Jakarta (ANTARA) - Sebagai sosok yang bertahun-tahun menggeluti aktivitas sosial kemasyarakatan, tawaran masuk Istana Kepresidenan hingga menjadi Menteri adalah tantangan tersendiri bagi Teten Masduki.

Pria asal Garut itu pun kini menjalani perannya sebagai Menteri Koperasi dan UKM dengan segudang tanggung jawab yang menantang. Bagi Teten sejatinya persoalan masyarakat kecil bukan barang baru. Namun perannya memimpin sebuah institusi besar menuntutnya untuk berperspektif baru.

Antara berkesempatan mewawancarai Teten Masduki saat berkunjung ke Kantor Berita Antara, Jakarta, Jumat (6/3). Berikut petikan wawancara Teten Masduki dengan pewarta Antara.

Bisa diceritakan sekilas mengenai penunjukan sebagai menteri di bidang ekonomi oleh Presiden? Mengapa mau menerima tantangan ini, padahal latar belakang dari bidang hukum dan antikorupsi?

Saya diminta oleh Presiden untuk memimpin Kementerian Koperasi dan UKM. Dan waktu itu beliau bilang karena di periode kedua pembangunan SDM dan UMKM jadi prioritas, maka saya diminta untuk urus ini.

Saya sampaikan ke Presiden, ini enggak mudah. Karena Kementerian ini anggarannya pun di bawah Rp1 triliun, organisasinya pun kecil, bagaimana saya punya kendali untuk mengurusi 64 juta pelaku usaha UMKM dan koperasi.

Kata Presiden ya itu tantangannya, diurus saja. Nah, ini saya coba redisain ulang program-program di kementerian. Saya juga sedang mengusulkan perubahan struktur birokrasi di kementerian, dan sedang melakukan peremajaan pejabatnya, sistem pendukungnya agar punya mindset bahwa Kementerian Koperasi dan UKM ini harus menjadi inkubator bagi pelaku UMKM untuk tumbuh dan berkembang.

Dalam waktu bersamaan, kita juga punya kewenangan untuk membangun kebijakan atau ekosistem yang mendukung tumbuhnya ekonomi rakyat ini. Jadi ini yang saya sedang disain di kementerian ini.

Saat menjadi menteri, dibandingkan saat jadi Kepala Staf Kepresidenan, apa perbedaannya dari sisi tantangan?

Waktu saya sebagai Kepala Staf Kepresidenan maupun saya sebagai Staf Khusus Presiden, banyak berurusan dengan masalah ekonomi karena Pak Presiden itu 80 persen konsentrasinya ke ekonomi. Karena beliau ingin sekali Indonesia terbang menjadi negara maju dan roadmap mengarah ke sana.

Jadi saya enggak terlalu awam dengan ekonomi apalagi waktu di Istana saya banyak berhubungan dengan pelaku usaha besar dan juga masyarakat. Jadi saya punya interkoneksi yang cukup bagus untuk mengawinkan mereka dalam bentuk kemitraan.

Ini penting, karena dalam studi baik misalnya oleh UI maupun Bank Dunia, UMKM yang berhasil scaling up naik kelas itu memang UMKM yang punya latar belakang bermitra dengan pelaku usaha besar, ini strategi kami adalah kemitraan. Ini sekarang menjadi strategi kementerian untuk mendorong UMKM naik kelas dan juga akselerasi pembiayaan.

Agenda apa yang dibawa ketika menjabat? Apa manfaatnya bagi Indonesia?

Kalau kita ingat 98 ketika krisis yang menjadi penyelamat ekonomi nasional itu, UMKM sampai waktu itu, ekspor UMKM bisa sampai naik 350 persen setelah itu kemudian dilupakan. Bahwa UMKM itu punya kekuatan dalam perekonomian.

Saat ini kita menghadapi perlambatan ekonomi global dan berdampak ke dalam negeri, ini saya kira momentum bagi kita untuk mengingatkan semua pihak bahwa kita harus menguatkan fondasi ekonomi kita dengan membangun ekonomi yang kuat.

