Jakarta (ANTARA) - Tiga bulan pertama di 2020 sungguh merupakan cobaan yang luar biasa bagi para pelaku pasar keuangan yang khawatir dan resah dalam memandang potensi ekonomi global kedepan.

Salah satu penyebab utama kekhawatiran investor adalah penyebaran virus Corona atau COVID-19 yang makin meluas ke Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa.

Pergerakan virus yang tidak terduga membuat negara-negara mulai waspada dan masing-masing saling membatasi kegiatan ekonomi agar wabah tidak makin meluas.

Padahal, kondisi global saat ini belum sepenuhnya pulih dari tingginya tensi perang dagang antara AS dengan China maupun gejolak geopolitik beberapa waktu lalu.

Baca juga: Sri Mulyani kerahkan stimulus fiskal untuk topang ekonomi RI

Beberapa negara maju maupun berkembang bahkan mulai terancam resesi atau pertumbuhan ekonomi nol persen karena tidak mampu mengantisipasi berbagai tekanan ekstenal tersebut.

Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan menilai penyebaran COVID-19 telah mengganggu rantai pasokan dunia dan dapat menghambat pemulihan ekonomi global.

Pada Februari, IMF telah merevisi turun pertumbuhan global 2020 menjadi 3,2 persen, atau 0,1 poin persentase lebih rendah dari proyeksi Januari.

Lembaga multilateral ini juga telah menyediakan 50 miliar dolar AS melalui fasilitas pembiayaan darurat untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai dampak dari virus lebih kompleks dibandingkan tekanan ekonomi global pada 2008 akibat kebangkrutan bank investasi di AS, Lehman Brothers.

Menurut dia, COVID-19 menimbulkan tekanan langsung terhadap individu masyarakat dan mengganggu kegiatan produksi, bukan melalui sektor keuangan seperti pada 2008.

Baca juga: Rupiah berpeluang menguat seiring stimulus hadapi COVID-19

"Karena ini menyangkut diri langsung pada ancaman mereka, keselamatan, kesehatan, sampai pada kemungkinan terancam meninggal dunia, itu yang jauh dampaknya lebih langsung," ujarnya.

Dengan demikian, tambah dia, efek yang timbul karena virus adalah dampak riil yang menghambat roda perekonomian, bukan sekedar PHK atau penutupan korporasi.

Belum selesai dengan urusan COVID-19, dunia dikejutkan oleh perang harga minyak akibat ketidaksepakatan antara Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia mengenal jumlah produksi.

Sentimen itu menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 6,58 persen ke level 5.136 pada Senin (9/3) dengan status indeks berkinerja terlemah di Asia.

Semua indeks sektoral tercatat negatif dengan aneka industri mengalami kerugian paling banyak yaitu 9,42 persen, disusul pertanian minus 7,92 persen serta industri dasar dan kimia minus 7,35 persen.

Bukan hanya IHSG, seluruh bursa dunia cukup tertekan pada perdagangan yang dipicu oleh menurunnya harga minyak sedalam 26 persen ke level 33,32 dolar AS per barel.

Sejumlah analis memproyeksikan turunnya harga minyak ini bisa mempengaruhi penerimaan negara dari sektor migas, meski dapat berdampak positif bagi pengguna BBM dalam negeri seperti sektor industri.
 
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) berbincang dengan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (kedua kiri) sebelum mengikuti rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (9/3/2020). Ratas tersebut membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2021 dan rencana kerja pemerintah tahun 2021. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

Pentingnya stimulus

Pemerintah telah berupaya menjaga kinerja ekonomi domestik melalui penyiapan stimulus agar tidak terdampak tekanan global yang makin kuat dalam tiga bulan terakhir.

Fokus utama pemberian stimulus ini adalah untuk menjaga kinerja konsumsi rumah tangga maupun investasi yang selama ini dominan menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Langkah antisipatif itu disiapkan untuk penguatan ketahanan dari penyebaran COVID-19, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi China, yang selama ini merupakan perekonomian terbesar kedua di dunia.

Tekanan ekonomi di China berpotensi memberikan dampak kepada negara mitra termasuk Indonesia melalui berbagai transmisi seperti sektor pariwisata, perdagangan internasional dan aliran investasi.

Menurut perkiraan, penurunan satu persen pertumbuhan ekonomi di negara tirai bambu dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 persen-0,6 persen.

Oleh karena itu, pemerintah merumuskan instrumen fiskal untuk menjaga daya beli maupun investasi antara lain dengan mendorong penyaluran belanja modal sejak awal tahun.

Pemerintah juga telah meluncurkan kartu prakerja bagi dua juta penerima manfaat serta mendistribusikan bantuan sosial bagi 50.000 keluarga penerima manfaat selama enam bulan.

Stimulus lainnya adalah pemberian insentif dalam bidang perumahan berupa subsidi bunga maupun subsidi uang muka agar sektor properti tidak mengalami kelesuan.

Pemerintah ikut meluncurkan insentif di sektor pariwisata dengan memberikan diskon pesawat terbang agar jumlah kunjungan wisatawan di 10 destinasi unggulan tidak menurun.

