Washington (ANTARA News) - Kerak Bumi ternyata lebih mudah mencair dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya, demikian hasil satu studi oleh University of Missouri, AS yang disiarkan Kamis di dalam jurnal "Nature".

Di dalam studi tersebut, para peneliti mengukur seberapa baik batu menghadapi panas dengan temperatur yang berbeda dan mendapati bahwa batu menjadi lebih panas di dalam kerak bumi, batu menjadi insulator yang lebih baik dan konduktor yang lebih buruk.

Temuan itu memberi pandangan yang mendalam mengenai bagaimana magma terbentuk dan akan menghasilkan contoh yang lebih baik mengenai benturan benua dan pembentukan sabuk gunung.

"Dengan keberadaan sumber panas luar, batu akan menjadi panas lebih efektif dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya," kata profesor ilmu geologi di MU College of Arts and Science, Allan Whittington .

"Kami menerapkan temuan kami pada model komputer yang meramalkan apa yang terjadi pada bebatuan ketika terkubur dan menjadi panas di sabuk gunung, seperti Himalaya hari ini atau Black Hills di South Dakota dalam geologi masa lalu. Kami mendapati bahwa rangkaian panas, yang disebabkan oleh gerakan tektonik selama pembentukan sabuk gunung, dengan sangat mudah menyulut pencairan kerak bumi," kata Allan Whittington .

Dalam studi tersebut, para peneliti menggunakan teknik yang berlandaskan laser guna menentukan berapa lama panas tersalur melalui sampel batu yang berbeda. Dalam semua sampel, penyebaran panas, atau seberapa baik satu materi mengirim panas, turun dengan cepat dengan peningkatan temperatur. Para peneliti mendapati bahwa penyebaran panas batu panas dan magma menjadi separuh apa yang sebelumnya diperkirakan.

"Kebanyakan pencairan kerak bumi terjadi akibat intrusi magma panas dasar dari lapisan Bumi," kata profesor ilmu geologi di MU College of Arts and Science,Peter Nabelek seperti dikutip dari Xinhua-OANA.

"Masalahnya ialah selama benturan benua, kami tak melihat intrusi magma dasar ke dalam kerak benua. Percobaan ini menunjukkan bahwa akibat penyebaran panas yang rendah, rangkaian panas jadi jauh lebih cepat dan lebih efisien, dan segera setelah batu menjadi panas, benda itu tetap lebih panas dalam waktu yang jauh lebih lama. Tentu saja, proses ini memerlukan waktu jutaan tahun dan kami hanya dapat menirukannya di komputer. Data baru ini akan memungkinkan kami menciptakan model komputer yang secara lebih akurat menyajikan proses yang terjadi selama benturan benua," kata Peter Nabelek. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009