Sydney (ANTARA News) - Konferensi Hubungan Indonesia-Australia yang meretas era baru kemitraan kedua negara memasuki sesi inti, Jumat, dengan menghadirkan Menlu Stephen Smith dan Menlu Hassan Wirajuda.

Keduanya menyampaikan pidato yang diikuti sesi tanya-jawab yang terbuka bagi wartawan. Setelah itu, para peserta konferensi yang berlangsung di James Cook Ballroom Hotel InterContinental Sydney menggelar sesi tertutup yang mengupas isu demokrasi, pembangunan ekonomi, bisnis, dan investasi, dan lingkungan hidup.

Dalam sesi pertama yang mengupas "dinamika, peluang, dan tantangan bersama Indonesia-Australia" sebagai dua negara demokratis di era politik baru" yang dipandu pengamat politik Universitas Nasional Australia (ANU), Prof.Andrew MacIntyre, dua akademisi Indonesia dan seorang pejabat pemerintah Australia menjadi panelis.

Mereka adalah Dr.Rizal Sukma dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Jakarta, Dr.Anies Baswedan (Universitas Paramadina) dan Clare Martin dari Dewan Layanan Sosial Australia (ACOSS).

Dalam sesi dua yang mengupas masalah peluang baru kerja sama dan pembangunan ekonomi, bisnis dan investasi, Sekretaris Parlemen Australia untuk Urusan Pembangunan Internasional Bob McMullan dan Ketua BKPM Muhammad Lutfi tampil sebagai pembicara bersama dua pengusaha.

Jumat sore, para peserta konferensi mengupas isu lingkungan yang menghadirkan Menteri Perubahan Iklim Australia Penny Wong, Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Mas Achmad Santosa (pegiat hukum lingkungan), dan Oliver Yates dari Macquaire Capital Australia.

Sebelumnya, dalam sesi pembukaan konferensi, Menlu Australia Stephen Smith dan Menlu Hassan Wirajuda menyampaikan pidato yang mengupas arah, kilas balik sejarah, dan masa depan hubungan kedua negara dengan menekankan pentingnya aspek hubungan di tingkat rakyat.

Dalam pidatonya, Menlu Smith mengingatkan dua ancaman bagi hubungan kedua negara, yakni sikap "berpuas diri" dan "kejutan" (surprise), sedangkan Menlu Wirajuda mengingatkan bahwa hubungan bilateral ini "bukan hanya antara dua pemerintah saja".

"Rakyat Australia dan Indonesia merupakan pemilik bersama hubungan ini," katanya.

Karena itu, Hassan Wirajuda meminta seluruh pemangku kepentingan dari kalangan non-pemerintah di kedua negara, seperti pengusaha, akademisi, pekerja media, kaum wanita dan pemuda, pelajar, petani, kalangan eksekutif, dan artis agar terlibat dalam apa yang disebutnya "diplomasi total" bagi penguatan fondasi hubungan.

"Kemitraan (dua bangsa-red.) pertama dibangun oleh saling mengenal dan menghargai. Kemudian diperluas dan diperkuat dengan aksi melalui kerja sama yang saling menguntungkan," katanya.

Konferensi yang berlangsung sampai Sabtu siang (21/2) itu diikuti sekitar 140 orang anggota delegasi dari kedua negara.

Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi, seperti pengusaha, pegiat lingkungan hidup, masyarakat madani, akademisi dan peneliti, anggota parlemen, pejabat pemerintah dan pekerja media.

Di antara mereka yang hadir adalah para eksekutif senior perusahaan-perusahaan besar kedua negara seperti Rio Tinto, BHP, Leightons, Thiess, Santos, ANZ, Commonwealth Bank, Deacons, Corrs, Allens, Kelompok Wings, Petrolog, SCTV, Indomobil, Sinar Mas Grup, dan PT Jababeka.

Dari kalangan pejabat pemerintah, peneliti, tokoh masyarakat, dan pegiat lembaga kajian, hadir Ketua Lembaga Kajian Lowy, Allan Gyngell, Greg Fealy (Indonesianis ANU), Din Syamsuddin (Muhammadiyah), Yenny Wahid, Khofifah Indar Parawangsa, Andrew MacIntyre (ANU) dan Greg Barton (Universitas Monash).

Dari kalangan anggota parlemen dan pekerja media kedua negara, hadir antara lain Ketua Majelis Rendah Australia, Harry Jenkins, Ketua Komisi I DPR-RI Theo Sambuaga, serta para redaktur senior Harian The Jakarta Post, ANTV, dan Majalah Tempo
(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009