Jakara (ANTARA News) - Satu dari setiap sepuluh anggota Lok Sabha absen dalam rapat sehingga dalam setahun DPR India itu hanya bertemu 46 hari.

Setelah politik dagang sapi membelit kuat negara demokrasi terbesar dunia ini, anggota dewan lebih suka rapat di luar gedung parlemen ketimbang beradu argumen dalam ruang sidang.

Sementara, partai politik menjadi makin sektarian sehingga orang bermental busuk mengendalikan perpolitikan, entah dengan langsung menjadi administratur parpol atau menyetir dari luar, apalagi suara yang diperlukan untuk mempengaruhi sistem kebijakan kini jauh lebih sedikit.

Newsweek edisi 16 Maret 2009 mewartakan, tak ada lagi parpol dominan yang menjadi kekuatan mayoritas sejak Partai Kongres melakukannya pada 1984, sementara jumlah kursi yang dimenangkan enam parpol utama jatuh dari 477 pada 1999 menjadi 388 pada 2004.

Situasi ini membuat karakter-karakter busuk semakin mudah mengendalikan perpolitikan. Jika keburukan terlalu jelas di mata awam, maka konsultan iklan dan media siap mengubahnya menjadi terlihat mempesona sehingga rakyat memilihnya.

Jika itu tak cukup, intimidasi menjadi pilihan, terutama di negara bagian yang lemah penegakkan hukumnya seperti Bihar dan Uttar Pradesh dimana petani miskin diancam untuk memilih para begundal yang mengincar jabatan politik demi mengamankan kepentingan bisnis dan menghindari kejaran penegak hukum.

Anggota dewan tidak segan merancang penyingkiran penegak hukum bersih seperti Mohammed Shahabuddin dari Bihar yang mengarsiteki mutasi seorang jaksa yang hendak menyeretnya ke penjara karena kasus kriminal pada 2005.

Setelah parpol berubah menjadi makelar kekuasaan, popularitas dan kekayaan menjadi tiket ampuh memasuki kekuasaan, tak peduli harta itu buah dari kejahatan. Tak heran, parpol sebesar Partai Kongres pun merekrut Shibu Soren, padahal dia terlibat kasus pembunuhan.

"Kriteria utama seorang caleg adalah 'winnability' (besar peluang memenangkan pemilu), bukan dari karakter, bukan dari kompetensi, bukan pula dari kemampuannya dalam mengatasi permasalahan nasional," kritik Arun Shourie, wartawan yang menjadi anggota legislatif.

Pemilihan langsung menuntut caleg mendandani diri seelok mungkin agar publik gampang mengenal. Uang dan popularitas pun segera menyisihkan program partai.

Paradigma demokrasi melenceng dengan lebih bertutur pada soal berapa kaya seseorang, bagaimana berpenampilan di depan publik dan bagaimana mempermak karakter cacat menjadi terlihat bereputasi.

Pada banyak hal, mekanisme rekrutmen politik menjadi tak ubahnya kontes populer dadakan di televisi. Demokrasi India pun menjadi gemilang dalam sebutan, busuk di lapangan.

Bangladesh

Di banyak negara berdemokrasi liberal namun masyarakatnya tersegregasi, hukumnya gampang dipelintir, tingkat melek politiknya tidak merata dan kemiskinan membelitnya, pemilihan langsung malah menjadi tiket murah bagi para oportunis bermental rusak untuk mengubah negara menjadi negeri pencoleng.

"Kami ogah kembali ke demokrasi langsung dimana korupsi malah menjadi-jadi," keluh Letjen Moeen U Ahmed, Panglima Angkatan Bersenjata Bangladesh seperti dikutip Japan Times (3/8/2007).

Ahmed muak karena demokrasi langsung malah menghasilkan politisi bejat yang melakukan apa saja demi memperkaya diri dengan memanipulasi kedudukan sebagai pembuat undang-undang.

Sepanjang tahun, Ahmed sibuk menangkapi ratusan tokoh politik pelaku korupsi, namun yang membuatnya murka adalah mereka acap tak beroleh sanksi yang setimpal dengan perbuatannya. Ia makin muak karena para penguasa korup ini lebih mengabdi pada sponsor politik, ketimbang pada negara.

Demokrasi, mengutip redaktur Terry Lane dari The Age, tampaknya memang telah dikorupsi begitu rupa oleh uang sehingga yang sesungguhnya memerintah negara adalah satu komite yang memperdagangkan kepentingan pencari laba yang mensponsori elite.

"Pada akhirnya para politisi sistem demokrasi langsung adalah para kuli, kurir dan tukang pukul para pemilik modal," kata Terry seperti dikutip The Age, Juni 2003.

Dalam banyak kasus, output pemilihan langsung justru mempertajam segregasi sosial, memperlebar jurang perbedaan sosio-ekonomi, dan memundurkan negara, seperti berlangsung di Filipina kini.

