Untuk bisa tumbuh, pengembangnya harus kreatif dalam membuat produk dan harga terjangkau. Jika itu terpenuhi, saya yakin market meningkat.
Jakarta (ANTARA) - Sebagai seorang tenaga pemasaran produk properti, Luthfi kerap menawarkan secarik kertas, yang merupakan lembaran harapan rezeki bagi dirinya.

Namun, bagi orang yang ditawarkan, kertas itu barangkali hanya dinilai sebagai tulisan persuasif tentang unit hunian yang sedang coba dijualnya.

“Sekarang susah, bahkan kadang satu bulan lebih saya tidak bisa jualan,” ungkap Luthfi kepada Antara, di sela-sela aktivitasnya.

Satu per satu ia tatap mata tamu, diiringi senyum berkembang menawarkan selebaran informasi perumahan. Kadang, senyum pun tak berbalas, seketika itu penolakan langsung adalah hal nyata, sehingga sirna pula kesempatannya dalam meraih optimisme targetnya.

“Saya merasakan semakin tahun makin susah jualan rumah, apalagi tiga tahun terakhir, satu saja susah dalam sebulan,” keluh Luthfi yang fasih dalam mengenali area strategis kawasan Bintaro, Tangerang.

Sembari merapikan tumpukan brosur, ia sempat merapikan setelan jasnya seraya menjelaskan bahwa sudah berbagai cara pendekatan ditawarkan kepada konsumen, utamanya perlakuan spesial pada rumah yang berharga setara Rp1 miliar.

Kerap kali, kesepakatan urung terjadi. Luthfi menilai bahwa daya beli masyarakat atau pola investasi properti yang digandrungi sudah bergeser.

Luthfi tidak sendirian, ia hanya kepingan kecil yang mengeluhkan adanya penurunan daya tarik minat masyarakat luas terhadap properti. Bahkan, banyak pengamat menegaskan jika sektor properti sedang dalam kondisi lesu.

Namun, di tengah-tengah fenomena kepayahan sektor properti tersebut, justru mulai muncul konsep baru yang diracik para pemikir usaha serta gaya hidup yang diinginkan.

Salah satunya adalah konsep co-living atau persewaan properti yang lebih memuat banyak konsumen dalam satu tempat. Penerapan konsep ini lumrah ditemukan di kota-kota besar, mengingat minimnya lahan yang tersedia, tapi memiliki banyak permintaan properti dengan harga yang terjangkau.
Baca juga: Mencari solusi bagi masyarakat berpenghasilan minim bisa beli rumah


Milenial
Kaum milenial, atau warga kelahiran antara 1980 hingga 1990-an, merupakan pangsa pasar yang menggiurkan, mengingat usia mereka pada saat ini tengah menjadi individu yang produktif serta mulai berpikir memiliki hunian.

Untuk menggaet target itulah banyak konsep properti baru bermunculan, bahkan tren co-living mulai digemari kaum milenial sebagai alternatif sebagai tempat tinggal.

"Untuk bisa tumbuh, pengembangnya harus kreatif dalam membuat produk dan harga terjangkau. Jika itu terpenuhi, saya yakin market meningkat,” Department Head Research and Consultancy PT Savills Consultants Indonesia Anton Sitorus.
Baca juga: Akibat kurang edukasi, milenial tidak prioritas beli properti

Menurut Anton, salah satu konsep yang saat ini tengah digemari adalah co-living. Namun, lanjutnya, jika konsep co-living ditawarkan dengan harga tinggi, pembelinya tentu juga akan terbatas. “Pasar co-living seperti properti lain. Pasarnya ada, asalkan harga cocok,” katanya.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda. Menurut Ali, saat ini harga properti sudah sangat tinggi sehingga kesulitan untuk dijual. “Hasil survei kami sekitar 47,4 persen pilih tinggal di kos-kosan, kemudian sebanyak 47,1 persen berkeinginan untuk tinggal di apartemen, sedangkan sisanya memilih tinggal di kediaman keluarga atau saudara," katanya.

