Pasar saham dunia nampaknya masih diwarnai kekhawatiran Virus Corona...
Jakarta (ANTARA) - Mengawali pekan, dari Istana ada kabar mengejutkan. COVID-19, nama penyakit yang disebabkan oleh Virus Corona jenis baru atau SARS-CoV-2, "resmi" masuk ke Tanah Air. Presiden sendiri yang mengumumkan.

Tak ayal, pasar saham pun bergejolak. Investor merespons negatif dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun jatuh.

Meski berita tersebut membuat kepanikan, sebetulnya dampak dari wabah yang pertama kali ditemukan di Wuhan pada Desember tahun lalu itu telah dirasakan sebelum wabah tersebut benar-benar masuk ke Indonesia.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks memang menunjukkan tren penurunan sejak awal tahun. Per 1 Januari hingga 6 Maret 2020, indeks sudah melemah 12,72 persen (year to date/ytd).

Sepekan lalu, sebelum adanya pengumuman, IHSG bahkan sempat melemah hingga lebih dari empat persen seiring makin meluasnya penyebaran COVID-19 di luar China.

Indonesia tidak sendirian. Anjloknya harga saham juga dialami oleh seluruh bursa utama dunia (yang memiliki kapitalisasi pasar lebih dari atau sama dengan 100 miliar dolar AS), termasuk bursa-bursa di ASEAN.

Adapun penurunan tertinggi dialami Thailand dan diikuti Indonesia, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Singapura dengan penurunan sebesar masing-masing minus 15,03 persen, minus 13,44 persen, minus 13,15 persen, minus 8,2 persen, minus 6,68 persen, dan minus 6,57 persen.

Seiring kabar adanya WNI yang positif menderita COVID-19, BEI merespon dengan mengeluarkan kebijakan yang melarang pelaku pasar melakukan aksi jual kosong atau short selling. Short selling adalah aksi menjual saham tanpa memiliki saham perusahaan tersebut terlebih dahulu.

Saham yang dijual akan dipinjamkan dulu oleh sekuritas (broker), kemudian investor harus mengganti saham tersebut dengan membeli kembali saham perusahaan yang telah dijual.

Investor biasanya memperoleh keuntungan dari selisih penjualan dan pembelian kembali dari aksi short selling tersebut.

Bursa berharap di saat harga saham sedang menurun saat ini, dengan tidak adanya short selling dapat membantu agar pasar lebih stabil.

Baca juga: IHSG dibuka jatuh, seiring pergerakan bursa Asia


Pasar masih khawatir

Awal pekan ini pasar saham dunia sempat menguat dipicu harapan stimulus moneter dari berbagai bank sentral dunia.

Bank sentral AS, Federal Reserve (Fed) mengejutkan pasar usai memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) dari 1,5 persen sampai 1,75 persen menjadi 1 persen sampai 1,25 persen.

Hal itu dilakukan The Fed untuk mengantisipasi dampak penyebaran COVID-19 yang cepat terhadap pertumbuhan ekonomi. Pemangkasan tersebut dilakukan di luar jadwal rapat tanggal 18 Maret 2020 dan merupakan pemotongan suku bunga darurat pertama kali sejak krisis 2008.

Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee menilai sinyal yang diberikan The Fed adalah dampak negatif penyebaran COVID-19 terhadap perekonomian AS akan lebih buruk dari perkiraan sebelumnya.

Imbal hasil (yield) obligasi Amerika dengan tenor 10 tahun pun turun ke level 1 persen, yang merupakan angka terendah di sepanjang sejarah.

Penurunan yield mengindikasikan bahwa orang menjual instrumen berisiko dan masuk ke instrumen yang lebih aman di antaranya obligasi Amerika di atas 10 tahun. Harga emas yang dianggap safe haven juga mengalami penguatan tetapi dolar AS melemah.

Pasar saham Wall Street juga mengalami pelemahan tajam akibat keputusan tersebut, mengindikasikan pelaku pasar di sana juga mendapatkan sinyal negatif.

