(Model) ini adalah salah satu cara menata sistem hukum kita,
Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara sekaligus anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2019-2024 Prof Jimly Asshiddiqie mengusulkan agar rancangan undang-undang hukum perdata internasional (RUU HPI) dibuat dengan model Omnibus Law.

Usulan itu dia sampaikan saat memberikan pidato kunci  pada forum diskusi Sarasehan Jilid II Peningkatan Diplomasi Ekonomi melalui Pengembangan Hukum Perdata Internasional yang diadakan oleh Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta, Kamis.

"Menurut saya, HPI ini kita Omnibus-kan saja. Omnibus Law daripada (buat undang-undang) satu-satu, karena kita UU bantuan hukum pidana sudah ada, UU arbitrase sudah ada. Bidang ini belum. Nanti juga ada UU mengenai foreign judgment (putusan pengadilan asing). Kalau sudah begitu, jadikan satu saja dalam Omnibus Law," kata Jimly.

Menurut dia, tim perumus RUU HPI perlu memanfaatkan kesediaan Indonesia mengadopsi sistem Omnibus Law. "(Model) ini adalah salah satu cara menata sistem hukum kita," ujar dia.

Dalam kesempatan itu, Jimly, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi RI, menjelaskan model Omnibus Law pada RUU HPI dapat membantu tim perumus memastikan harmonisasi sekaligus mengevaluasi undang-undang terkait.

"(Undang-undang terkait) misalnya, UU Mahkamah Agung, UU Susduk (susunan dan kedudukan lembaga legislatif), atau UU pembentukan peraturan perundang-undangan," usul Jimly.

Usulan Prof Jimly mengenai RUU HPI itu diapresiasi oleh Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI, Damos Dumoli Agusman. "Kita berterima kasih kepada Prof Jimly karena bergulir di sini ide-ide Omnibus Law-nya akan mempengaruhi bagaimana kita menyusun Hukum Perdata Internasional," terang dia.

Walaupun demikian, Ketua Tim Perumus RUU HPI di Indonesia, Bayu Seto Hardjowahono menjelaskan rancangan beleid itu tidak tepat jika dibuat dengan model Omnibus Law. "Ada persoalan konsep dasar yang harus kita sepakati. Saya berpendapat, Omnibus Law itu metode, teknik (menyusun) perundang-undangan. Kalau UU HPI itu bukan UU Omnibus Law, melainkan undang-undang biasa yang bisa digunakan mendukung UU Omnibus Law, misalnya rancangan UU Cipta Lapangan Kerja," jelas dia.
 
Ketua Tim Perumus Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI) di Indonesia, Bayu Seto Wardjowahonk menjawab pertanyaan awak media di sela Sarasehan Jilid II "Penguatan Diplomasi Ekonomi melalui Pengembangan Hukum Perdata Internasional di Indonesia" yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta, Kamis (20/2/2020). (ANTARA/Genta Tenri Mawangi)


Menurut Bayu, ada miskonsepsi atau kekeliruan memahami konsep apabila RUU HPI dibuat dengan format Omnibus Law.

Usulan pembuatan RUU HPI pernah bergulir pada 1980-an, tetapi prosesnya terhenti dan berlanjut pada 2015. Saat itu, proses penyusunan juga kembali terhenti, tetapi akhirnya berlanjut pada 2017 sampai saat ini.

Rancangan beleid hukum perdata internasional di Indonesia saat ini telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) periode 2020-2024. Sejauh ini, perumusan serta penyusunan draf RUU HPI bersama naskah akademiknya telah diselesaikan oleh tim perumus.

Selama 74 tahun merdeka, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Hukum Perdata Internasional, sehingga perkara terkait itu masih mengacu pada aturan peninggalan kolonial Hindia Belanda yang usianya lebih dari satu abad. Peraturan yang menjadi acuan Indonesia dalam menangani perkara keperdataan internasional, antara lain Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesische (AB).

Baca juga: RUU HPI perlu segera disahkan untuk dukung diplomasi ekonomi Indonesia
Baca juga: Kemenlu selenggarakan sarasehan pengembangan hukum perdata internasional

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020