Dibutuhkan suatu kebijakan yang komprehensif dalam hal pembangunan ekonomi regional, penciptaan kesempatan kerja serta peningkatan kualitas penduduk
Jakarta (ANTARA) - Salah satu masalah yang harus diantisipasi dalam pemindahan dan desain pembangunan ibu kota negara baru di Kalimantan Timur adalah kesenjangan dan kecemburuan sosial.

Kesenjangan dan kecemburuan sosial itu, baik antara penduduk lokal dengan aparatur sipil negara yang akan ditempatkan di daerah itu, maupun dengan para migran lainnya.

Ibu kota negara baru di Kalimantan Timur akan menjadi sumber ekonomi baru, di mana akan memicu migrasi orang-orang untuk mencari penghidupan yang lebih baik di daerah tersebut.

Ibu kota negara yang baru juga akan dibangun berdasarkan pemanfaatan kemajuan teknologi sehingga membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang juga adaptif terhadap perkembangan teknologi. Itu berarti harus ada SDM yang memadai untuk merespons kebutuhan itu.

Kualitas SDM akan menentukan kemampuan mereka berkontribusi bagi pembangunan dan mengambil manfaat dari pemindahan dan pembangunan ibu kota negara yang baru itu.

"Pindahnya ibu kota negara akan menjadikan wilayah tersebut dan daerah sekitarnya menjadi daerah tujuan migran," kata peneliti pada Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Sukamdi dalam Seminar Indonesia Demographic Outlook 2020 di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa.

Pola migrasi akan meningkatkan SDM di satu wilayah, namun hal itu dapat memunculkan efek positif dan negatif jika tidak diantisipasi dengan baik.

Di samping efek positif karena tersedianya SDM yang melimpah, efek negatif yang dikhawatirkan adalah di daerah tujuan akan terjadi pengangguran terdidik yang cukup tinggi, jika wilayah itu tidak dapat menyediakan kesempatan kerja untuk mereka yang datang bermigrasi ke daerah itu.

Oleh karena itu, harus dibangun kohesivitas antara migran dan nonmigran untuk menghindari persoalan mendatang, berupa kesenjangan dan kecemburuan sosial.

Sukamdi mengatakan pola migrasi tidak berubah selama periode 1971-2015, yaitu Jawa merupakan daerah penerima dan pengirim, sementara Jawa lebih berfungsi sebagai daerah pengirim. Pola migrasi tersebut diperkirakan masih akan terjadi di masa yang akan datang.

Baca juga: Jokowi: Pindah ibu kota negara dorong perbaikan pola pikir

Sebaliknya, daerah tujuan akan mengalami "brain drain", di mana SDM berkualitas bermigrasi dari satu tempat yakni daerah pedesaan ke tempat sumber ekonomi baru, untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik sehingga meninggalkan daerah asal.

"Dibutuhkan suatu kebijakan yang komprehensif dalam hal pembangunan ekonomi regional, penciptaan kesempatan kerja serta peningkatan kualitas penduduk," ujarnya.

Untuk bisa mendukung pembangunan ibu kota negara yang baru di Kalimantan Timur, maka diperlukan SDM yang unggul sehingga SDM yang ada itu mampu memberikan dukungan besar terhadap pengembangan ibu kota negara.

                                                                                         Masalah migrasi
Masalah lain yang harus diantisipasi pemerintah Indonesia terkait dengan pemindahan ibu kota negara adalah migrasi, di mana orang-orang akan datang untuk mencari pekerjaan dan mengambil manfaat di sumber ekonomi baru itu.

"Selektivitas ASN yang harus pindah itu salah satunya bukan hanya soal umum tapi juga soal kemampuan karena dia akan berhadapan dengan satu lingkungan baru yang memang teknologi menjadi salah satu acuan dalam pengembangan banyak hal termasuk dengan pelayanan publik dan sebagainya," tuturnya.

Dengan demikian, mulai saat ini pemerintah juga harus memikirkan desain ibu kota negara sejak awal untuk dapat mengakomodasi para migran dan memastikan migran yang masuk wilayah ibu kota negara baru itu merupakan SDM yang unggul dan terampil agar mampu mengambil peranan positif.

Namun, di lain sisi, juga perlu dipikirkan kemampuan ibu kota negara yang baru dalam mengakomodasi kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik dan mendapatkan pekerjaan bagi setiap orang yang bermigrasi ke tempat itu. Jangan sampai mereka menjadi pengangguran sehingga menimbulkan masalah baru ke depannya.

