Jakarta (ANTARA) - Maestro langgam Jawa, Waldjinah (63)  berbagi kiat "penangkal bengong" di atas panggung.

"Saya tetap harus ramah dan tersenyum, seolah menatap mata penonton padahal saya melihat ke atas mata atau atas kepala. Ini karena ada pengalaman buruk, dulu saya menatap mata penonton lalu tiba-tiba ada yang `memeletkan` lidahnya... wah saya jadi lupa semua syair lagu ..." katanya disambut tawa hadirin.

Minggu petang itu, perempuan asal Surakarta itu berada di Jakarta atas undangan Alumni Sastra Jawa Universitas Indonesia yang menggelar acara berjudul "Langgam Jawa Riwayatmu dulu dan Campursari riwayatmu kini".

Pada acara diskusi dan pementasan langgam Jawa dan Campursari bersama artis Sudjiwo Tedjo dan pakar langgam dari ISI Surakarta, Suwito itu Waldjinah melantunkan sejumlah langgam Jawa termasuk Walangkekek dan Tanjung Perak, yang pernah melambungkan namanya.

Waldjinah juga membagi ilmunya tentang seni Langgam, Keroncong bahkan hingga ketepatan musik pengiringnya.

"Saya ini bersyukur karena dianugerahi Tuhan suara hingga 12 oktaf, saya bisa menyanyi dengan nada Bes. Untuk langgam biasa bermain di kunci G," kata Waldjinah yang bangga dengan gaya penampilan berkebaya. Malam itu ia mengenakan kain panjang dan kebaya warna hitam berkembang putih dan hiasan berkilau.

"Sekarang enak bisa praktis, sanggul tinggal tempel dan kain juga pakai yang dijahit, kalau dulu tidak ada konde tetapi pakai `cemara`(rambut palsu untuk konde-Red) dan kain digulung melilit tubuh,"kata perempuan yang sudah berkarier lebih dari 50 tahun itu.

Regenerasi

Menghadapi fakta bahwa musik Langgam Jawa, Campursari dan Keroncong saat ini kurang diminati masyarakat, Waldjinah menuturkan bahwa kehadiran televi memberi andil terhadap menghilangnya minat orang untuk menonton jenis musik tersebut.

Menurutnya, dulu lagu-lagu banyak diperdengarkan di radio, maka suara indah dari seorang penyanyi sudah cukup untuk mengangkat popularitasnya meskipun penampilan fisiknya tidak menarik. Tetapi sejak ada televisi, penyanyi dilihat lebih pada penampilan, cara berbusana, bergoyang dan suaranya cuma nomor dua, katanya.

"Musik dangdut disukai karena diperdengarkan terus menerus. Kalau keroncong dan langgam Jawa juga disiarkan terus bukan hanya oleh TVRI tetapi juga televisi swasta, pasti penggemarnya akan banyak."

Untuk mengangkat kembali minat pada jenis musik langgam dan keroncong, Waldjinah membuka kelas untuk anak-anak SMP-SMA yang berminat belajar menyanyi keroncong dan langgam.

"Saya cuma punya tempat di garasi, ya sudah belajar di situ. Anak-anak yang belajar kan dari keluarga miskin. Alhamdulillah sudah ada 15 murid yang mau belajar," kata penyanyi yang juga mendapat gelar bangsawan dari keraton Solo, dan tercatat sebagai Empu Keroncong dari Museum Rekor Indonesia (Muri).(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009