diperlukan road map yang jelas dalam penurunan emisi dari kegiatan usahanya, agar tidak terjadi resiko biaya yang tinggi dan kebangkrutan
Jakarta (ANTARA) - Bumi Global Karbon Foundation (BGKF) meminta pemerintah memberikan insentif pajak untuk perusahaan atau industri yang sudah menjadi netral karbon atau perusahaannya dapat menyeimbangkan emisi karbon yang dihasilkan dari proses produksinya.

Pendiri Bumi Global Karbon Foundation, Achmad Deni Daruri dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa, mengatakan saat ini perusahaan di dunia yang telah mengarah ke sertifikasi netral karbon terus bertambah.

"Mereka memahami bahwa periode 2020-2030 adalah periode transisi untuk climate risk sehingga diperlukan road map yang jelas dalam penurunan emisi dari kegiatan usahanya, agar tidak terjadi resiko biaya yang tinggi dan kebangkrutan di masa yang akan datang," katanya.

Untuk mendukung komitmen perusahaan mengedepankan industri ramah lingkungan, lanjut dia, di negara lain telah memberikan penghargaan kepada perusahaan yang sudah netral karbon berupa insentif penurunan pajak, bunga, dan kemudahan lainnya.

"Selain itu, negara tersebut juga memberikan hukuman berupa pajak karbon kepada industri yang tidak mencapai target dalam penurunan emisi dari kegiatan usaha," paparnya.

Baca juga: IESR: Indonesia perlu terapkan pajak karbon demi Paris Agreement

Ia menyampaikan berdasarkan laporan Word Bank Group "State and trends of carbon pricing 2019", Swedia adalah negara dengan pajak karbon tertinggi sebesar 127 dolar AS per 1 ton CO2e kepada perusahaan yang gagal menurunkan emisi sesuai yang ditargetkan.

Sementara itu, berdasarkan laporan The Global Risk Report 2020 dalam World Economy Forum di Davos Swiss, Januari 2020, Jerman akan menutup industri otomotif pada tahun 2030 jika masih menggunakan bahan bakar fosil. Bahkan, Bank of England menyatakan industri lebih baik bangkrut jika tidak siap dengan masa transisi ini.

Di Indonesia, kata Deni, sebenarnya sudah banyak aturan yang mengharuskan perusahaan membuat laporan emisi, mulai dari Perpres No.61 tahun 2011 tentang Rancangan Aksi Nasional Gas Rumah Kaca, Undang-undang No.16 tahun 2016 pengesahan Paris Agreement, dan POJK 51/03 tahun 2017.

Baca juga: Berkat OJK sebanyak 134 bank berhasilkan turunkan emisi karbon

Namun, menurut dia, sangat sedikit sekali perusahaan yang patuh terhadap peraturan itu karena tidak adanya penghargaan dan hukuman yang jelas dari pemerintah.

"Nah, sampai saat ini hanya ada satu di Indonesia perusahaan yang mendapatkan sertifikat netral karbon," kata Deni yang juga President Director Center for Banking Crisis itu.

Baca juga: Bappenas dorong pembangunan rendah karbon

Deni mencontohkan pada tahun 2018 dari 134 bank dengan total aset sebesar Rp8.633,5 triliun, hanya dua bank yang membuat laporan emisi. Itu pun tidak seluruh kegiatan dihitung emisinya dengan benar, dengan total penurunan emisi kedua bank tersebut sebesar 5.544 ton CO2e.

Pada tahun sama, dari total 116 BUMN dengan total aset Rp8.112 triliun, yang melaporkan emisi hanya tujuh perusahaan BUMN dengan total penurunan emisi.

Deni mengatakan dalam indeks sustainability pasar modal dunia, Indonesia saat ini menempati rangking ke-36, atau jauh di bawah pasar modal Thailand di peringkat 9 dunia.

"Data-data indikator sustainability Indonesia cukup mengkhawatirkan. Sesuai undang-undang 16 tahun 2016 Paris Agreement, agar industri tidak beresiko biaya tinggi, dan mereka terhindar dari kebangkrutan di masa yang akan datang, sebaiknya masa transisi risk ini pemerintah memberikan insentif penurunan pajak kepada perusahaan yang sudah menjadi netral karbon," ujar Deni.

Baca juga: Pemerintah menganggap target penurunan emisi dalam NDC sudah ambisius

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020