izin pertambangan ke depan akan merusak wilayah tangkap nelayan pesisir Kabupaten Lampung Timur
Bandarlampung (ANTARA) - Pemberian izin penambangan pasir laut di perairan sekitar Pulau Sekopong di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung masih terus memicu kontroversi dan tetap ditolak para nelayan setempat sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan.

Penolakan para nelayan itu pun beberapa kali menimbulkan insiden, antara lain dipicu adanya operasional kapal-kapal yang diduga telah melakukan penyedotan pasir laut di sekitar perairan Sekopong, Lampung Timur itu.

Belakangan, penolakan nelayan itu memicu konflik lagi, dengan adanya pembakaran kapal yang diduga melakukan aktivitas penambangan pasir laut di perairan tersebut, sehingga berbuntut pihak kepolisian bertindak menangkap seorang nelayan setempat.

Padahal sejak awal, nelayan di sekitar Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur itu menolak adanya penambangan pasir laut dan minta izin penambangan pasir laut diberikan oleh Pemerintah Provinsi Lampung segera dicabut.

Dukungan atas penolakan eksploitasi pasir laut di Lampung Timur itu disampaikan pula oleh DPRD Lampung melalui Komisi II, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung maupun berbagai pihak lainnya.

Baca juga: Tolak tambang pasir laut

Nelayan Minta Dibebaskan

Menyusul penangkapan seorang nelayan di Lampung itu, para nelayan setempat meminta penegak hukum membebaskan rekan mereka, Safrijal yang telah ditangkap polisi pada Kamis (12/3) sore, diduga karena menolak tambang pasir laut di perairan Sekopong tersebut.

"Kami mohon pak, saudara kami, Safrijal dibebaskan secepatnya," ujar perwakilan nelayan pada acara mediasi oleh Forkopimcam Labuhan Maringgai bersama ratusan nelayan, usai penangkapan Safrijal, di rumahnya, Desa Margasari, Labuhan Maringgai, Jumat (13/3).

Menurut nelayan ini, Safrijal bagi masyarakat nelayan di sana adalah seorang pahlawan, karena dinilai telah memperjuangkan aspirasi masyarakat banyak menolak tambang pasir laut di wilayah perairan setempat. "Dia bukan teroris, dia memperjuangkan aspirasi kami," ujarnya.

Ia menyatakan, para nelayan di daerah ini sedih atas ditangkapnya Safrijal. "Bagaimana kami bisa kerja, kalau saudara kami ditahan, kami sepakat kalau Safrijal tidak dibebaskan kami akan mogok kerja," ujarnya pula.

Bahkan menurut dia, bukan Safrijal saja yang menolak, tapi seluruh nelayan Labuhan Maringgai.

Menurut nelayan lainnya, peristiwa pembakaran kapal penyedot pasir pada Sabtu (7/3) itu ada penyebabnya, yaitu dipicu kehadiran kapal penyedot pasir, padahal sudah berkali-kali diperingatkan dan dihalau nelayan setempat. Namun, karena tidak diindahkan, sehingga berbuntut pembakaran oleh para nelayan.

Mereka juga mengungkapkan bahwa penolakan atas penambangan pasir laut itu sudah disampaikan sejak tahun 2016 sampai sekarang, namun tidak ditanggapi, malah kapal penyedot pasir datang lagi.

Anggota Komisi II DPRD Provinsi Lampung Asep Makmur menanggapi penangkapan itu, menegaskan bahwa Safrijal bukan pelaku, namun menjadi korban karena menyampaikan aspirasi masyarakat.

Asep Makmur mengatakan, Komisi II DPRD Lampung juga akan membantu memberi bantuan hukum untuk Safrijal. "Saya prihatin, kami akan beri pendampingan hukum, Safrijal ini korban, bukan pelaku," ujarnya lagi.

Mengenai aspirasi nelayan yang belum diakomodir pemerintah daerah sampai dengan saat ini, Komisi II DPRD Lampung, kata Asep Makmur, belum akan memanggil Gubernur Lampung Arinal Djunaidi.

"Gubernur belum, tapi organisasi perangkat daerah akan kami panggil, minggu kemarin belum jadi karena teman-teman Komisi II masih di luar," katanya lagi.

Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Lampung pun menyatakan akan memberi bantuan hukum secara gratis kepada Safrijal.

"Kami akan beri bantuan hukum. Harapan HNSI, Safrijal bisa dibebaskan," ujar Ketua HNSI Provinsi Lampung Bayu Witara.

Berkaitan penangkapan nelayan itu, Kabid Humas Polda Lampung Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengatakan anggota kepolisian telah memeriksa seorang berinisial R (40) yang diduga sebagai provokator pembakaran kapal menyedot pasir di perairan Sekopong, Lampung Timur sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).

"Semua yang dilakukan anggota sudah sesuai dengan SOP, jadi bukan diambil paksa di jalan seperti informasi yang beredar," katanya pula.

Dia menjelaskan pada Kamis (12/3) sekitar pukul 16.50 WIB, Tim Lidik yang dipimpin Kasi Lidik Subdit Gakum Dit Polair Polda Lampung mendapat informasi bahwa R berjalan dengan mengendarai mobil merek Avanza ke arah keluar dari Kuala Penet menuju Bandarlampung.

Informasi itu kemudian disampaikan kepada Kasat Reskrim Polres Lampung Timur agar dilakukan pencegatan untuk mengamankan R dengan memerintahkan Tim Tekab 308 Polres Lampung Timur untuk melakukan penyelidikan.

"Sehingga mendapatkan R di Desa Mandala Sari. Saat melakukan pengamanan, Tekab 308 melakukan pembicaraan persuasif kepada R untuk dapat ikut dengan Tim Tekab untuk dimintai keterangan. Saat diamankan, R di dalam mobil tersebut bersama dengan istri dan tiga anaknya serta ibunya," kata dia lagi.

Pada saat melakukan upaya pengamanan, salah seorang anggota menyandang senjata laras panjang jenis V2 Pindad namun bersifat pasif tanpa mengarahkan senjata tersebut kepada R.

Setelah memberikan penjelasan, R kemudian dengan sukarela tanpa ada paksaan mengikuti Tim Tekab 308 untuk dibawa ke Hotel Tirta Kencana, Kecamatan Bandar Sribhawono, Lampung Timur dengan tujuan dimintai keterangan oleh Tim Subdit Jatanras Dit Rekrimum Polda Lampung yang dipimpin langsung oleh Dir Reskrimum AKBP M Barly Ramadhani bersama Sat Rekrim Polres Lampung Timur.

"Saat R dibawa oleh Tim Tekab 308, keluarga R juga mengikuti. Sesampainya di hotel, keluarga R diminta untuk kembali ke rumah dengan diantarkan oleh anggota Polsek Mataram Baru yang juga mengenal keluarga R," kata dia lagi.

Baca juga: Nelayan Lampung Timur tetap tolak tambang pasir laut

Sikap Pemprov Lampung

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung menyikapi persoalan penambangan pasir laut itu menyatakan akan menjadi penengah, dan siap mengambil langkah strategis untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim (Nunik) mengatakan, jajarannya telah terjun ke lokasi, sekaligus melakukan pembahasan mengenai persoalan tersebut. Dia menegaskan bahwa pada prinsipnya pemerintah daerah posisinya berada di tengah-tengah, yaitu berada di kedua belah pihak, yakni masyarakat dan investor. Ia juga mengimbau kepada masyarakat dalam menyampaikan aspirasi harus mengedepankan dan menjaga suasana kondusif, ketertiban serta ketenteraman.

"Kami juga sudah memberikan beberapa teguran kepada perusahaan, seperti terkait beberapa kekurangan mereka dan sebagainya," kata Wagub Lampung akrab disapa Nunik itu pula, seperti dilansir dalam penjelasan kepada media massa di daerah ini.

Menurutnya pula, Pemprov Lampung masih melakukan evaluasi dan kajian terhadap PT Sejati 555 Sampurna Nuswantara yang akan melakukan aktivitas eksploitasi pasir di perairan laut Lampung Timur. Namun Wagub Lampung menegaskan bahwa investasi di Lampung tetap berjalan kondusif. "Ke depan saya dan Pak Gubernur akan melaksanakan investasi secara berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan. Kemudian yang paling penting adalah menjaga keberlangsungan hajat hidup masyarakat banyak," kata Chusnunia (Nunik) yang juga mantan Bupati Lampung Timur itu pula.

