Jakarta (ANTARA News) - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan bahwa obat yang diracik atau puyer aman untuk dikonsumsi sepanjang pembuatannya dilakukan dengan benar, higienis dan dengan komposisi jenis obat yang rasional.

"Obat yang diracik atau puyer tidak ada masalah sepanjang dibuat dengan cara yang baik dan benar dan dengan komposisi jenis obat yang rasional," kata Wakil Ketua Umum II Pengurus Besar IDI, dr Sukman, SpA dalam jumpa pers di Depkominfo, Selasa.

Sukman mengatakan, obat yang diberikan dalam bentuk puyer atau racikan oleh seorang dokter terhadap pasiennya sama sekali tidak betentangan dengan profesionalisme dokter dalam menjalankan tugasnya dan pekerjaannya.

"Penjelasan yang telah diberikan oleh institusi yang terkait dan pemegang otoritas bidang kesehatan di Indonesia saat ini tentang keamanan obat puyer atau racikan telah menyatakan bahwa obat dalam bentuk puyer tetap dapat digunakan dalam praktek kedokteran sepanjang dibuat dengan standar yang benar dan dengan memperhatikan komposisi obat yang rasional," katanya.

Sukman yang juga Ketua Tim Masalah Obat Puyer IDI itu menjelaskan pemberian resep obat dalam bentuk puyer atau racikan oleh seorang dokter adalah merupakan bagian dari rangkaian praktik kedokteran sehingga dokter pada dasarnya memahami dan bertanggung jawab penuh terhadap semua jenis obat yang diberikan pada pasien.

"Dalam kurikulum pendidikan di Fakultas Kedokteran para calon dokter diberikan ilmu kefarmasian tentang meracik obat," katanya.

Bantahan atau pembenaran terhadap banyak hal yang berkaitan dengan praktek kedokteran yang berlaku secara universal saat ini, lanjutnya, haruslah berdasarkan bukti (evidence based medicine).

"Dengan demikian tidak sepenuhnya berdasarkan pada pendapat umum maupun pribadi atau asumsi-asumsi serta penelitian yang masih diragukan validitasnya," katanya.

Sukman mengatakan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri tidak pernah melarang suatu negara untuk memberikan obat puyer.

Kebijakan suatu negara terhadap penggunaan obat juga tergantung dari kondisi negara tersebut dan bukan sepenuhnya tergantung dari kebijakan WHO.

Pemberian obat puyer, katanya, lebih dikarenakan keterbatasan obat jadi yang ada di pasaran di Indonesia.

"Dokter membuat obat puyer agar dosis obat lebih tepat, terutama untuk pasien anak," kata Sukman yang juga dokter spesialis anak itu.

Selain itu, ada obat untuk beberapa penyakit seperti penyakit jantung yang memang tidak ada obat jadinya, sehingga harus diracik.

IDi mengharapkan kontroversi obat puyer ini bisa diakhiri dalam praktik kedokteran di Indonesia.

"Kasus-kasus tertentu dalam pemberian obat puyer yang diduga dilakukan tidak baik dan mengandung obat yang tidak rasional, dapat diselesaikan sesuai dengan permasalahan dan dapat saja dilaporkan pada pihak berwenang sesuai UU yang berlaku," katanya.

Pasien juga punya hak untuk menanyakan kepada dokternya mengenai obat yang diberikan dan dokter yang baik, kata Sukman.

IDI sendiri selalu melakukan pembinaan terhadap semua anggotanya yang merupakan bagian dari pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009