dampak corona terhadap investasi di Indonesia secara langsung masih belum ada
Jakarta (ANTARA) - Merebaknya virus corona yang hingga tanggal 2 Februari 2020 telah menyerang lebih dari 17.000 orang (sebagian besar di Republik Rakyat China) dan menewaskan sekitar 360 orang itu memang mengakibatkan kecemasan terhadap kinerja perekonomian nasional.

Dalam acara seminar nasional di Wisma Antara, Jakarta, Senin (3/2), Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mencoba menenangkan dengan menyatakan bahwa dampak corona terhadap investasi di Indonesia secara langsung masih belum ada.

BKPN, ujar Bahlil, saat ini sedang menghitung dan mengkaji seberapa besar dampak wabah virus corona terhadap investasi, mengingat virus tersebut berdampak tidak hanya terhadap Indonesia tapi juga ke seluruh negara.

Menurut dia, realisasi investasi dari China dalam beberapa pekan ke depan masih dapat dikatakan bagus, tetapi bila telah berada di atas dua bulan maka dapat dipastikan perlu dikaji dampaknya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewaspadai dampak dari virus corona yang sedang mewabah di beberapa negara karena memiliki potensi untuk berdampak terhadap perekonomian Indonesia.

Sri Mulyani mengatakan pemerintah berkaca dengan wabah virus SARS pada 2003 yang selain mempengaruhi perekonomian China sepanjang kuartal I dan II, namun akhirnya negara besar lainnya seperti India juga terimbas cukup dalam.

Hal itu, ujar dia, menggambarkan bahwa risiko terkait wabah sangat tidak bisa diprediksi serta sangat fluktuatif sehingga semua negara wajib selalu mewaspadai.

Sri Mulyani menuturkan saat ini ketidakpastian dan risiko di global terjadi sangat cepat dan tidak dapat diprediksikan waktunya sehingga semua negara harus terus waspada.

Baca juga: Kepala BKPM mulai khawatir dampak Virus Corona terhadap investasi

Genjot
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam sejumlah kesempatan juga mengatakan pemerintah akan menggenjot investasi agar ekonomi Indonesia tumbuh sebesar enam persen sesuai target pembangunan menengah tahun 2020-2024.

Untuk mendorong investasi itu, Airlangga menjelaskan pemerintah mengambil sejumlah kebijakan, di antaranya moneter dengan tingkat bunga rendah karena penurunan suku bunga acuan dari Bank Indonesia.

Selain itu, lanjut Menko Perekonomian, kebijakan fiskal dengan memberikan pengurangan pajak berupa super deduction tax dan tax holiday serta reformasi struktural dalam Omnibus Law.

Super deduction tax, lanjut Menko, diberikan kepada korporasi yang membantu pendidikan vokasi atau pelatihan dengan pemotongan pajak sebesar 200 persen.

Sedangkan sampai Desember 2019, lanjut dia, pemerintah menyetujui 60 wajib pajak mendapatkan insentif pajak berupa tax holiday dengan rencana investasi Rp1.000 triliun dan menyerap tenaga kerja diperkirakan mencapai 45.700 orang.

Untuk nilai investasi tahun 2020, Airlangga menyebut pemerintah menargetkan mencapai Rp800 triliun dengan penyerapan tenaga kerja per tahun diharapkan mencapai sekitar dua juta orang.

Ia menambahkan hingga triwulan ketiga tahun 2019, nilai investasi mencapai Rp205 triliun atau naik 18 persen jika dibandingkan periode sama tahun sebelumnya dengan menyerap tenaga kerja mencapai 212.581 orang.

Baca juga: Masuk investasi mangkrak, BKPM sebut depo minyak Batam jadi prioritas
Lapangan kerja
Terkait investasi, Anggota Komisi XI DPR RI Wartiah menginginkan berbagai investasi yang masuk ke dalam negeri dapat direalisasikan dengan nyata sehingga ke depannya benar-benar dapat menambah lapangan kerja secara signifikan bagi warga di berbagai daerah.

Wartiah menilai bahwa angka peningkatan lapangan kerja yang ada saat ini tidak selaras dengan peningkatan investasi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini.

Untuk itu, politisi PPP itu menginginkan agar adanya penguatan strategi fiskal agar peningkatan investasi juga berdampak kepada pengembangan industri sehingga peningkatan lapangan kerja juga terjadi di daerah.

Ia juga mengutarakan harapannya agar RUU Omnibus Law terkait Cipta Lapangan Kerja yang kerap bergaung di tengah masyarakat saat ini bakal mampu menjawab beragam tantangan tersebut.

Omnibus Law, ujar dia, diharapkan akan dapat memberikan investasi yang menambah lapangan pekerjaan sehingga juga akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan Nusantara. "Buat apa mempermudah investasi dari luar, tetapi kita kehilangan potensi produk di dalam. Ini perlu harus ada jalan keluar yang terbaik," ujar Wartiah.

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menginginkan perjanjian internasional dapat benar-benar selalu menguntungkan Republik Indonesia, jangan sampai hanya memberikan keuntungan semu di depannya tapi kemudian kerugian pada masa mendatang.

Herman Khaeron mencontohkan produk sawit yang saat ini sedang dilarang oleh negara-negara Eropa, sehingga seharusnya Indonesia dapat lebih kritis menyikapi ratifikasi perdagangan internasional dengan Eropa.

Politisi Partai Demokrat itu berpendapat, bila perjanjiannya memberikan ruang untuk pintu masuk sawit masuk ke Eropa, maka hal itu dinilai bagus untuk memperkuat perdagangan atau ekspor sawit negara kita ke negara-negara Eropa.

Ia juga mengingatkan agar ratifikasi perdagangan internasional harus berisikan langkah-langkah konkrit peningkatan ekonomi masyarakat berbasis UMKM serta koperasi.

Sedangkan merujuk kepada perjanjian bilateral, lanjutnya, maka ratifikasi perdagangan internasional harus memikirkan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia.

Hambatan berlebihan
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengingatkan bahwa hambatan berlebihan terhadap proses dan mekanisme impor dapat berakibat terhambatnya investasi dari perusahaan terutama mereka yang masih membutuhkan bahan baku dari luar negeri.

Menurut Galuh Octania, pada saat ini masih banyak produk Indonesia yang membutuhkan bahan baku yang tidak dapat disediakan oleh dalam negeri sehingga butuh melewati impor.

Namun, lanjutnya, bila terdapat regulasi restriksi impor yang berlebihan, maka depannya juga berpotensi membuat produk Indonesia yang diekspor akan mengalami penurunan nilai.

Ia menegaskan bahwa sampai saat ini, Indonesia masih menerapkan berbagai bentuk hambatan non tarif.

Padahal, ujar dia, Indonesia harus menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam mentaati perjanjian dagang internasional, salah satunya melalui penghapusan hambatan non tarif dan juga menghilangkan restriksi (pembatasan) pada perdagangan internasional.

Dengan adanya usaha untuk mengatasi hambatan yang berlebihan dalam mekanisme perdagangan internasional, maka ke depannya diharapkan dapat pula menjaga laju investasi di tengah merebaknya virus corona yang meresahkan secara global.

Baca juga: Kemendag hentikan sementara impor dari China karena virus corona

Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020