Berdasarkan riset IPW, saat ini ada sebanyak 39,9 persen kaum milenial tinggal di kos atau apartemen dengan besaran sewa di bawah Rp 2 juta per bulan, sebanyak 38,5 persen menyewa dengan harga Rp 2-3 juta per bulan, dan 21,6 persen menyewa dengan harga di atas Rp3 juta per bulan.
Baca juga: Bisnis properti kembali meningkat pascapilpres


Transmutasi teknologi
Dengan memiliki alternatif sewa pada properti, merupakan salah satu konsep menggairahkan bentuk baru bisnis properti. Tidak ketinggalan, pemerintah juga menggalakkan target-target besar pada sektor properti.

Melalui sejumlah BUMN, pemerintah menggalakkan untuk dapat merangkul kaum milenial sebagai target primer dalam memutar roda properti. Tetapi bukan konsep produk yang mengalami metamorfosis, melainkan cara mengomunikasikan kepada konsumen yang berubah.

Guna mengikuti gaya hidup serta gaya komunikasi dari kaum milenial dilakukan antara lain oleh perusahaan plat merah perbankan yang giat dalam properti, yaitu PT Bank Tabungan Negara (Persero), yang memang memiliki bisnis andalan dalam pembiayaan properti.
Baca juga: Properti menjadi bisnis miliaran di tangan milineal ini

PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk bahkan telah menyiapkan lima strategi bisnis pada untuk meningkatkan penetrasi Kredit Pemilikan Rumah dan penghimpunan dana murah dari nasabah generasi milenial.

Dalam satu pameran properti di Jakarta, gaya pendekatan yang dilakukan BUMN tersebut pun mulai bermetamorfosis untuk lebih nyaman kepada anak muda, jauh dari sistem jualan konvensional selama ini.

Lima strategi yang disiapkan perseroan sendiri pertama adalah untuk pergeseran fokus target ke nasabah milenial. Strategi pertama yakni meningkatkan berbagai lini digital perbankan.

Untuk lebih menyasar pada pengalaman pembelian, BTN baru saja meluncurkan program “KPR Gaeesss for millenials” yang dapat diakses lewat aplikasi BTN Properti Mobile format android, seperti gaya milenial yang selalu dekat dengan gawai.

Maksud dari program KPR ini untuk menyesuaikan kemudahan merogoh kocek bagi anak muda secara praktis antara lain syarat uang muka (down payment/DP) mulai dari satu persen, bebas biaya admin, suku bunga satu digit, diskon provisi 50 persen, dan jangka waktu kredit hingga 30 tahun.
Baca juga: Riset sebut ruang perkantoran didominasi perusahaan teknologi

Strategi kedua adalah mengakselerasi kemitraan dengan berbagai sektor dan pemangku kepentingan di industri properti dan pelaku industri keuangan seperti sektor finansial berbasis aplikasi (fintech).

Aplikasi pembayaran fintech akrab menjadi keseharian anak muda dalam bertransaksi, sehingga strategi ini adalah tentu saja untuk memahami gaya hidup yang ringkas.

Selanjutnya, strategi ketiga adalah mengembangkan berbagai segmen bisnis serta infrastruktur, termasuk infrastruktur digital.

Untuk mendukung pengembangan tersebut, di strategi keempat, BTN juga akan terus meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perseroan.

Sedangkan strategi terakhir, perseroan juga akan menerapkan bisnis model yang baru yang lebih berfokus pada pendanaan ritel serta pendanaan berskala menengah ke besar (wholesale funding), guna mengurangi biaya dana sehingga meningkatkan keuntungan perseroan.
Baca juga: Praktisi sebut pasar properti sedang "istirahat"

Di antara hal yang memudahkan adalah adaptasi inovasi dengan teknologi, bahkan kunjungan survei ke lokasi pun, bisa urung dilakukan, sebab BTN memiliki aplikasi virtual tour 4D, atau simulasi kondisi rumah yang dijual dalam bentuk aplikasi dalam gawai, ditinjau dalam ponsel calon debitur.

Bentuk promo yang dilakukan juga tak lagi konvensional, tetapi mulai dari lelang rumah hingga meninjau rumah pun bisa dilakukan dalam satu waktu tanpa adanya kerumitan prosedur yang kurang digemari milenial.

Melalui berbagai bentuk transformasi, diharapkan ke depannya mampu merangsang kembali minat masyarakat dalam sektor properti baik sebagai hunian maupun investasi.
Baca juga: Meneroka misi bank tabungan di era milenial
 

Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2020