Jakarta (ANTARA) - Tidak berlebihan bila Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menilai almarhum KH Dr (HC) Ir Salahuddin "Gus Sholah" Wahid -- yang wafat pada Minggu (2/2) malam -- adalah "paket lengkap" dari seorang negarawan dan putra terbaik yang dimiliki Bangsa Indonesia.

Bila harus dirunut, maka "paket lengkap" yang disebut Khofifah, yang juga Ketua Umum (Ketum) Pimpinan Pusat (PP) Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) periode 2016-2021 itu, deretannya masih bisa lebih panjang seiring dengan rekam jejak Gus Sholah selama ini.

Bagi kalangan "Nahdliyyin" --sebutan untuk warga Nadhlatul Ulama (NU) -- Gus Sholah adalah ulama yang
memang lahir dan tumbuh di lingkungan ulama, apalagi ia adalah salah satu cucu pendiri NU , Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari, yang hingga akhir hayatnya adalah pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebu Ireng di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Ponpes Tebuireng sendiri memiliki unit pendidikan mulai dari madrasah tsanawiyah (MTs), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), hingga Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY) yang kini bernama Institut Keislaman Hasyim Asy'ari (IKAHA).

Sebagai tokoh, ulama kelahiran Jombang, 11 September 1942 itu juga punya deretan panjang jejak langkah dalam beragam aktivitas.

Tak hanya dalam ilmu keagamaan dan pendidikan,  dalam akun Facebook (FB) Masjid Salman ITB (Alumni Arsitek ITB Di Jalur Dakwah) pada 2018 disebutkan Gus Sholah sewaktu masih mahasiswa bergabung dengan Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung WANADRI yang didirikan Ronny Nurzaman (PL '61).

Disebutkan pula bahwa tatkala masuk ITB ia aktif di Keluarga Mahasiswa Islam (Gamais) ITB dan Unit Pengembangan Tilawatil Qur'an (UPTQ) Salman. Ia menjadi duta Pemuda Hijrah. Bersama Rumah Amal Salman, ia turut membidani Program Beasiswa Imam Muda Salman.

Dalam jagat politik, ia pernah menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi calon presiden (capres) Wiranto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004, meski akhirnya kalah suara dari pasangan lainnya.

Sedangkan dalam aktivitas HAM, Gus Sholah pada 2002-2005 menjadi anggota Dewan Pembina YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan menjabat Wakil Ketua Komnas HAM masa bakti 2002-2007.

Bila masih harus ditambahkan, maka deretan aktivitas Gus Sholah masih cukup panjang, yang menggambarkan mengenai sosok "paket lengkap" tersebut.

Pendidikan inklusif

Dalam penilaian pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dr Totok Bintoro, M.Pd, pengasuh Ponpes Tebu Ireng itu disebutnya "tokoh pendidikan inklusif".

"Indonesia kehilangan tokoh pendidikan inklusif atas wafatnya Gus Sholah," katanya.

Almarhum Gus Sholah dinilai telah memberikan bekal kepada generasi berikutnya menjadi lulusan terbaik untuk bangsa sekaligus menjadi Muslim yang menghormati sesama.

Adik Presiden RI keempat KH Abdurrahman "Gus Dur" Wahid itu berperan nyata mencerdaskan bangsa baik dari sisi akademis dan juga agama.

“Beliau tidak hanya menyukseskan program wajib belajar di Indonesia tapi juga mencerdaskan dan menjadikan anak didik yang memiliki kekuatan iman dan takwa,” katanya.

Tidak hanya akademis dan agama, kata Totok Bintoro, sumbangsih Gus Sholah berupa pemikiran-pemikiran kepada bangsa juga bernilai untuk kemajuan pendidikan di Tanah Air.

Gus Sholah yang hingga wafatnya merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur itu menjalani pendidikannya di SMP N 1 Cikini, Jakarta dan SMA N 1 Jakarta.

Laman https://www.laduni.id/post/read/56217/biografi-kh-salahuddin-wahid-gus-sholah menyebutkan pendidikan dasarnya ditempuh di SD KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), di mana para gurunya banyak yang menjadi anggota pergerakan, termasuk orang-orang komunis.

Pengalaman di sekolah ini membuatnya terbiasa hidup di lingkungan yang heterogen sehingga terbiasa menghadapi perbedaan. Ketika naik ke kelas IV, Salahuddin pindah ke SD Perwari yang terletak di seberang kampus UI Salemba.

