelaskan bahwa database ERIA-UNCTAD Non-Tariff Measure (NTM) yang baru-baru ini diperbarui adalah langkah penting dalam menangani NTM karena meningkatkan transparansi.

"Tetapi mengatasi dampak hambatan dari NTM membutuhkan lebih dari itu, seperti penerapan praktik peraturan yang baik untuk membantu memastikan penyusunan peraturan yang lebih baik," ujarnya.

Ia memaparkan pula, program Seamless Trade Facilitation Indicators yang dikembangkan oleh ERIA bersama dengan ASEAN Trade Facilitation Joint Consultative Committee adalah inisiatif penting, yang diharapkan untuk mengklarifikasi implementasi kebijakan perdagangan di kawasan ini, termasuk rekomendasi untuk memperbaikinya.

Tujuan utamanya, katanya, adalah untuk mempromosikan kebijakan perdagangan tanpa batas yang sangat penting untuk menciptakan ASEAN Economic Community sebagai pasar tunggal, basis produksi serta untuk mempromosikan daya saing perdagangan, tata kelola yang lebih baik, dan berkontribusi pada peningkatan pembangunan di kawasan ini.

Ia juga menilai bahwa perdagangan antarnegara ASEAN kini semakin terbuka dengan penurunan tarif. Namun, perdagangan intra-ASEAN yang sebenarnya tetap relatif rendah.

"Ada beberapa alasan mengapa perdagangan intra-ASEAN tetap rendah, yaitu kebijakan hambatan perdagangan nontarif atau non-tariff measures (NTMs), permasalahan logistik dan prosedur bea cukai," ucapnya.

Terkait kebijakan NTM, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, mengatakan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mendefinisikan kebijakan NTM sebagai bentuk kebijakan selain tarif bea cukai yang memengaruhi perdagangan internasional dengan mengubah jumlah yang diperdagangkan, harga atau keduanya.

Contoh-contoh kebijakan NTM di antaranya adalah kuota, lisensi, peraturan dan persyaratan label, kontrol harga, dan langkah-langkah antipersaingan.

Kebijakan NTM dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, termasuk tindakan sanitary dan phytosanitary (SPS), hambatan teknis untuk perdagangan (TBT) dan inspeksi prapengiriman dan formalitas lainnya.

"Banyak dari kebijakan ini memiliki fungsi yang sah untuk melindungi kepentingan dan kesejahteraan warga negara. Namun, karena tarif hampir sepenuhnya dihapuskan, implementasi kebijakan NTM yang terus meningkat secara substansial menciptakan kompleksitas baru untuk perdagangan lintas batas," paparnya.

Felipa mengingatkan bahwa total jumlah NTM di negara-negara ASEAN meningkat sekitar 15 persen dari 8.237 pada 2015 menjadi menjadi 9.502 pada 2018.

Baca juga: Jepang targetkan investasi 3 miliar dolar AS untuk ASEAN
Baca juga: Mengintensifkan dialog demi wujudkan kerja sama Indo-Pasifik

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020