"Pelaku pasar juga menanti berbagai stimulus bank sentral untuk mengurangi dampak Virus Corona. Pelaku pasar Amerika kembali berharap The Fed melakukan pemotongan bunga pada pertemuan 18-19 Maret untuk menghadapi perlambatan ekonomi AS dan dunia. Hal ini yang mendorong yield obligasi AS tenor 10 tahun turun ke level 0,81 persen membentuk rekor terendah baru," ujar Hans.

Sebelumnya Bank of Canada juga telah melakukan pemangkasan suku bunga acuan menjadi 1,25 persen dari 1,75 persen dan siap untuk melakukan penurunan bunga lagi jika diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Pelaku pasar uang di zona Euro mengatakan ada peluang 90 persen European Central Bank (ECB) akan melakukan pemotongan suku bunga sebesar 10 basis poin pekan depan.

Gubernur Bank of Japan (BOJ) Haruhiko Kuroda juga mengatakan akan berusaha untuk menstabilkan pasar dan menawarkan likuiditas yang cukup melalui operasi pasar dan pembelian aset.

Pasar saham dunia juga mencerna realisasi berbagai stimulus lembaga dunia terkait penyebaran COVID-19. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan akan memberikan paket bantuan senilai 50 miliar dolar AS untuk mengurangi dampak wabah tersebut. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, IMF menyediakan dana "segera" yang ditujukan bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan emerging market.

Bank Dunia juga mengatakan siap membantu negara-negara anggota mengatasi tantangan kemanusiaan dan perekonomian akibat wabah COVID-19 yang menyebar sangat cepat salah satunya melalui dana darurat.

G-7 juga menyampaikan akan menggunakan berbagai alat yang belum ditentukan untuk membantu ekonomi global menangani ancaman COVID-19. Kongres Amerika juga menyiapkan dana darurat sebesar 8 miliar dolar AS untuk menghadapi COVID-19. Menurut Hans, hal-hal ini menjadi sentimen positif bagi pasar terutama ketika terjadi realisasinya.

Pasar saham Amerika pekan depan akan mencermati penyebaran COVID-19 di mana beberapa negara bagian terjadi penyebaran yang cepat. Negara bagian California mengumumkan keadaan darurat setelah terjadi kematian karena COVID-19 dan adanya 53 kasus yang berhasil dikonfirmasi.

Jumlah kasus COVID-19 di New York naik dua kali lipat dalam semalam menjadi 22 akibat negara bagian itu meningkatkan pengujian terhadap Virus Corona jenis baru itu.

Pasar saham dunia masih khawatir seiring peringatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa COVID-19 memiliki potensi menjadi pandemik. Angka penyebaran COVID-19 global dari WHO adalah setidaknya 95.200 kasus dengan jumlah kematian global sekitar 3.270.

Kasus pertama dilaporkan di Azerbaijan, Belarus, Lithuania, Meksiko, Selandia Baru dan Nigeria, negara terpadat di Afrika. Penyebaran COVID-19 masih terus terjadi di beberapa negara termasuk Inggris, Korea Selatan, China.

Akibat wabah ini, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 2,4 persen pada2020 dan merupakan pertumbuhan terendah sejak 2009.

Lembaga pemeringkat global Moody's juga memperingatkan wabah COVID-19 akan memicu resesi global pada paruh pertama tahun 2020.

"Pasar saham dunia nampaknya masih diwarnai kekhawatiran Virus Corona akibat penyebaran yang cepat. Kami perkirakan IHSG pekan depan masih akan koreksi, dengan pola koreksi di awal-awal pekan tetapi di akhir pekan berpeluang rebound menguat," ujar Hans.

Baca juga: Wall Street jatuh, terseret kekhawatiran ekonomi rusak akibat Corona


Peluang cuan

Menutup pekan ini IHSG kembali anjlok hingga 2,48 persen meski sempat menguat berturut-turut pada Selasa (3/3) dan Rabu (4/3) sebesar 2,94 persen dan 2,38 persen. Perusahaan Manajer Investasi Eastspring Investments Indonesia menilai volatilitas masih akan tetap tinggi.

