Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Para peneliti Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigments (MRCPP) menemukan alternatif pengganti antibiotik kimia berbahan baku bakteri laut pseudoalteromonas rubra.

Grup riset Laboratorium Brotosudarmo yakni Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi (PUI-PT) MRCPP yang digawangi oleh Edi Setiyono, menemukan bakteri laut Pseudoalteromonas rubra yang menghasilkan pigmen antimikroba.

"Bakteri laut tersebut diambil dari Pantai Sebanjar dan Pulau Sika, Kabupaten Alor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT), setelah melalui penelitian selama kurang lebih dua tahun," kata Kepala PUI-PT MRCPP, Tatas H.P. Brotosudarmo di Malang, Jawa Timur, Jumat.

Tatas menerangkan pada tahun 2018, Edi Setiyono berhasil mengisolasi bakteri yang memiliki pigmen merah ini. Bakteri tersebut ternyata memiliki kesamaan genetika 99 persen dengan pseudoalteromonas rubra ATCC 29570 berdasarkan uji 16S rRNA.

Bersama anggota tim yang lain yakni Monika Prihastyanti, Marcelinus Adhiwibawa dan Renny Indrawati, bakteri tersebut terus diteliti dan akhirnya didapatkan keunikan bakteri dari Pulau Alor.

Bakteri tersebut mengandung enam jenis pigmen antimikroba. Pigmen-pigmen itu kemudian diuji aktivitasnya sebagai agen antimikrobia pada beberapa bakteri patogen, seperti Escherichia coli (penyebab Diare), Straphylococcus aureus (penyebab infeksi kulit), Salmonella typhi (penyebab tipus), dan Candida albicans (penyebab infeksi).

Bakteri laut Pseudoalteromonas rubra paling efektif untuk patogen s. Aureus. Hasil riset tersebut kemudian dipublikasikan di Jurnal Internasional terbitan American Chemical Society pada 26 Februari 2020.

"Riset ini berangkat dari fenomena mudahnya para tenaga medis memberikan antibiotik kepada pasien," tutur Tatas.

Ia menerangkan agen antimikroba adalah obat yang umumnya diperoleh dari mikroorganisme yang sangat penting untuk pencegahan dan pengobatan infeksi bakteri. Namun, penggunaan antibiotik dalam pengobatan, yang terlalu sering dan tidak tepat, berkontribusi pada penyebaran resistensi antibiotik yang cepat.

Hal ini, lanjutnya, mengakibatkan resistensi tubuh terhadap antibiotik ini, dan fenomena ini merupakan masalah global. "Sama halnya dengan ketika kita flu lalu pergi ke dokter dan diberi antibotik, namun tidak kunjung sembuh. Di Indonesia data seperti ini belum terdokumentasi dengan jelas, sehingga WHO juga belum mengetahui bakteri pantogen mana yang resisten terhadap obat apa saja," tuturnya.

Obat baru diperlukan karena penurunan kemanjuran obat dan kebutuhan untuk memerangi resistensi antibiotik. Mikroorganisme laut mewakili sumber signifikan obat baru untuk pengembangan karena keanekaragaman hayati yang kaya dan kapasitas genetik untuk menghasilkan metabolit yang unik.

Sebagai negara kepulauan, biodiversitas Indonesia adalah terbesar di dunia dan merupakan sumber berjuta senyawa kimia yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan obat dan potensi sumber daya ekonomi biru.

Kemampuan untuk menguasai sains dan iptek adalah kunci utama dalam eksplorasi dari keanekaragaman hayati menjadi sumber daya genetik dan biokimia yang mempunyai nilai secara komersial.

"Ini masih bertahap pada laboratorium belum sampai ke arah untuk menjadi obat," kata peneliti dan penemu antibiotik alami tersebut, Edi Setiyono.

Tahapan klinisnya, lanjut Edi, masih panjang dan biayanya juga mahal, sehingga tim berfokus untuk memetakan sumber daya di Indonesia, dan faktanya potensi yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi agen-agen mikroba. Tidak hanya itu nantinya tim juga akan mengisolasi beberapa jenis bakteri yang didapatkan dari air laut atau bersimbiosis dengan terumbu karang.

Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020