Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Muhammad Fauzan mengatakan pemerintah harus mengeluarkan kebijakan ekstra terhadap eks kombatan ISIS yang berasal dari Indonesia.

"Pertanyaannya, ISIS itu sudah diakui sebagai sebuah negara apa belum oleh PBB? Dalam perspektif hukum tata negara, ISIS itu bukan negara atau belum dikatakan sebagai negara," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.

Baca juga: Soal kehilangan status kewarganegaraan
Baca juga: PBNU mengimbau pengurus daerah proaktif sosialisasikan sikap lembaga
Baca juga: Benny Mamoto: keputusan pemerintah tak pulangkan WNI eks ISIS tepat


Fauzan mengatakan hal itu kepada ANTARA terkait kebijakan pemerintah yang tidak akan memulangkan ratusan eks kombatan ISIS yang berasal dari Indonesia.

Menurut dia, dalam hukum tata negara sudah jelas disebutkan bahwa syarat-syarat sebuah negara terdiri atas adanya pemerintahan yang berdaulat, punya wilayah, punya warga negara, dan diakui oleh negara lain.

"Pengakuan dari negara lain kan juga perlu. ISIS mengatakan sebagai sebuah negara tapi kan negara-negara lain belum ada yang mengakui," katanya.

Ia mengatakan dasar pengakuan sebuah negara terhadap negara lain, antara lain dibukanya kedutaan besar dan sebagainya.

Disinggung mengenai adanya anggapan bahwa warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan ISIS itu telah kehilangan kewarganegaraannya, dia mengatakan salah satu yang bisa mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan Indonesia karena yang bersangkutan menyatakan setia kepada negara lain.

"ISIS belum bisa dikatakan sebagai sebuah negara, itu kan organisasi teroris, katakanlah begitu ya," tegasnya.

Menurut dia, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan karena saat sekarang, warga negara lain yang jelas-jelas negaranya merupakan negara komunis, bisa menjadi WNI berdasarkan prosedur yang sudah ditetapkan.

"Saya katakan bahwa (dalam) hukum tata negara kita, orang bisa kehilangan kewarganegaraannya ketika dia itu menyatakan setia kepada negara lain, tapi kasus kan bisa juga ada. Arcandra (mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar, red.) kan dulu juga pernah menyatakan setia kepada negara lain, buktinya dia punya paspor Amerika kan, terus menyatakan setia lagi ke Indonesia kan," katanya.

Terkait dengan hal itu, Fauzan mengatakan kebijakan pemerintah untuk tidak memulangkan eks kombatan ISIS itu mungkin bisa juga karena tafsir yang berbeda.

"Monggolah, itu kebijakan pemerintah tapi saya berpikir terutama untuk anak-anak yang sama sekali ke sananya tidak tahu waktu dibawa ya mesti harus dilindungi. Hanya saja ketika akan menerima WNI yang sudah terlanjur di sana, memang harus ada ada kebijakan yang ekstra sehingga ideologi mereka itu dipastikan tidak dikembangkan di Indonesia," katanya.

Menurut dia, para mantan kombatan ISIS asal Indonesia itu dapat dipastikan menyampaikan penyesalan-penyesalan dan sebagainya karena menyesal pasti akan datang terlambat.

Akan tetapi, kata dia, nasib anak-anak yang ikut orang tuanya menjadi kombatan ISIS harus dperhatikan karena mereka tidak tahu apa-apa ketika datang ke sana.

Dia juga mengaku setuju terhadap pernyataan bahwa negara harus hadir untuk menangani warga negaranya yang terlantar di negara lain, namun tetap harus selektif dengan memastikan ideologinya tidak dikembangkan di Indonesia.

Baca juga: Soal RKUHP, pakar tekankan pentingnya pelibatan masyarakat
Baca juga: Pengamat: UU harus masukkan klausul cabut kewarganegaraan bagi teroris
Baca juga: Akademisi: Menolak anggota ISIS bukti Indonesia serius perangi teroris

 

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020