Jakarta (ANTARA) - Profesi apapun berpotensi menderita Bell's Palsy (BP), seperti aktor, pembalap, politisi, pemusik, penulis, komposer, pemain basket, aktivis, pebisnis, penyair, dan komedian.

Terbukti banyak tokoh terkenal pernah menderita BP, sebutlah mulai Rano Karno, Sylvester Stallone, Pierce Brosnan, Ayrton Senna, Katie Holmes, Ralph Nader, Roseanne Barr, George Clooney, Alexis Denisof, Jean Chretien, Sam Bailey, Allen Ginsberg, Anupam Kher, Jane Greer, Amy Goodman, Trenton Hassell, hingga Thomas C. Foley.

Di abad ke-18, seorang profesor kedokteran di Wurzburg bernama Nicolaus Friedrich, pertama kali melaporkan kasus kelumpuhan (paralisis) syaraf wajah yang penyebabnya belum diketahui. Penemuan klinisnya, De paralysis Musculorum Faciei Rheumatica, pertama kali dipublikasikan tahun 1798 di literatur kedokteran Jerman.

Dua tahun kemudian, temuan ini direview di Edinburgh, Inggris dan dipublikasikan di jurnal Annals of Medicine. Publikasi itu dipelajari oleh Sir Charles Bell, seorang ahli bedah Skotlandia. Ia mempelajari fungsi syaraf wajah pada hewan coba. Saat melakukan operasi di London, Bell menemukan banyak kasus kelumpuhan syaraf wajah yang di dunia kedokteran disebut sebagai paralisis nervus fasialis unilateral. Temuan ini dipublikasikan tahun 1821.

Menariknya, kasusnya yang terkenal dan banyak dikutip tentang kelumpuhan syaraf wajah diterbitkan tahun 1828, di mana ia mengisahkan seorang pria yang cedera karena serangan banteng. Luka tusukan berikutnya menyebabkan kelumpuhan syaraf wajah.

Meskipun publikasi awal Bell tentang kelumpuhan syaraf wajah terjadi 23 tahun setelah temuan Friedreich, Bell dianggap berjasa karena berhasil membedakan kelumpuhan syaraf wajah perifer (tepi) dan sentral (pusat). Sekarang, istilah Bell’s palsy bersinonim dengan paralisis wajah perifer idiopatik. Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan otot wajah akut, idiopatik, unilateral, dapat sebagian atau total.

Insiden tahunan BP mencapai 11,5 hingga 53,3 per 100 ribu orang. Di UK, insiden tahunan 20 per 100 ribu dengan 1 dari 60 terjangkiti BP seumur hidup. Pria dan wanita sama-sama berisiko, meskipun insiden BP 3x lebih sering dialami ibu hamil.

BP juga sering diderita penderita DM. Mayoritas usia 15-45 tahun, rerata 40 tahun. Jarang menyerang anak. Meskipun demikian, dapat dialami usia berapapun. Setiap dokter keluarga diprediksi menemui satu kasus baru setiap 2 tahun.

Baca juga: Jatuh dari ayunan, bocah Sumut menderita lumpuh otak

Penyebab

Penyebab pasti BP belum diketahui. Namun ada beragam hipotesis. Penyebab infeksi, contohnya virus yang mengalami reaktivasi, misal virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1), reaktivasi virus varicella zoster, human herpesvirus tipe 6, virus coxsackie, virus Epstein–Barr, adenovirus, cytomegalovirus, Herpes zoster cephalicus, virus Usutu, infeksi telinga, mumps, rubella, penyakit Lyme, ensefalitis, poliomielitis, mononukleosis, TBC, AIDS.

Pada mencit coba yang mengalami kelumpuhan wajah (facial palsy) yang disebabkan oleh HSV-1, kadar protein aquaporin (AQP1) meningkat secara signifikan dari hari ke-9 hingga hari ke-16 setelah inokulasi HSV-1. Upregulasi AQP1 amat terkait dengan pembengkakan syaraf wajah (intratemporal facial nerve edema) di saluran persyarafan wajah dan juga konsisten dengan gejala-gejala kelumpuhan wajah pada mencit.

Penyebab gangguan sistem persyarafan, berupa multipel sklerosis, miastenia gravis. Cedera; fraktur (retak tulang) dasar tengkorak, luka wajah, menyelam. Metabolik, seperti: DM, kehamilan, hipertensi. Keganasan, berupa tumor otak (Schwannoma), tumor saraf ketujuh, meningioma, sarkoma (kanker tulang-otot), cholesteatoma (sel-sel kulit abnormal telinga). Terkait kelahiran: persalinan dengan forseps, miotonika distrofi, sindrom Mobius. Operasi (parotid, tulang temporal), gangguan inflamasi autoimun, iskemi, embolisasi, sindrom Melkersson-Rosenthal, amiloidosis, sarkoidosis, keturunan.

