Pontianak (ANTARA) - Suasana di Ladang Ladong milik Tradewinds Plantation Berhard di Simunjan yang berjarak 1,5 jam perjalanan darat dari Kuching, Ibu Kota Sarawak, Malaysia Timur, Minggu (16/2) pagi tampak lebih ramai dari biasanya. Padahal biasanya kalau sudah hari libur, Ladang Ladong lebih sepi karena penghuninya memilih ke pusat kota untuk berbagai keperluan.

Sesekali terdengar suara tertawa lepas diiringi celetukan-celetukan "nakal" dari ratusan pekerja migran Indonesia yang tengah berkumpul di bawah tenda tak jauh dari kantor Tradewinds Plantation Berhard di Simunjan itu.

Mereka tengah mendengarkan sosialisasi tentang perencanaan keluarga dari Kepala BKKBN RI Hasto Wardoyo. Isi sosialisasi yang materinya "berat", namun dapat disampaikan secara bernas dan penuh canda oleh Hasto Wardoyo yang sengaja menempuh perjalanan darat dari Kota Pontianak untuk tiba di Simunjan.

Wajah-wajah semringah dari para pekerja migran Indonesia terlihat saat tim awal berkaitan dengan rencana kedatangan Hasto Wardoyo, berkunjung ke lokasi yang sama pada 29 - 31 Januari lalu. Tim awal terdiri dari BKKBN RI dan Perwakilan BKKBN Kalbar, Konsulat Jendral RI di Kuching, serta Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Provinsi Kalbar.

IPKB Kalbar terlibat karena berdasarkan usulan para gabungan jurnalis yang peduli isu-isu Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) itu akhirnya BKKBN memutuskan hadir untuk melayani para pekerja migran tersebut.

Bermula hasil peliputan anggota IPKB Kalbar di daerah perkebunan sawit di Sarawak, ada sisi lain yang belum digarap, yakni kebutuhan para pekerja migran Indonesia akan perencanaan keluarga melalui pemasangan alat kontrasepsi. Sementara kalau mengandalkan layanan kesehatan pihak Malaysia, tentu butuh biaya yang lebih besar mengingat status mereka sebagai orang asing.

Selaku Kepala BKKBN RI, Hasto Wardoyo tergugah karena ia sepakat bahwa harusnya negara hadir dimanapun warga Indonesia berada, termasuk yang tengah bekerja di negeri jiran sebagai pekerja di areal perkebunan kelapa sawit itu.

Gerak cepat dilakukan mantan Bupati Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tersebut. Ia berkoordinasi dengan para pihak, baik internal maupun eksternal. Respons cepat juga dilakukan Konsul Jendral RI di Kuching Yonny Triprayitno. Ladang Ladong akhirnya terpilih. Saat tim awal berkunjung ke Ladang Ladong pada Kamis (30/1), tampaklah wajah-wajah semringah dari para pekerja migran Indonesia.

Meski masih malu-malu, namun mereka paham bahwa ada kebutuhan yang bisa dipenuhi melalui program dari BKKBN. Dua minggu kemudian, keinginan itu terwujud ketika Hasto Wardoyo datang lengkap dengan petugas medis yang siap melayani pemasangan alat kontrasepsi.

Yonny Triprayitno pun tak mampu menyembunyikan keharuan ketika memberi kata sambutan pada Minggu (16/2), dimana akhirnya pelayanan di bidang keluarga berencana itu dapat dinikmati pekerja migran Indonesia di Sarawak. Ia bersyukur niat baik itu direspons semua dengan baik pula. Tidak hanya dari BKKBN dan mitra kerja, namun juga manajemen Tradewinds Plantation Berhard yang mempekerjakan ratusan orang asal Indonesia itu.


Lebih berhemat

Parmi (30), ibu dua anak yang bekerja di ladang sawit Tradewinds Plantations Berhard di Ladang Ladong, Simunjan, Sarawak, salah satu akseptor yang menggunakan alat kontrasepsi jenis IUD atau spiral.