Dalam jangka pendek, pasar masih bereaksi negatif terkait dengan penyebaran Virus COVID-19 dan investor cenderung menempatkan aset mereka di safe haven seperti obligasi dan emas.

Eastspring memprediksi pasar dapat pulih dalam jangka menengah panjang. Eastpring mencontohkan wabah Virus SARS pada 2003 sebagai perbandingan terdekat dengan COVID-19. Saat itu, pasar secara luas merespon negatif selama Januari hingga Maret 2003. Namun, kembali menguat satu tahun setelahnya.

Begitu pula dengan wabah lain seperti Flu Burung, MERS, Ebola dan Zika, yang juga menunjukkan pola yang sama tetapi dengan besaran koreksi dan rebound yang berbeda.

Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menyarankan investor untuk bersikap cermat dan jeli di tengah anjloknya pasar finansial saat ini.

Menurutnya, ketepatan membaca angka dan analisa, penting bagi investor untuk menentukan sikap terutama mengantisipasi peluang cuan ketika terjadi krisis. Kendati valuasi dianggap sudah murah, investor tetap perlu berhati-hati terhadap potensi koreksi harga saham, sehingga sikap menunggu menjadi lebih tepat.

Kecemasan investor yang mengurangi atau melikuidasi investasi dalam saham saat ini dapat dipahami, karena dengan volatilitas indeks saham dan obligasi US (T-bond) yang relatif tinggi, itu mengindikasikan sikap konservatif investor untuk mengurangi kedua jenis volatilitas aset tersebut guna mengurangi kerugian lebih lanjut.

Akan tetapi, jika mengamati penurunan IHSG, Budi menilai valuasi IHSG relatif paling murah jika dibandingkan bursa regional lainnya. Sebagai perbandingan antara rata-rata pertumbuhan indeks saham per tahun dan Earning Per Share (EPS) antara Indeks S&P dan IHSG selama beberapa tahun terakhir dan sejak Februari 2008.

Terlihat selama setahun terakhir kenaikan S&P (16,8 persen) sekitar tiga kali lebih pesat ketimbang pertumbuhan EPS yang hanya sekitar 5 persen. Proyeksi EPS yang pesat selama tiga tahun terakhir ditopang oleh stimulus fiskal berupa pemangkasan pajak oleh Presiden Trump.

Perusahaan banyak menggunakan tambahan dana dari pemangkasan pajak itu untuk membeli kembali (buyback) saham sehingga memicu kenaikan harga saham. Sementara itu, kenaikan harga saham pada IHSG cenderung lebih rendah ketimbang pertumbuhan laba, terutama setelah era booming komoditas berakhir.

Untuk itu, lanjut Budi, ada dua hal yang harus dicermati. Pertama, respon perusahaan di AS untuk kembali buyback atau malah berbalik menjual. Kedua, kestabilan kurs rupiah relatif terhadap mata uang regional. Pertimbangan pertama dilandasi dari pergerakan yang serupa antara IHSG dan indeks S&P. Pergerakan kedua indeks yang sama ini lebih besar ketimbang faktor internal pertumbuhan M1 atau persediaan uang riil.

Bila perusahaan atau emiten memanfaatkan sebagai kesempatan buyback, maka ada peluang harga saham akan terjaga. Namun, jika perusahaan menjual saham karena mereka mencemaskan kondisi bisnis, maka harga saham indeks S&P akan tertekan, dan berpengaruh kepada IHSG.

Budi menambahkan, berdasarkan pengalaman melintasi berbagai krisis, kondisi saat ini nampak berbeda bila dibanding menjelang krisis 2008.

"Saat itu, sikap terbaik adalah menahan ketamakan, controlling the greed, karena valuasi saham sudah terlalu tinggi dan jauh melebihi acuan normatif pertumbuhan GDP nominal. Sementara saat ini, kita perlu mengelola rasa takut, managing fear. Masih ada aset investasi yang menarik terutama SBN yang justru menjadi prasyarat peluang cuan saham," ujar Budi.

Baca juga: Rupiah Jumat sore anjlok, dipicu kekhawatiran meluas terhadap Corona

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020