Hipotesis terkuat, penyebab Bell’s palsy adalah HSV, dengan bukti teridentifikasinya asam nukleat virus herpes simpleks di geniculate ganglion. Ada pula hipotesis imun. Sampel serum pasien BP memiliki konsentrasi sitokin yang tinggi, termasuk interleukin (IL-1, IL-6), dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α).

Penurunan persentase sel-sel T total (CD3) dan sel-sel pengiduksi/T helper (CD4) juga dijumpai pada fase akut BP. Secara jelas terlihat penurunan persentase limfosit T darah perifer dan peningkatan persentase limfosit B pada BP selama 24 hari pertama onset paralisis klinis. Semua data klinis dan imunologis tersebut membuktikan aktivasi efektor yang dimediasi sel dan keterlibatan mekanisme imun pada BP.

Beberapa faktor risiko diketahui berpotensi memunculkan BP. Misalnya: preeklampsia berat, faktor-faktor psikologis, ketidaknormalan metabolisme glukosa, paparan radiasi, hipertensi, migrain. Studi epidemiologi juga berhasil mengungkap bahwa insiden BP juga terkait dengan paparan suhu ekstrem.

Baca juga: Pemerintah salurkan 100 kursi roda untuk penderita lumpuh otak

Potret Klinis

Bell’s palsy memiliki onset mendadak. Maksudnya, dari munculnya gejala hingga parah berlangsung hanya selama tiga hari. BP muncul disertai kelemahan otot wajah, unilateral, atau paralisis lengkap semua otot di satu sisi wajah, mata kering, sangat sensitif terhadap suara, kelopak mata sulit menutup, sensasi mati rasa atau kesemutan di pipi-mulut, nyeri telinga dan mata, penglihatan kabur, gangguan pengecapan, dahi dan lipatan nasolabial rata di sisi yang sakit, saat mengangkat alis sisi dahi yang sakit tetap datar.

Derajat keparahan BP dievaluasi dengan skala House–Brackmann atau Sunnybrook.

Tatalaksana terkini BP adalah tidak diberi terapi, steroid, antivirus, atau kombinasi steroid-antivirus. Riset menunjukkan terapi kortikosteroid memerbaiki BP. Kortikosteroid digunakan karena memiliki efek anti-inflamasi.

Terapi lebih efektif jika diberikan dalam waktu 72 jam onset, kurang efektif setelah 7 hari. Terapi kombinasi perlu dipertimbangkan jika ada bukti infeksi virus dengan herpes zoster dan sindrom Ramsay Hunt.

Tatalaksana dini dengan prednisolon meningkatkan peluang penyembuhan fungsi wajah secara paripurna hingga 82 persen. Pemberian kortikosteroid oral (prednisolon) dan obat antiviral merupakan manajemen standar untuk BP.

Pada dewasa, dokter merekomendasikan prednisolone 50–60 mg setiap hari selama 10 hari. Prednisolon digunakan pada dosis 1 mg per kg berat badan per hari hingga dosis maksimum 80 mg. Dosis lebih dari 120 mg per hari dapat digunakan secara aman pada pasien dengan diabetes. Proteksi mata dini disertai lubrikasi dan pemberian patch penting untuk mencegah komplikasi jangka panjang.

Kegagalan terapi antivirus dikarenakan reaksi Jarisch–Herxheimer. Maksudnya, antivirus saat aktif melawan herpes simpleks, menyebabkan terjadi lagi peradangan setempat dan memerburuk gejala BP. Di masa mendatang, nerve growth factor (NGF) berpotensi sebagai terapi simtomatik BP.

Adapun lubrikasi okuler topikal, air mata buatan, dekompresi saraf wajah, oksigen hiperbarik, metilkobalamin, botulinum toxin, senam wajah, acupuncture, tarsorrhaphy, operasi, perlu dikonsultasikan ke dokter.

Perbaikan klinis terjadi 3 minggu pada 85 persen penderita dan 3-5 bulan pada 15 persen penderita. Kondisi pulih total (fungsi otot wajah kembali normal) dialami 71 persen kasus yang tidak diterapi.

*) dr Dito Anurogo MSc adalah dosen FKIK Unismuh Makassar, instruktur literasi baca-tulis tingkat nasional 2019, Director networking IMA Makassar, pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI), dokter literasi digital, penulis puluhan buku, kepala LP3AI ADPERTISI, anggota Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), pengurus APKKM dan AWMI, pegiat Forum Lingkar Pena (FLP), Dewan Penasihat dan Pembina Sci.id dan Menusa, penggagas Indonesia Menulis.

Baca juga: Miss Slovenia tampil dengan separuh wajah lumpuh

Copyright © ANTARA 2020