Jika tidak diantisipasi, nantinya ibu kota negara yang baru itu juga akan berhadapan dengan hal yang sama seperti yang terjadi di Jakarta, di mana ada orang-orang tinggal di daerah pinggiran dan menjadi tertinggal.

Yang harus dihindari ke depan adalah kesenjangan sosial antara mereka yang ditempatkan di daerah itu dengan yang migran dan penduduk lokal.

"Sudah sejak awal disiapkan untuk mengakomodasi kebutuhan yang ada di ibu kota yang baru dengan orang pendatang yang datangnya volunter," ujarnya.

Dia menuturkan orang-orang yang datang dalam migrasi lanjutan tersebut tidak dapat dipastikan semuanya berkualitas, karena bisa saja mereka berasal dari pendidikan yang rendah dan kurang keterampilan.

Untuk itu, peningkatan kualitas SDM juga harus dipastikan terjadi secara menyeluruh bagi masyarakat Indonesia.

Baca juga: Ibu kota negara yang baru akan dibangun dengan konsep "smart city"

Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) Sudibyo Alimoeso mengharapkan penduduk lokal di Kalimantan tidak menjadi "penonton" melainkan pemain dalam berkontibusi dan mengambil manfaat dari pengembangan ibu kota negara yang baru di wilayah mereka.

Jika masyarakat lokal hanya menjadi "penonton" karena SDM yang kurang berkualitas maka akan muncul persoalan baru di tengah masyarakat, yakni kesenjangan sosial. Kecemburuan sosial akan mencuat karena mereka merasa kurang diberdayakan di wilayah sendiri.

Untuk itu, SDM setempat juga harus dididik dan dilatih agar mereka punya standar SDM yang memang dibutuhkan bagi pengembangan ibu kota negara yang baru.

Investasi SDM itu tentu tidak hanya dalam jangka pendek yakni untuk setahun atau dua tahun, tetapi jangka panjang karena efeknya bisa dirasakan untuk masa kini dan akan datang. Dengan demikian mereka bisa bersaing dan meraih kesempatan dalam berkarya.

"Kalau mereka jadi penonton, mereka bisa jadi mengungsi di pinggir itu nanti dan jangka panjang bisa terjadi konflik- konflik sosial. Kita kan pengalamannya beberapa tempat di mana pendatang itu kemudian lebih mendominasi, baik dari segi kesejahteraan kesempatan dan yang lain-lain maka biasanya kemudian terjadi kecemburuan sosial dan gampang disulut oleh konflik-konflik sosial," ujarnya.

Baca juga: Kajian lingkungan hidup ibu kota negara baru akhirnya rampung

Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia I Dewa Gede Wisana menuturkan penciptaan SDM unggul bisa bersumber dari SDM yang berasal dari lokasi ibu kota negara yang baru serta fenomena migrasi yakni SDM yang datang dari luar wilayah.

Sebenarnya, keduanya dapat dikombinasikan untuk mencukupi kebutuhan SDM di wilayah itu.

Dia menuturkan pengembangan SDM di Kalimantan harus menjadi perhatian karena SDM yang dominan luar Jawa tertinggal, tidak terkecuali Kalimantan.

Jika dibiarkan begitu saja tanpa ada intervensi peningkatan kapasitas SDM di Kalimantan maka nantinya Kalimantan akan banyak diisi oleh migran dari Jawa yang relatif lebih unggul.

"Itu harus diantisipasi maka teman-teman di Kalimantan harus ditingkatkan kemampuannya," tuturnya.

Investasi dalam pembangunan SDM unggul dan tangguh tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Sinergi pemerintah pusat dan daerah harus diperkuat.

"Pemerintah daerah harus mengambil manfaat dari sini untuk perlu meningkatkan kualitas SDM di Kalimantan agar juga menjadi 'champion' di rumah mereka sendiri, dan ini perlu strategi yang spesifik dari daerahnya untuk mengantisipasi ini," ujarnya.

Pemerintah daerah harus mengambil peluang untuk lebih mengembangkan SDM di wilayahnya dan menyiapkan kapasitas mereka serta mampu memanfaatkan sumber tersebut.

Baca juga: LIPI kemukakan strategi cegah konflik terkait pemindahan ibu kota
Baca juga: Bappenas minta saran Tokoh Dayak terkait pemindahan ibu kota

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020