Tak tampak ketakutan di wajahnya. Bahkan ia tidak merasakan sakit sama sekali ketika alat kontrasepsi itu dipasang di rahimnya. Sebelum memutuskan menggunakan spiral, Parmi yang berasal dari Bojonegoro, Jawa Timur, berkonsultasi dengan Kasubdit Kualitas Pelayanan KB Jalur Swasta BKKBN Pusat Nia Reviani. Nia Reviani menyampaikan saran dan pendapat kenapa metode kontrasepsi jangka panjang lebih baik ,terutama untuk kaum perempuan.

Parmi sejak enam tahun terakhir menggunakan alat kontrasepsi berupa pil, setelah anak kedua lahir. Namun ia menyadari berat badannya naik drastis. Padahal ia bekerja lumayan berat, menyirami pohon sawit dengan pupuk, namun tidak juga badannya kembali ke ukuran semula.

Ia bersyukur ada kegiatan pelayanan KB di Ladang Ladong. Kalau ia menggunakan fasilitas kesehatan pihak Malaysia, biayanya sekitar 1.000 Ringgit Malaysia untuk pasang spiral, atau sekitar Rp3,5 juta.

Sementara Pemerintah Indonesia menyediakan secara gratis bagi pasangan usia subur yang mau memasang alat kontrasepsi jangka panjang.

Mahruf (50), asal Nusa Tenggara Barat, sudah sejak Tahun 2012 bekerja di ladang perkebunan sawit milik Tradewinds Plantation Berhard. Menurut dia, selama ini untuk pelayanan alat kontrasepsi, menggunakan fasilitas klinik kesehatan di Malaysia. Biaya yang dikeluarkan untuk satu kali suntik KB misalnya, berkisar 60 Ringgit Malaysia (kisaran Rp200 ribu).

Pasangan suami istri asal Kabupaten Sambas, Kalbar, Iskandar dan Masliyah juga mengaku bersyukur program tersebut dapat terealisasi. Untuk layanan KB di Malaysia, sebulan sekali istrinya suntik KB, kalau lengkap dengan tes urine, bisa 166 RM (kisaran Rp564 ribu).

Ada juga Nurma (26) yang memilih menggunakan implant sebagai metode kontrasepsi jangka panjang, karena ingin fokus mengurus anak semata wayang yang sudah berusia 7 tahun.


Tantangan berkelanjutan

Hasto Wardoyo menyadari bahwa tidak mudah untuk melayani warga Indonesia yang menjadi pekerja migran di negeri lain, seperti Malaysia. Menurut dia, perlu sinergi antarpihak dan komitmen melayani warga negara dimanapun berada.

Sarawak adalah salah satu negara bagian Malaysia yang menjadi tujuan pekerja migran Indonesia. Konjen RI di Kuching, Yonny Triprayitno memperkirakan setidaknya ada 130.000-an pekerja migran Indonesia di Sarawak.

Mereka bekerja di berbagai sektor, terutama di perkebunan kelapa sawit. Ladang Ladong di Simunjan termasuk yang dekat dan mudah dijangkau dari jalan utama. Masih banyak yang tersebar di sepanjang Sarawak hingga ke daerah yang sulit dijangkau.

Meski begitu, Hasto Wardoyo tetap menegaskan bahwa apa yang telah dilakukan di Simunjan akan terus berkelanjutan. Tidak hanya di dekat Kuching, namun juga daerah lain yang menjadi pusat penempatan pekerja migran Indonesia di Sarawak.

Selain itu, dapat juga dilakukan bersamaan dengan kegiatan yang berkaitan kebutuhan pekerja migran Indonesia, seperti pembuatan paspor atau layanan administrasi kependudukan lainnya. KJRI di Kuching rutin melakukan "jemput bola" ke pekerja migran Indonesia yang membutuhkan layanan keimigrasian itu.

Yonny Triprayitno menuturkan, dengan jemput bola seperti itu, setidaknya para pekerja migran Indonesia dapat mengurangi pengeluaran. Ujung-ujungnya, penghematan bagi si pekerja migran Indonesia.

Tidak hanya dari sisi kesehatan dan keimigrasian, ada banyak pekerjaan rumah bagi kehidupan pekerja migran Indonesia, seperti pendidikan, yang selama ini mengandalkan Community Learning Center (CLC). Di CLC, anak-anak dari pekerja migran Indonesia mendapat pendidikan. Gurunya ada yang dikirim dari Pemerintah Indonesia ke berbagai CLC yang tersebar di Sarawak, termasuk di Sabah.