Di jenjang pendidikan tinggi Gus Sholah melanjutkan studinya di jurusan arsitektur dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1962 hingga lulus.

Dalam sebuah "halaqoh" (pertemuan) di Ponpes Darul Muttaqien, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Mei 2009 Gus Sholah menegaskan bahwa kader-kader organisasi NU yang didirikan ulama itu, bila diberi kepercayaan dan amanah untuk membenahi pendidikan nasional siap untuk menjalankannya.

"Kalau (kader) NU diberi amanah untuk membenahi sekaligus memimpin Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengapa tidak? Sumber daya manusia (SDM) yang punya kompetensi untuk dapat membenahi sistem pendidikan di Indonesia tersedia," katanya.

Pernyataannya itu disampaikan saat itu pada kegiatan yang digagas bersama Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Ponpes Darul Muttaqien dalam rangkaian memperingati Hari Pendidikan Nasional yang diikuti sejumlah pimpinan ponpes besar NU di Jawa dan tokoh berbagai perguruan tinggi (PT) terkemuka dari IPB dan perguruan tinggi lainnya.

Namun, meski kader NU siap memberikan amanah untuk membenahi pendidikan nasional tetap harus ada kriteria standar dan profesional yang mesti dimiliki, di antaranya sosok yang punya integritas yang teruji dari sisi akhlak, jujur, serta mampu menghadapi tugas berat untuk membongkar kasus-kasus korupsi.

Baca juga: Obituari - Gus Sholah ulama lintas batas yang demokratis

Negarawan

Meski pernah aktif dalam partai politik, sikap kenegarawanan Gus Sholah tetap diakui oleh beragam komponen bangsa Indonesia.

Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai Gus Sholah selalu berbicara dan bekerja demi persatuan dan kesatuan bangsa, dan juga demi terwujudnya persatuan umat beragama.

"Almarhum tidak hanya dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang. Lebih dari itu, almarhum sudah menjadi tokoh panutan," katanya.

"Dan beliau akan selalu dikenang sebagai negarawan yang gigih menjaga dan merawat persatuan bangsa," katanya.

Sedangkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Saifullah "Gus Ipul Yusuf menilai sosok Gus Sholah yang memiliki sikap menghargai perbedaan patut diteladani.

Menurut dia, Gus Sholah menjunjung tinggi perbedaan karena setiap orang memiliki pandangan yang belum tentu sama, namun tetap sesuai koridor sehingga menjadikan seseorang lebih bijak.

"Beliau juga tidak memaksakan pendapat yang sama. Cara menyelesaikan perbedaan juga tidak saling menghujat. Ini yang harus diteladani," kata mantan Wagub Jatim itu.

Dalam pandangan santrinya, Gus Sholah juga menjadi panutan dan selalu memberikan contoh yang baik untuk santri-santrinya.

"Gus Sholah sosok kiai yang luar biasa. Bukan hanya merawat santri, tapi beliau juga tokoh bangsa. Panutan santri dan ulama serta masyarakat yang ada di Indonesia," kata Azwani, santri senior asal Aceh itu.

Santri Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, merasa kehilangan sosok pengasuhnya, KH Sholahudin Wahid yang wafat di Jakarta, Minggu malam.

Azwani, salah seorang santri senior di Pesantren Tebuireng, Jombang mengaku berduka dengan wafatnya Gus Sholah. Selama ini, Gus Sholah merupakan sosok kiai yang menjadi panutan dan selalu memberikan contoh yang baik untuk santri-santrinya.

Menimba ilmu di Pesantren Tebuireng, Jombang mulai 2005, Azwani dekat dengan Gus Sholah karena selama ia belajar Gus Sholah sendiri yang mulai menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng sejak 2006.

"Beliau memberikan nasihat dengan cara santun. Sesuai dengan visi misi dari Pesantren Tebuireng yang mengajarkan toleransi. Itu yang paling utama dari beliau. Jadi, dalam mendidik beliau itu bukan hanya memberi contoh tapi juga menjadi contoh. Beliau suri tauladan yang baik untuk kami," kata Azwani.

Indonesia berduka atas berpulangnya sosok ulama, pendidik dan negarawan seperti Gus Sholah.

Agaknya, perjuangan Gus Sholah bisa dilanjutkan tidak saja oleh para santrinya, namun oleh semua komponen bangsa ini.

Baca juga: Rencana pemakaman Gus Sholah sudah disiapkan Pesantren Tebuireng
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020