Jakarta, (ANTARA News) - Tampil menyandang predikat sebagai Axis Jakarta International Java Jazz Festival 2009 untuk mengobati ratusan, ribuan bahkan jutaan tubuh yang kini didera oleh selaksa krisis global, sebuah proyek tubuh coba menawarkan menu penyembuh samsara manusia.

Dalam alunan nada ritmis menghentak, notasi yang membuai, improvisasi yang melenakan, berujung mengobati luka-luka batin akibat kredo kehidupan bernama "survival of fittest". Krisis menyobek batin, jazz menyediakan oase di tengah gurun metropolitan.

Panitya mengkampanyekan perhelatan ini sebagai demam Axis Jakarta International Java Jazz Festival 2009. Kata "demam" dipungut dari perbendaharaan ketubuhan. Anggota tubuh didesakkan agar hadir sebagai secarik teks.

Kalau jazz hadir sebagai teks, maka ada imbauan yang mengundang, "Lihatlah secarik kertas...fokuslah kepada bentuknya, kemudian warna-warninya. Ada hal yang berbeda setiap kali melihat sesuatu." Ini wasiat dari filsuf Wittgenstein.

Tetapi, ada setangkup pertanyaan menyita perhatian, "Apa yang ada maksudkan? Mengapa anda berkata demikian? Mengapa anda melakukan itu?" Jawabnya, nikmati saja, tidak perlu berusah payah menafsir karena telah tersedia begitu saja, karena jazz adalah improvisasi yang merevolusi tubuh.

Java Jazz 2009 yang diselenggarakan untuk kali kelima memproklamasikan Indonesia sebagai salah satu kiblat jazz di kawasan regional. "Ini semua berkat dukungan pemerintah," kata Chairman Java Jazz, Peter Gontha. Satu kata pantas dikumandangkan, "Horee...." Sorak hore hanya diletupkan oleh mulut, dan nada yang dibalut kata dalam genre yang kreatif kemudian dibaptis sebagai jazz.

Mereka yang mengidolakan Jason Mraz menimba bukti pada hari pertama (Jumat,6/3), memperoleh makna dari proyek ketubuhan dari jazz. Tiket terjual ludes. Mereka yang belum tercurah oleh sihir Mraz dapat menyaksikan kembali pada Sabtu (7/3). Kurang lebih 8.000 orang hadir dalam pertunjukan Mraz di Ehhibition Hall B, dan Dianne Reeves di Assembly 3.

Direktur Program Java Jazz Paul Dankmeyer mengatakan perhelatan ini tidak melulu menghadirkan jazz. Ada makna universal yang mau ditawarkan karena di sana ada bobot "melintas batas" dan "membelah sekat". "Yang kami tawarkan bukan semata-mata jazz, utamanya bagi anak-anak muda." Jazz mendefinisikan diri sebagai harmonisasi nada yang mengarah kepada pemaknaan serba mengglobal.

Para peserta berdatangan dari seantero dunia. Dari Eropa, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Saudi Arabia, Tunisia, sampai seluruh kawasan Asia, mencakup India. "Warta jazz yang dikirim dari Jakarta memberi stimulus bagi negara-negara Asia," katanya.

Tersedia 19 panggung bagi 59 pagelaran pada Jumat, 65 pagelaran pada Sabtu dan 64 pagelaran pada Minggu (8/3). Ada ratusan bintang jazz internasional dan lokal. Selain Mraz, ada Brian McKnight, Peabo Bryson, Swing Out Sister, Matt Bianco, Laura Fygi, Ivan Lins, Eliane Elias. Ada juga Dwiki Dharmawan, Idang Rasjidi, Jamie Aditya, RAN, Maliq nEssentials, Glenn Fredly, Tohpati, Dewa Budjana, Ecoutez!

Baik pecinta maupun penyayang musik jazz akan dilenakan oleh kekayaan genre. Di sini letak dari "efek abrakadabra" dari java jazz bagi proyek tubuh. Bukankah filsuf Pierre Bourdieu menyatakan tubuh selalu berkembang, dinamis. Tubuh memberi status kepada pemiliknya, bahkan tubuh telah menjelma menjadi semacam "modal" atau "kapital".

Bukankah mendengar alunan nada jazz memberi rasa rileks karena di sana ada getar serba membuai, serba menuntut munculnya kreativitas. Ini modal dan kapital dari jazz bagi dunia yang kini sedang disentak dan dihentak oleh krisis global.

Meski berawal dari New Orleans, jazz berkembang sampai Chicago, Kansas City, New York City, dan West Coast. Memadukan sendi vocal and instrumental, jazz mengular dalam New Orleans atau Dixieland jazz; swing; bop atau bebop; progressive atau cool jazz; neo-bop atau hard-bop; mainstream modern; Latin-jazz; jazz-rock; dan avant-garde atau free jazz.

Ingin merasakan efek menggairahkan dari jazz? Pada Sabtu, ada Laura Fygi yang siap unjuk kebolehan setelah 17 tahun menyelami samudera nada jazz. Tarikan suaranya mengalir lembut dengan ditingkahi oleh vibrasi yang serba menggoda. Dia mengajak penonton untuk memberi stempel bagi optimisme di tengah kejengahan krisis global.

Buktinya, penampilan Ledisi dan Matt Bianco mengajak publik untuk bernadar kepada optimisme dan bersandar kepada argumentasi. Lebih dari satu kali penyanyi jazz vocal Ledisi berkata, "It could be alright..." kepada publik yang menyesaki Plenary Hall.

Sementara Matt Bianco yang berulangkali mendapat aplaus dari penonton, bersandung, "Sunshine Day". Keduanya ada dan hadir sebagai duta jazz yang ingin menyapa dunia yang disesaki oleh "proyek tubuh" matropolitan Jakarta. Keduanya mengajak, mengimbau untuk mencintai kehidupan karena di seberang sana masih ada harapan.

Kenanglah saat kita jatuh cinta kepada seseorang, di sana ada harapan, di sana ada imajinasi untuk memberi yang terbaik, kata Ledisi. Sedangkan Reeves merajut imajinasi bagi pengembaraan setiap manusia. Mereka tahu dan paham bahwa jazz adalah komunikasi - meminjam istilah filsuf Jurgen Habermas - sebagai yang memuat penjelasan (Erklarung) dan pemberian alasan (Begrundung).

Java Jazz 2009 menawarkan rumus pertanyaan: Apa yang anda maksudkan? Mengapa anda berkata demikian? Mengapa anda melakukan itu? Java Jazz 2009 tampil sebagai proyek tubuh dalam diskursus terus menerus. Kreatif, kreatif dan kreatif.(*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009