Itu yang namanya biowarfare, senjata biologi, bukan di senjatanya tapi di beritanya
Jakarta (ANTARA) - Hoaks yang kadung berseliweran di media sosial hingga media massa saat awal virus SARS CoV-2 penyebab penyakit COVID-19 merebak di Wuhan telanjur memunculkan persepsi menakutkan di benak sebagian masyarakat Indonesia.

Hal itu berujung pada anggapan situasi saat ini genting dan perlu melakukan tindakan kedaruratan dengan memborong masker, hand sanitizer, tisu basah, bahkan pasokan makanan.

Kondisi itu yang sudah menjadi kekhawatiran Menteri Kesehatan Terawan Agus Purwanto sejak awal, ketika isu bahwa virus corona tipe baru tersebut menjangkiti seorang pegawai Huawei yang berkantor di Gedung BRI di Jakarta.

Kekhawatiran akan ketidaksiapan masyarakat menerima informasi akan memunculkan kekacauan yang mungkin justru membahayakan.

Mereka yang sakit dan tenaga medis yang bertemu langsung dengan pasien, yang memang benar-benar membutuhkan masker, justru kesulitan mendapatkan benda tersebut akibat tindakan memborong habis perlengkapan kesehatan itu oleh masyarakat dan pihak tertentu.

Terawan dalam suatu acara pembekalan dokter spesialis di Jakarta pada 23 Januari lalu telah mewanti-wanti dokter-dokter muda yang akan diterjunkan ke berbagai daerah tersebut, untuk waspada akan munculnya kekacauan akibat berita-berita yang menyebar, yang dapat menakut-nakuti masyarakat.

“Kita sebagai dokter biar kita pinter, tahu persoalannya, kita harus waspada. Bahwa yang kita waspadai itu 'chaos' (kaos). Berita-berita yang menyebar, yang menakut-nakuti masyarakat, kayak hari ini saya dengar BRI kok memberi pernyataan loh. Pegawai bank, seorang ... makanya mau saya parani. Kapasitas apa memberi pernyataan bahwa ada yang terkena di gedung itu dan gedung itu diisolasi. Atas kewenangan siapa? Ini kan berbahaya sekali,” ujar dia saat itu.

Ia mengimbau dokter-dokter muda tersebut agar sangat berhati-hati menginformasikan isu kesehatan pada masyarakat, mengingat mereka yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan di pelosok Indonesia nantinya.

Terawan mengatakan, terkadang yang merugikan dan membunuh banyak orang bukan penyakitnya, tapi kekacauan pada ekonomi, pada ketidakpercayaan setelah informasi menyebar.

“Dan sekarang coba lihat di Wuhan, baru sekarang travel ban pada kota. Ada 7 juta ... 10 juta penduduk enggak bisa keluar dan masuk. Bayangkan, saya enggak bisa bayangin butuh tentara berapa ratus ribu untuk membuat situasi itu tenang. Dan berapa puluh ton bahan makanan harus ‘di-drop’. Aku enggak bisa ngerti baru untuk satu kota. Bagaimana kelumpuhan ekonominya,” kata Terawan.

“Karena itu doa kita jangan masuk lah. Kalau ada yang masuk, ya masuk tak terdengar. Kita layani dengan baik. Kita isolasi, kita obati dengan baik,” ujar dia jika ada pasien COVID-19.

Baca juga: Kominfo bersama Polri akan tindak tegas penyebar hoaks corona

Terawan mengkhawatirkan berita yang membuat penderitaan keluarga, bukan penyakitnya.

“Tapi berita itu bayangkan, membuat penderitaan keluarga kita, itu berita itu bukan penyakitnya yang membuat menderita. Itu yang namanya biowarfare, senjata biologi, bukan di senjatanya tapi di beritanya. Karena itu mumpung ini adik-adik semua saya harus memberi pemahaman yang sama. Di daerah juga begitu. Selalu membuat informasi yang menyejukkan. Malaria itu lebih berbahaya, apalagi falciparum, kalau tidak punya cara-cara mengatasinya. Kita kan tahu cara mengatasinya,” kata Terawan lagi pada dokter-dokter spesialis muda.

Pemahaman yang sama pun diharapkan dimiliki semua pihak, termasuk media massa, dalam menghadapi satu penyakit baru sehingga semua dapat melakukan langkah pencegahan dan penyembuhan penyakit dengan lebih efektif.

                                                                               Imbauan Dewan Pers

Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengeluarkan imbauan kepada insan pers di Tanah Air, Rabu (3/3), menyikapi berbagai pemberitaan maupun cara memberitakan dua pasien positif COVID-19 oleh media massa.

Mohammad Nuh meminta media cetak maupun elektronik memegang teguh prinsip-prinsip kode etik jurnalistik dalam pemberitaan kasus virus corona, dengan memberitakan secara akurat, berimbang, selalu menguji informasi, tidak beritikad buruk, serta dilakukan secara proporsional.

Selain itu, ia meminta media massa tidak memberitakan kasus virus corona secara berlebihan sehingga melupakan prinsip-prinsip dasar dalam kode etik jurnalistik. Media massa harus memperhatikan kepentingan publik yang lebih luas sebelum memuat berita atau laporan mengenai kasus corona itu.

Bagian ketiga yang menjadi imbauan Mohammad Nuh, yakni media massa melalui ruang redaksinya untuk menjaga ketertiban masyarakat sehingga dalam laporan dan pemberitaan mengenai virus corona itu tidak menimbulkan kepanikan dalam masyarakat.

Baca juga: Soal COVID-19, Dewan Pers imbau media patuhi kode etik jurnalistik

Media massa juga diminta untuk tidak memuat identitas pasien, baik yang dinyatakan positif terkena virus corona maupun yang dalam pengawasan otoritas kesehatan, baik nama, foto, atau alamat tempat tinggalnya, karena pasien adalah korban yang harus dihargai hak privasinya.

Dewan Pers juga mengingatkan media massa untuk menjaga keselamatan awak medianya dalam liputan virus corona sehingga tidak menimbulkan masalah baru, seperti terjangkit virus corona, saat bertugas di lapangan.

Yan terakhir, Dewan Pers meminta media massa bersama otoritas kesehatan menyampaikan informasi yang memberikan kepastian dalam masyarakat dan tidak membuat laporan atau berita yang hanya mencari sensasi dan meresahkan masyarakat.

Pemerintah Indonesia pernah menetapkan Penyakit Pernafasan Gawat Mendadak (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah pada 3 April 2003 melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 424/MENKES/SK/2003 tentang SARS.

SARS pertama kali disebutkan muncul pada November 2002 di Provinsi Guangdong, China, dan segera merebak di sejumlah negara.

Ada 8.069 kasus di dunia dan menewaskan 775 orang, sedangkan di Indonesia tercatat dua kasus yang keduanya dinyatakan sembuh setelah menjalani perawatan rumah sakit.

Namun, tentu ada nuansa yang berbeda saat epidemi SARS terjadi pada 2002 dibandingkan dengan penyebaran COVID-19 yang terjadi saat ini.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah membuka arus informasi selebar-lebarnya, sehingga kehati-hatian dalam pemberitaan oleh media massa dan kejelian mencerna berita serta informasi oleh masyarakat, seharusnya menjadi kekuatan bersama melawan merebaknya COVID-19 di Indonesia.

Baca juga: Bio Farma berkoordinasi dengan Menkes untuk teliti sampel corona
Baca juga: Menkes sebut kecemasan bisa pengaruhi imunitas tubuh
Baca juga: Menkes: Tidak semua orang kontak langsung menjadi sakit


Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020