dimana-mana ada Janger yang memiliki pilihan gaya dan gending yang berbeda-beda
Denpasar (ANTARA) - Maestro seni yang juga guru besar bidang Etnomusikologi Prof Dr I Made Bandem mengaku merindukan gaya tari dan gending Janger Klasik yang dulunya begitu beragam dan khas dari sejumlah daerah di Pulau Dewata.

"Namun sekarang ini, kesannya Janger itu ada penyeragaman dari sisi pilihan gaya tari maupun gending-gending Janger yang dibawakan," kata Prof Bandem saat menjadi narasumber dalam acara Kriyaloka (workshop) Janger Melampahan yang merupakan rangkaian kegiatan Pesta Kesenian Bali ke-42, di Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar, Jumat.

Janger merupakan salah satu tari pergaulan muda dan mudi khas Bali yang dipadukan dengan menyanyikan lagu-lagu rakyat. Janger diperkirakan muncul pada awal abad ke-20 di Bali Utara dan kemudian berkembang cepat ke Bali tengah dan selatan.

"Menurut I Made Kredek, seorang maestro Arja yang sering mengadakan pementasan ke Bali Utara mendengar lagu-lagu Janger dinyanyikan oleh para pengalu atau pedagang yang menjajakan bahan makanan (garam dan bumbu-bumbuan), menggiring kudanya ke pasar, sambil bernyanyi, lagu-lagu itu kemudian ditata menjadi gending Janger yang kita saksikan sekarang," ujarnya.

Baca juga: Denpasar usulkan tradisi ngaro, sate renteng, dua tarian jadi warisan budaya
Baca juga: Kekhasan syair Janger perlu didokumentasikan


Pada tahun 1920-an banyak berkembang tari Janger di daerah Badung (kini Kota Denpasar) seperti di Abiantimbul, Banjar Kedaton, Banjar Bengkel, Desa Sanur dan Desa Penatih. Sedangkan di daerah Gianyar dikenal adanya Janger di Desa Peliatan, Ubud dan Singapadu. Sedangkan di kawasan Bali Utara (Kabupaten Buleleng) terkenal dengan Janger Menyali.

"Dulu di Buleleng punya gaya Janger tersendiri, Denpasar apa lagi, dimana-mana ada Janger yang memiliki pilihan gaya dan gending yang berbeda-beda. Tetapi, sekarang yang paling banyak berkembang gaya Singapadu, Peliatan, dan Kedaton," ucap seniman yang pernah menjabat sebagai Ketua STSI Denpasar dan Rektor ISI Yogyakarta itu

Bahkan, lanjut Bandem, kini ada fenomena saling menggunakan gending satu daerah dengan dengan yang lain sehingga kesenian Janger terkesan monoton.

"Pementasan Janger di beberapa tempat, seringkali juga kurang memenuhi pakem dari Janger Klasik, tetapi malah meloncat pada Janger gaya kontemporer, dengan menggabungkan musik-musik Barat dan musik Indonesia," ucapnya.

Prof Bandem mengkhawatirkan jika kondisi penyeragaman terus berlarut dan pakem-pakem Janger Klasik ditinggalkan, maka generasi muda Bali akan kehilangan landasan untuk melestarikan kesenian Janger.

"Oleh karena itu, kriyaloka ini penting supaya kita memiliki landasan yang kokoh untuk memajukan Janger Klasik di era modern," kata seniman peraih Lencana Kebudayaan dari Presiden Republik Indonesia pada 2015 itu.

Baca juga: Anak-anak Nusa Lembongan "beradu" Janger massal
Baca juga: Kolaborasi apa antara Ariel, Dea, Guruh Soekarno di Asian Games 2018?


Melalui kriyaloka (workshop) tersebut, sekaligus untuk menyepakati pakem-pakem dari Janger Klasik. Ini yang perlu disepakati bersama karena bagaimanapun juga pementasan Janger Klasik dalam pementasan Pesta Kesenian Bali tetap harus menunjukkan keragaman dan kekhasan masing-masing kabupaten.

Dalam kesempatan itu, seniman yang telah menerbitkan lebih dari 170 karya ilmiah bidang seni dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris menjelaskan sejumlah pakem Janger Melampahan yakni dimulai dari Gending Pategak (lagu pembukaan dari sebuah pertunjukan Janger) dan Gending Pangaksama (lagu ungkapan selamat datang dan lagu memperkenalkan Janger itu dari mana asalnya).

Kemudian ada Pepeson Kecak, yakni sebanyak 12 orang Kecak memiliki tari yang disebut tari ngugal (papeson), dilanjutkan dengan Pepeson Janger dengan keindahan penampilannya dari posisi berderet dan seterusnya.

Prof Bandem mengemukakan, mengenai ide, tema, dan isi dari sebuah Janger Melampahan bersumber dari cerita seperti Kidung Sejarah (Mahabharata, Ramayana; Kidung Roman (Panji, Sampik Ing Tay, Sri Tanjung; Kidung Magis (Calonarang, Basur, Japatuan, dan Balian Batur).

Selain menjelaskan berbagai materi sejarah hingga pakem-pakem Janger Klasik, Prof Bandem dengan didampingi Suasthi Bandem, juga langsung mengajak para peserta "workshop" mempraktikkan gerak tari dan menyanyikan gending-gending Janger, sembari dilakukan diskusi mengenai tantangan yang masih dihadapi peserta untuk persiapan garapan dalam ajang Pesta Kesenian Bali ke-42 yang dimulai 13 Juni mendatang.

Sementara itu, Kepala Bidang Kesenian dan Tenaga Kebudayaan Disbud Provinsi Bali Ni Wayan Sulastriani saat membuka acara berharap dengan dilaksanakannya kriyaloka tersebut agar duta kabupaten/kota yang akan tampil di PKB lebih maksimal.

"Pakem-pakemnya bisa diketahui, sekaligus menyamakan persepsi bagaimana Janger Melampahan, yang di dalamnya mencakup tembang, tari dan gamelan. Apalagi menari Janger itu memang memerlukan strategi tersendiri, karena menari sambil bernyanyi," ucapnya.

Dengan mengangkat kembali seni-seni klasik, Sulastriani berharap generasi milenial bisa melestarikan nilai budaya Bali, khususnya di ranah seni Janger Melampahan. "Akan sulit melestarikan, kalau tidak mengetahui dan memiliki teknik yang benar," ujarnya.

Diapun mengingatkan supaya tema PKB ke-42 yakni "Atma Kerti, Penyujian Jiwa Paripurna" jangan sekadar dicantolkan saja di akhir dalam garapan Janger Melampahan. "Tetapi harus bercerita dari awal, bisa mengambil lelampahan (lakon) dari kearifan lokal yang ada di masing-masing daerah," katanya.

Baca juga: Upaya melestarikan tari sakral Sanghyang Dedari
Baca juga: Peneliti: Penari Bali tak jadikan tari sebagai penghasilan utama
Baca juga: Tari Baris Jangkang ditetapkan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Suasthi Bandem bersama para peserta kriyaloka Arja Melampahan mempraktikkan menari Janger di Taman Budaya Provinsi Bali (ANTARA/Ni Luh Rhisma/2020)

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020