Oleh karena itu kebijakan perekonomian, perizinan, kemudahan usaha, pembiayaan, lalu dukungan infrastruktur, logistik ini yang kami dorong sekarang baik dalam omnibus law maupun dalam kebijakan ekonomi pemerintahan. Dan hampir semua yang kami usulkan dalam rapat kabinet, Presiden mendukung.

Apakah harapan hidup dan cita-cita sejak kecil?

Sebenarnya saya ini orang civil society, aktivis LSM, memang tidak punya agenda politik. Saya di civil society meskipun isunya HAM, politik, atau pemberdayaan masyarakat, agenda utamanya perubahan sosial, yaitu perubahan masyarakat menjadi lebih baik.

Sekarang saya ditugasi mengurus ekonomi rakyat, jadi sebenarnya saya senang sekali, karena ini dunia saya. Cuma orang enggak cuma lihat bahwa saya punya pengalaman di sektor mikro ini.

Bagaimana menghadapi kritik?

Kita butuh kritik, kita butuh masukan, kita butuh watch dog supaya kita tetap terjaga diingatkan bahwa pemerintah punya agenda perbaikan kehidupan masyarakat.

Saya selalu melihat kritik sebagai suatu kendali bagi pemerintah. Tentu banyak yang tidak puas karena yang harus diurus banyak dan enggak mudah dan pasti juga kalau kita mau bikin perubahan kita enggak bisa menyenangkan semua pihak, kalau mau ambil jalan aman ya ambil kebijakan populis saja yang tidak banyak mengganggu banyak pihak. Tapi ini saya kira yang biasa saja ya.

Jadi kritik sangat perlu ya?
Oh sangat, sangat perlu karena kalau pemerintah tidak dikritik kita tidak tahu kalau kita salah. Kalau kita dikritik, ya kita seperti nyetir kendaraan harus belokin lagi ke jalur yang benar.

Tanggapan keluarga ketika pertama diberi tahu menjadi menteri?

Ah biasa saja. Menurut saya karena tidak ada yang istimewa, sebenarnya jadi menteri itu malah nambah sibuk saja.

Bagaimana melihat tanggung jawab sebagai menteri?

Saya merasa kita punya tanggung jawab yang lebih besar. Makanya kalau saya melihat praktik rentenir itu merajalela di sektor mikro, saya merasa ini beban yang harus saya selesaikan. Pemerintah kan punya komitmen untuk memberikan pembiayaan ke sektor UMKM tapi kalah sama rentenir. Ini yang sedang saya pikirkan bagaimana mencari model pembiayaan yang mudah dan murah yang memang diambil oleh para rentenir itu. Saya ini tertantang betul.

Lebih memilih jabatan sebelumnya di Istana atau sebagai menteri?

Enggak bisa memilih karena saya ditugasi Presiden. Jadi bukan mau tapi ini komitmen saya. Posisi saya adalah membantu Presiden bagaimana merealisasikan visi misi Presiden yang saya terjemahkan dalam program-program yang saya siapkan.

Apa saja tantangan yang dirasakan?

Tantangan lebih kepada masyarakat, karena masyarakat kita termasuk di UMKM sudah lama ingin ada perubahan yang cepat sehingga mereka kurang sabar juga.

Saya baru jadi menteri beberapa bulan saja mereka sudah kurang sabar. Padahal kan banyak saya harus benahi, kalau saya harus ngebut seperti harapan masyarakat ini kendaraan saya, kementerian saya, birokrasi saya harus dibenahi dulu. Bautnya, bannya harus dikencengin, diganti businya dulu, aki harus diganti, mesin harus diservis supaya bisa ngebut tapi kan masyarakat tidak mau tahu. Pinginnya kan output. Itu stimuluslah.

Sebut satu kata, respon satu kata. Koperasi?
Keren.

UMKM?
Naik kelas

NKRI?
Top

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020