Rakyat negeri ini masygul melihat Vietnam yang otoriter malah mampu menekan kemiskinan dari 51 persen pada 1990 menjadi 10 persen pada 2003, sementara untuk periode sama Filipina hanya mampu menekan kemiskinan dari 20 persen menjadi 14 persen.

"Demokrasi langsung amat rentan dibajak elite. Sistem demokrasi yang dibangun sejak Marcos dilengserkan pada 1986 memperlihatkan keadaan ini dan menciptakan persaingan faksional habis-habisan di antara elite, namun kondisi ini malah membuat elite berkesempatan memblok peluang bagi perubahan struktur sosial dan ekonomi," kata Walden Bello, profesor sosiologi pada Universitas Filipina, Manila.

Sistem politik Filipina itu demokratis, tapi hanya dalam proses pemilihan umum dimana prinsip "one man one vote" yang juga berlaku di Indonesia, menciptakan persamaan formal antar warganegara, namun tidak bisa menciptakan kesetaraan sosial dan ekonomi.

Indonesia

Walden melihat "one man one vote" dipahami tak lengkap karena konsep ini membutuhkan kearifan, bahwa sistem kepemimpinan nasional mestinya dibangun tak hanya demi menjawab kemendesakan, namun juga demi masa depan.

Dalam konteks ini, tidak mungkin menyamakan perspektif dan motivasi seorang aktivis sosial atau intelektual politik, dengan motivasi memilih seorang yang hanya berpikir tentang hari ini. Ironisnya, inilah demokrasi langsung yang dipilih India, Pakistan, Bangladesh dan Filipina, juga Indonesia.

Di Indonesia, mengutip mantan Menko Polkam Wiranto, demokrasi langsung malah baru menyangkut prosedur di mana mayoritas rakyat tidak mengetahui apa tujuan memilih pemimpin atau wakil rakyat.

Kadar moral masyarakat dalam menjalani permainan politik pun rendah sehingga sportivitas yang juga dibutuhkan di arena politik jarang tampak. Akibatnya, sejumlah pemilihan kepada daerah berakhir ricuh karena tiadanya sportivitas dari yang kalah.

Wiranto menengarai, ada kesenjangan intelektual yang besar dalam masyarakat yang membuat Indonesia belum patut mengadopsi sistem pemilihan langsung. Indonesia bahkan baiknya berbajukan demokrasi keterwakilan.

Pemilihan langsung membutuhkan kedewasaan berpolitik dari rakyat dan alokasi dana serta waktu besar sehingga suksesi kepemimpinan agaknya lebih baik diwakilkan kepada elite bereputasi baik yang diberi mandat pemilu seperti dipraktikan Jepang dan sebagian besar Eropa.

Pemilihan langsung juga membutuhkan pengadaptasian kultur sosial agar demokrasi menjadi substansial, apalagi sebagian besar parpol gagal menyelenggarakan kaderisasi sehingga tak hanya gagal mencetak pemimpin baru dan tak mampu menawarkan pencerahan politik, namun juga mendegradasi kelembagaan politik dan filosofi berkekuasaan yang menjadi sangat, sangat pragmatis.

Demokrasi langsung membuat parpol mengambil langkah-langkah instan seperti mencomot figur pop sebagai caleg, bukan dari hasil godokan mekanisme politik yang dewasa.

Simbol dan citra telah mengalahkan substansi sehingga proses pemilu tidak menjadi panggung dalam mana kesaksian publik mengenai reputasi, kompetensi dan komitmen calon pemimpin tersampaikan ke khalayak.

Tiba-tiba wajah-wajah anyar bukan jebolan parpol, muncul bagai cendawan. Keterhubungan caleg dengan partai pun, apalagi dengan program perjuangan politik parpol, bagai bedak pupur yang dioleskan ke wajah.

"Sekarang banyak spanduk caleg, tapi apa yang mereka perjuangkan tidak ada di spanduk itu," kata bintang "Laskar Pelangi", Cut Mini.

Mini benar, ruang untuk mengetahui jejak rekam, reputasi, kompetensi, karakter dan komitmen caleg terhadap negara dan rakyat, sulit sekali didapatkan publik.

Tak heran, karena mendorong berbiaknya budaya instan seperti itu, negarawan besar Inggris Winston Churchill sampai menyebut demokrasi sebagai model pemerintahan terburuk.

Churchill mungkin ada benarnya, tapi yang diperlukan kini bukan lagi kritik dan sindiran, tapi menantang langsung elite, bisakah mereka menciptakan demokrasi yang substansial. Dalam konteks sekarang, bisakah Pemilu 9 April, membuat kehidupan politik menjadi substansial?
(*)

Oleh Oleh: Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009