Tidak hanya itu, pemerintah juga sedang merumuskan insentif baru berupa penundaan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan peningkatan batas restitusi pajak kepada industri.

Dari sisi moneter, Bank Indonesia ikut melakukan stimulus berupa penurunan suku bunga acuan maupun relaksasi sejumlah kebijakan makroprudensial.

Melalui koordinasi dengan pemerintah, bank sentral juga mendorong percepatan penyaluran bantuan sosial maupun transfer ke daerah melalui sistem elektronik.

Untuk mengurangi tekanan di pasar valas, BI mengoptimalkan strategi intervensi di pasar spot valas, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) dan pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Penguatan koordinasi dengan otoritas terkait ikut dilakukan untuk menjaga kestabilan makro ekonomi dan memitigasi dampak virus corona dalam waktu dekat.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia IGP Wira Kusuma mengatakan tekanan eksternal yang bervariasi saat ini menjadi tantangan baru bagi para pemangku kepentingan.

Menurut dia, kondisi ini membuat otoritas fiskal dan moneter harus mencari inovasi untuk menjaga kinerja konsumsi dan mengundang masuknya aliran modal agar perekonomian nasional tetap berdaya tahan.

"Kita menjaga konsumsi dengan menjaga daya beli maupun stabilitas internal. Untuk investasi ada omnibus law dan pengerjaan proyek infrastruktur. Ekspor yang terdampak juga memaksa adanya penguatan manufaktur," ujarnya.

Meski demikian, tambah Wira, ketidakpastian yang timbul dari penyebaran COVID-19 membuat bank sentral harus menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 menjadi 5,0-5,4 persen dari sebelumnya 5,1-5,5 persen.
Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) dan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam pembukaan Rapat Kerja Kementerian Perdagangan Tahun 2020 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/3/2020). Rapat kerja itu mengangkat tema Akselerasi Peningkatan Ekspor dan Penguatan Pasar Dalam Negeri Menuju Indonesia Maju. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.

Jaga pertumbuhan

Mencari secercah cahaya dalam kondisi yang sulit seperti ini tidak mudah dilakukan, namun sikap yang optimistis harus terus diupayakan agar keyakinan pelaku pasar terhadap Indonesia tidak menghilang.

Oleh karena itu, upaya pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan dalam memperkuat ketahanan ekonomi harus terus dilakukan, tidak hanya ketika badai krisis tiba.

Kepala Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede mengatakan sinergi menyeluruh dari otoritas fiskal dan moneter maupun reformasi struktural secara berkelanjutan juga dapat membuat target pertumbuhan ekonomi tercapai.

"Kalau itu berjalan beriringan dan bersinergi, pertumbuhan enam persen juga bisa tercapai," kata Josua.

Josua mengatakan penguatan sisi fiskal melalui penyerapan belanja infrastruktur maupun bantuan sosial yang didukung stabilisasi laju inflasi bisa membantu kinerja konsumsi dalam negeri.

Menurut dia, kinerja fiskal itu perlu didukung oleh kebijakan moneter, salah satunya melalui penurunan suku bunga acuan, yang sudah dilakukan oleh bank sentral.

"Transmisi suku bunga bisa memberikan stimulus, jadi seharusnya orang mulai konsumsi, termasuk kepada korporasi, karena biaya untuk ekspansi menjadi lebih murah," ujarnya.

Dengan demikian, menurut dia, mesin-mesin industri yang selama ini menjadi sumber pertumbuhan ekonomi seperti manufaktur maupun konstruksi tetap kuat dan tidak mengalami kelesuan.

"Selain itu, penciptaan iklim investasi salah satunya melalui omnibus law juga bisa memberikan persepsi positif kepada pelaku usaha sehingga terjadi permintaan kredit," kata Josua.

Direktur riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah juga menilai sinergi kebijakan akan menopang perekonomian Indonesia di tengah wabah virus corona yang mulai masuk ke Indonesia.

Menurut Piter, stimulus fiskal maupun pelonggaran kebijakan moneter dapat mendorong penyaluran kredit perbankan sehingga dapat memicu pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi.

Ia menambahkan jika perbankan berhasil meningkatkan penyaluran kredit sehingga konsumsi masyarakat dan aliran modal menjadi lebih baik maka perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat diminimalkan.

Pengamat ekonomi Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Hirawan bahkan ikut menyambut baik rencana pembebasan pajak kepada sektor manufaktur agar proses produksi dan permintaan tetap terjaga.

Ia mengatakan insentif yang akan masuk dalam stimulus jilid kedua itu dapat memberikan penguatan industri manufaktur yang saat ini menyumbang 19 persen dalam PDB nasional.

"Saat ini yang urgent adalah bagaimana sektor-sektor ekonomi ini tidak jatuh dan masih bisa berjalan dan berproduksi," kata Fajar yang menyakini berbagai insentif itu dapat memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

Meski sejumlah kebijakan sedang dilakukan, hari-hari kedepan masih berpotensi menimbulkan ketidakpastian, sehingga tidak bijak apabila pemerintah bersama otoritas terkait berpuas diri.
 

Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020