Jakarta (ANTARA) - Head of Business Development Allstars.id, Grady Esmond, menjelaskan bahwa marketing influencer platform merupakan wadah bagi mereka yang memiliki kehadiran kuat di media sosial atau akrab disebut influencer untuk kemudian dipertemukan dengan merek dagang untuk pemasaran digital.

Grady mengatakan bahwa Allstrars.id, sebagai marketing influencer platform, merupakan agensi bagi influencer. Dia mengibaratkan platform tersebut, sebagai marketplace, layaknya Tokopedia.

"Influencer sebagai tokonya, sementara customer-nya adalah brand," ujar Grady di Jakarta, Senin.

Saat ini, Grady melihat, bisnis marketing influencer semakin menjanjikan, sebab banyak orang yang sudah mulai terbiasa dengan iklan, dan bahkan paham dengan kehadiran iklan digital yang biasa muncul di sosial media.

Sementara itu, masyarakat yang mulai menggunakan media sosial, seperti Instagram, dan mulai meninggalkan media konvensional, televisi misalnya, dan lebih banyak menonton YouTube.

Hal ini, menurut Grady, menguntungkan bagi influencer, untuk lebih memanfaatkan platform yang ada. Sejalan dengan hal itu, merek juga mulai mengetahui bahwa hardselling sudah tidak lagi efektif, dan mulai masuk ke konsumen lewat soft-selling.

“Ke depan akan banyak konten yang tercipta, dan marketing influencer jumlahnya akan terus bertambah," kata Grady.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan saat ini semakin banyak Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang menggunakan untuk pemasaran digital.

“70 persen lebih itu pasti UMKM, 30 persennya mungkin medium dan besar," ujar Grady di Jakarta, Senin, mengacu pada variasi klien Allstar.id.

"Makanan akan menjadi paling gede, di atas 50 persen itu makanan, karena kita tahu sendiri fnb, kopi kekinian, sekarang mulai menjamur," lanjut Grady.
 

Head of Business Development ‪Allstars.id‬, Grady Esmond, di Jakarta, Senin (24/2/2020). (ANTARA/Arindra Meodia)

Lebih jauh, Grady menjelaskan, influencer terdiri dari tiga macam tingkatan. Influencer dengan 10.000-100.000 followers merupakan micro-influencer, sementara mereka yang memiliki 100.000-1 juta followers disebut makro-influencer, sedangkan mereka yang memiliki followers di atas 1 juta adalah mega-influencer.

Menurut Grady, masing-masing influencer pada tingkatannya memiliki peran atau segmentasi yang berbeda-beda. Jika brand ingin meningkatkan awareness agar produknya dapat dikenal lebih luas, maka mega-influencer menjadi pilihan yang tepat karena memiliki lebih banyak followers.

Sementara, bagi brand yang ingin meningkatkan penjualan atau menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu, maka dapat menggunakan mikro dan makro-influencer karena kebanyakan dari mereka memiliki ikatan emosional yang kuat dengan para pengikutnya..

Pendapatan para influencer juga ditentukan dari tingkatan tersebut. "Bisa ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Bahkan mega-influencer sekali post bisa sampai Rp50 juta," ujar Grady.

Tantangannya saat ini, Grady menambahkan, adalah influencer itu sendiri. Menurut dia, perlu dilakukan edukasi kepada influencer untuk menginformasikan bagaimana cara berkomunikasi dengan merek sebagai klien, termasuk menentukan rate-card yang tepat.

Sementara, bagi brand yang menggunakan jasa Allstar.id akan dapat dengan mudah memonitor konten yang telah diunggah influencer.

"Yang penting lagi exposure-nya berapa, engagemnet-nya berapa, yang like, komen berapa, itu yang dapat dijadikan indikator bagi brand menggunakan platform kami," ujar Grady.

"Peningkatan setelah menggunakan influencer pasti ada, tapi itu yang layak bicara dari brand-nya," tambah dia.

Baca juga: Perlukah promosi offline dalam digital marketing?

Baca juga: Pengusaha properti maksimalkan digital marketing


Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2020