Hasto menegaskan, tujuan akhirnya adalah sesuai prioritas Presiden Joko Widowo, yakni menjadikan SDM Indonesia yang unggul. Tidak hanya di dalam negeri, namun juga bagi mereka yang hidup di negera jiran atau asing.

Terlebih lagi, tidak selamanya para pekerja itu akan bekerja di luar negeri. Suatu saat mereka pasti akan kembali ke Tanah Air sehingga perlu mempersiapkan diri dengan matang, baik dari sisi ekonomi maupun kualitas kehidupan.


Hampir Seribu kilometer

Kunjungan Hasto Wardoyo ke Kalbar dan Sarawak juga mencatat hal baru, yakni perjalanan darat terjauh yang ditempuh sejak menjabat sebagai Kepala BKKBN RI pada 1 Juli 2019. Hampir seribu kilometer ia tempuh bersama rombongan untuk meninjau kegiatan pelayanan bakti sosial KB perbatasan Indonesia-Malaysia, kerja sama BKKBN RI dan Perwakilan BKKBN Provinsi Kalbar, Konjen RI di Kuching dan IPKB Provinsi Kalbar.

Dimulai dari Sabtu (15/2) pagi diterima Gubernur Kalbar Sutarmidji di Pendopo Gubernuran. Sekaligus melepas rombongan Mobil Umum Penerangan (Mupen) dan Motor Penerangan on The Road yang diikuti ratusan peserta.

Rombongan lalu menuju Entikong, Kabupaten Sanggau, untuk bertemu komunitas milenial dan pecinta sepeda motor. Hasto menekankan pentingnya perencanaan keluarga bagi kalangan milenial tersebut.

Pada Minggu (16/2), sejak pukul 08.00 waktu setempat atau pukul 07.00 WIB, rombongan sudah menuju ke Ladang Ladong untuk bertemu pekerja migran Indonesia serta memberi pelayanan KB dan keimigrasian. Dua jam perjalanan, rombongan tiba dan pukul 13.00 waktu setempat menuju Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk di Kabupaten Sambas.

Waktu tempuh mencapai empat jam perjalanan. Tiba sekitar pukul 16.00 WIB, setelah disambut dan foto bersama di PLBN Aruk, rombongan menuju Puskesmas Sajingan Besar untuk melihat pelayanan KB.

Malamnya, sekitar pukul 20.00 WIB, rombongan tiba di Rumah Dinas Bupati Sambas setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam. Tak kenal lelah meski telah menempuh perjalanan panjang, Hasto Wardoyo dan rombongan beraudiensi bersama jajaran pejabat Pemkab Sambas dipimpin Bupati Atbah Romin Suhaili.

Sekitar pukul 22.00 WIB, rombongan melanjutkan perjalanan ke Kota Singkawang yang berjarak sekitar 80 kilometer dengan waktu tempuh 1,5 jam.

Menginap semalam di Hotel Mahkota milik OSO Group, paginya Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie mengunjungi rombongan. Sekitar pukul 08.15 WIB, Hasto Wardoyo kembali menemui kalangan muda dari mahasiswa Politeknik Negeri Kesehatan Kementerian Kesehatan di Kota Singkawang.

Pukul 10.00 WIB, rombongan kembali melihat pelayanan KB, kali ini di Puskesmas Singkawang Barat 1. Hasto Wardoyo bahkan sempat memasang alat kontrasepsi jenis implant ke salah seorang ibu peserta KB.

Setelah beristirahat, pada pukul 13.00 WIB, rombongan kembali ke Pontianak. Tiba di Bandara Supadio Pontianak 4,5 jam kemudian, Hasto Wardoyo masih menyempatkan diri untuk briefing singkat bersama jajaran BKKBN Perwakilan Kalbar sebelum kembali ke Jakarta pukul 17.45 WIB.

Tak terlihat raut letih di wajah dokter yang pernah bertugas di pedalaman Kaltim itu. Bagi Hasto Wardoyo, negara hadir bagi warga negara adalah sebuah kewajiban yang harus dinikmati.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020