Menurutnya, ada sedikitnya enam ribuan kepala keluarga (KK) nelayan di pesisir Lampung Timur yang bergantung hidupnya di sana, sehingga apabila terjadi sedikit saja misinformasi dan komunikasi bisa menimbulkan konflik. Karena itu, untuk menyelesaikan persoalan tersebut harus berhati-hati. Semua pihak diminta untuk harus hati-hati, semua pihak harus saling mengerti dan jangan main hakim sendiri. "Untuk pencabutan izin masih dalam proses, tidak bisa langsung asal cabut. Semua ada tahapannya dan prosesnya," katanya lagi.

Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung justru mengecam keras pertambangan pasir laut yang dilakukan oleh PT Sejati 555 Sampurna Nuswantara (SSN) itu, sehingga mendesak Pemprov Lampung segera menghentikannya.

"Pemerintah harus cepat menghentikan aktivitas PT SSN tersebut yang selalu mencoba melakukan pertambangan pasir laut di perairan Kabupaten Lampung timur meski mendapat penolakan dari masyarakat dan nelayan setempat," kata Direktur Eksekutif Walhi Lampung Irfan Tri Musri.

Ia mengungkapkan bahwa kejadian pembakaran kapal yang diduga milik perusahaan itu oleh masyarakat yang terjadi pada Sabtu (7/3) merupakan bentuk penolakan oleh masyarakat terhadap upaya eksploitasi pasir laut. "Pembakaran tersebut terjadi karena masyarakat nelayan di sana masih ingin mempertahankan wilayah tangkap nelayan dan menjaga kelestarian pesisir laut Kabupaten Lampung Timur sebagai sumber penghidupan masyarakat," ujarnya pula.

Berdasarkan catatan WALHI Lampung, kata dia, pada 11 Agustus 2016 masyarakat pesisir perairan Syahbandar, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur juga pernah melakukan penyanderaan terhadap kapal milik PT SSN yang akan melakukan eksploitasi pasir laut.

Kedua kejadian tersebut, lanjutnya, merupakan bentuk penolakan masyarakat dan merupakan protes kepada Pemprov Lampung yang telah menerbitkan Izin Usaha Pertambangan-Operasi Produksi (IUP-OP) di wilayah tangkap nelayan pada tahun 2015.

WALHI Lampung menilai Pemprov Lampung cacat administrasi dalam penerbitan izin tersebut serta mengabaikan partisipasi masyarakat dalam proses pembahasan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang dilaksanakan oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Lampung tahun 2015.

"Penolakan masyarakat tersebut karena bila perusahaan itu diberikan izin pertambangan ke depan akan merusak wilayah tangkap nelayan pesisir Kabupaten Lampung Timur, merusak ekosistem budi daya kepiting rajungan dan berpotensi menenggelamkan Pulau Sekopong," ujarnya lagi.

Menurutnya, sudah saatnya Pemprov Lampung bertindak tegas dan mendengarkan aspirasi rakyatnya serta melakukan kerja yang prorakyat.

"Pemprov harus segera melakukan pencabutan seluruh izin pertambangan pasir laut, bukan hanya di Kabupaten Lampung Timur, tapi semua izin pertambangan pasir laut di Provinsi Lampung, karena dapat merusak ekosistem dan merugikan nelayan serta masyarakat sekitarnya," katanya menegaskan pula.

Para nelayan tetap menolak penambangan pasir laut di sekitar perairan Pulau Sekopong, Lampung Timur itu--kendati perusahaannya sudah memiliki izin-- mengingat kawasan penambangan merupakan tempat nelayan mencari ikan dan harus dijaga kelestarian terumbu karang di sekitarnya, demi kepastian penghidupan ribuan nelayan beserta keluarga mereka di sini.

Karena itu, pemerintah diminta memperhatikan kepentingan penghidupan masyarakat banyak, sehingga tidak dibenturkan lagi dengan kepentingan investasi dan bisnis pihak swasta yang dipastikan justru akan merugikan para nelayan, masyarakat, dan berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan dan ekosistem sekitarnya.

Baca juga: WALHI: Pemprov Lampung tidak serius cabut izin tambang pasir laut

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020