Jakarta (ANTARA) - Pakar ketenagalistrikan Eddie Widiono Soewondho mengatakan, bahwa investor pada saat ini lebih tertarik dengan formula tarif listrik energi baru terbarukan yang ditetapkan dari harga pasar dibanding dengan harga yang ditetapkan melalui kebijakan politis selama profil risikonya tidak banyak mengalami perubahan.

“Ada hubungan antara besaran tarif dan risiko. Harga pasar itu lebih baik dibanding kebijakan, bisa saja, saya setuju. Asalkan, sepanjang profil risikonya tidak berubah drastis, ini kaitannya dengan seringnya terjadi perubahan kebijakan dan peraturan, apalagi bila sampai terjadi disrupsi,” ujar Eddie dalam media briefing di Jakarta, Jumat.

Untuk itu, lanjutnya, PLN harus melakukan transformasi karena badan usaha listrik milik negara tersebut memiliki peran dalam memfasilitasi investasi untuk pindah dari energi fosil ke energi hijau.

Menurutnya, tidak ada entitas lain yang seideal PLN dalam menjembatani transisi menuju ekonomi hijau yang terkait dengan jangkauan kawasan layanan yang dimiliki PLN maupun jumlah dan sebaran pelanggannya.

“Dalam hal ini, butuh inovasi dan keberanian dalam mengambil keputusan. Saat ini, dua hal tersebut masih minim. Memang, transisi energi itu adalah keputusan pemerintah, tapi transisi teknologi yang dibutuhkan untuk mendukung keputusan itu kemampuannya ada di PLN,” kata Eddie.

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) telah meluncurkan laporan terbaru di mana skema feed-in tariff (FIT) dapat digunakan dalam memulai sejumlah investasi pengembangan energi terbarukan.


Baca juga: IEEFA : "feed in tarif" dapat digunakan untuk memulai investasi EBT
Baca juga: Peluang kerja banyak tercipta dari investasi EBTKE


Namun, hasil yang lebih baik kebijakan berpihak pada pasar seperti skema lelang yang transparan dan kompetitif adalah kunci masa depan pertumbuhan ET di Indonesia.

Peneliti dan penulis laporan IEEFA Elrika Hamdi, dalam kesempatan yang sama mengatakan, belajar dari negara-negara berkembang lainnya, hasil terbaik di tingkat sistem kelistrikan dapat tercapai jika lelang tersebut dirancang dengan cermat dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sistem.

Langkah menuju FIT merupakan awal yang bagus dan sangat dihargai, namun transisi yang cepat menuju reverse auction yang kompetitif dan transparan adalah pendekatan terbaik untuk mempercepat penyerapan dan investasi Energi Terbarukan skala besar di Indonesia.

Ia juga menjelaskan, pemerintah sedang merancang peraturan presiden (perpres) terkait tarif pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan (ET). Ketentuan yang akan diatur dalam perpres ini adalah penggunaan skema FIT, berbeda dibanding aturan yang berlaku saat ini yaitu menghitung harga pembangkit listrik ET berdasarkan biaya pokok produksi (BPP), yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50/2017.

Laporan IEEFA menggarisbawahi sejumlah pondasi yang dibutuhkan untuk membangun desain sistem ET yang kuat. Pondasi tersebut di antaranya, harga pasar lebih baik dibandingkan dengan harga yang ditetapkan melalui kebijakan politis. Hasil studi menunjukkan, Jerman dan Vietnam yang sebelumnya mengimplementasikan instrumen FIT untuk ET, sekarang ini ini lebih memilih untuk melakukan lelang terbalik atau reverse auction untuk mendapatkan tarif listrik yang lebih murah.

Baca juga: Presiden Jokowi ajak Australia kembangkan energi terbarukan
 

“Ada risiko politik yang harus ditanggung bagi pembuat kebijakan yang menentukan harga melalui FIT. Bila terlalu mahal, maka beban subsidi listrik meningkat. Negara-negara yang berhasil mengimplementasikan FIT, seperti Jerman dan Vietnam, harus menanggung harga listrik yang mahal,” kata Elrika.

Pondasi lain terkait lelang yaitu perlunya mendorong proses yang transparan dan kompetitif untuk mengurangi risiko. Banyak negara berkembang di seluruh dunia berhasil melakukan lelang yang bukan hanya menghasilkan penambahan kapasitas pembangkit ET secara cepat, tetapi juga mendapatkan harga terendah.

"Desain lelang harus memperhatikan kondisi negara setempat. Setiap negara punya cara berbeda untuk men-de-risk lelang, tergantung kemampuan negara tersebut menyerap risiko. Apapun cara yang dipilih, biasanya pasar yang menentukan hasil melalui harga penawaran,” ujarnya.


Baca juga: Teknologi energi baru dan terbarukan mulai diterapkan di Indonesia
Baca juga: Asosiasi Alumni MSU di Indonesia minta pemerintah prioritaskan EBT

 

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020