Bandung (ANTARA News) - Seorang peneliti lingkungan senior mengatakan kurangnya perawatan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah penyebab jebolnya tanggul Situ Gintung di Tengerang beberapa waktu lalu.

"Permasalahan utama dalam pengelolaan dam tipe urug adalah pengelolaan DAS dan konstruksi poros dam," kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Edi Prasetyo Utomo, kepada ANTARA, Selasa.

Ia menyebutkan ada beberapa kelemahan umum yang dijumpai dalam sistem pengelolaan situ, dam atau bendungan tipe urug seperti Situ Gintung, yaitu kurang akuratnya data curah hujan, kurangnya perawatan DAS, pengalihan fungsi daerah hulu DAS dan monitoring sedimen waduk.

Dengan melihat padatnya penduduk sekitar Situ Gintung, pemerintah seharusnya memantau intensif situ dengan cara mengukur kondisi persis curah hujan di daerah tangkapan air melalui alat pengukur curah hujan otomatis atau Automatic Rainfall Gaige (ARFG).

Berdasarkan hasil foto satelit, jarak antara hulu sampai poros bendungan ternyata sudah mencapai 28 km.

"ARFG seharusnya ditempatkan setidaknya setiap 10 km sehingga informasi curah hujan dapat diketahui langsung," katanya

Ia memandang, poros bendungan Situ Gintung seharusnya "dimonitoring" dengan baik kelayakannya sehingga dapat diketahui apakah poros itu memerlukan "improvement" (penguatan) atau tidak.

Selain itu, lanjut Edi, di sekitar poros tidak boleh ada pemukiman atau penggunaan lain kecuali untuk kepentingan pemantauan pintu air (spill way) dan di poros bendungan.

Yang tak kalah penting adalah sistem peringatan dini berupa sirine untuk memberi informasi tingginya permukaan air.

Warga sekitar Situ Gintung mengaku mendengar sirine tanda bahaya pada pukul 22.00 WIB namun suara sirine hanya dapat didengar warga yang dekat tanggul saja.

"Masyarakat yang tinggal di hilir tanggul tidak dapat mendengar bunyi sirine tersebut," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009