Jakarta, (ANTARA News) - Absurd, mencari sisi sensual dari relung pesta demokrasi lima tahunan yang akan digelar pada 9 April 2009. Mengapa? Jawabnya, tidak ada pelukan, tidak ada ciuman, dan tidak ada dekapan yang mengusap kerinduan, membelai kemesraan. Brrr...begitu peniruan bunyinya, greeng...peniruan efeknya.

Yang sensual menjelang pemilu legislatif bukan sebatas kata-kata kampanye mengundang welas asih publik dimuntahkan dari mulut politisi, tapi juga bagaimana para calon pemilih menanti penuh harap resep setengah jitu, mengintip tips semi jitu dalam memilih parpol. Pemilu 2009 mendaraskan kemesraan: Aku hendak bersandar dalam pelukanmu. Hemm....

Bukankan segala tips dan selaksa resep mengacu kepada formula klasik yang diutarakan oleh filsuf Immanuel Kant bahwa pemikiran tanpa isi adalah kosong, dan intuisi tanpa konsep adalah buta. Mitos Promoteus mengajarkan bahwa api yang dibawanya kepada manusia membawa kebebasan dan pembebasan diri manusia dari "kebutaan".

Dengar, lihat dan cermati bila sejoli tertembus panah asmara. Kosa-kata mewadahi debur asmara mereka yang terbelenggu bujuk rayu Dewi Amor. Lahirlah sederet kata-kata, "...kau menciumku, bibirmu hangat, dan aku tersenyum. Mentari terbenam, menggantung di depan kita; meliuk di depan kita untuk mewartakan bahwa ada asmara di antara kita." Suiit, suiit....

Bagaimana, mendekati hari pemungutan suara, getar sensual bisa serta merta menggoda 38 partai politik nasional dan enam partai politik lokal di Aceh serta 11.219 calon anggota legislatif untuk DPR?

Jawabnya, masyarakat tampak disandera oleh kesenjangan antara harapan dan kenyataan, seperti dijejak oleh survei opini publik yang diselenggarakan Litbang Kompas.

Detak jantung berdegup seperti kekasih yang kali pertama bersua. Ini karena Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjatuhkan palu godam bahwa status penanganan logistik Pemilu Legislatif hingga saat ini masuk kategori mengkhawatirkan. "Statusnya sekarang agak bikin deg-degan," kata Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini.

Lebih mencemaskan, ketika Bank Indonesia memproyeksikan lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 melaju sekitar tiga sampai empat persen, dari perkiraan sebelumnya empat sampai lima persen, menyusul melambatnya kinerja ekspor dan investasi akibat krisis finansial global.

"BI masih pakai tiga sampai empat persen, tetapi apakah laju ekonomi akan mendekati ke bawah atau ke atas, banyak terpengaruh oleh dari implementasi fiskal stimulus bisa cepat atau tidak," kata Deputi Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Sementara, pemerintah telah mengoreksi target pertumbuhan ekonomi 2009 dari 5 persen menjadi 4,5 persen.

Adakah sensualitas di balik target pertumbuhan ekonomi menjelang pemilu 2009? Ada. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengungkapkan masa kampanye mendongkrak penjualan produk kebutuhan sehari-hari di toko modern hingga 10 persen pada Maret 2009.

"Selama masa kampanye berlangsung justru toko modern kembali bisa mendongkrak penjualan. Banyaknya uang beredar dan pengadaan nasi bungkus memberi efek positif bagi ritel modern," kata Ketua Departemen Supermarket Aprindo, Nugroho Setiadharma kepada harian Bisnis Indonesia.

Yang lebih sensual, tarif internet nasional akan diturunkan seusai pemilu untuk menghindari kesan politisasi kebijakan yang ditujukan guna memperbesar akses masyarakat terhadap informasi. "Sekarang pun sudah banyak yang turun," kata Menteri Komunikasi dan Informasi Mohammad Nuh.

Sementara, di ranah kampanye, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) berjanji akan memperkokoh sektor usaha kecil, kemandirian energi, pendidikan, kesehatan apabila dipercaya masyarakat memimpin Indonesia pada pasca-Pemilu.

"Saat ini Indonesia bagaikan mobil mogok, jalannya lambat, maka kalau mau cepat, mobil harus diganti," kata juru kampanye Partai Gerindra Hasyim Djojohadikusumo.

Inikah yang sensual dari laga berlabel pemilu 2009? Sebelum menjawabnya, telusuri dengan mata hati apa yang ditulis sastrawan Milan Kundera dalam karyanya "Immortality".

Ia menulis, para politisi sesungguhnya bergantung kepada para wartawan, tetapi pada siapakah para wartawan itu bergantung? Pada mereka yang berlimpah fulus, berdompet tambun.

Mereka yang membayarnya adalah agen-agen iklan yang membeli dan menggadai kolom-kolom di surat kabar-surat kabar, serta jam tayang di radio plus televisi.

Inikah nalar dari yang sensual jelang Pemilu 2009? Jawabnya, silakan merujuk kesesatan erpikir "Argumentum ad populum" yang diarahkan kepada rakyat, kepada massa.

Dalam lintas argumentum ad populum, pembuktian secara logis tidak dipentingkan, boleh jadi dicampakkan. Yang dinomorsatukan ialah menggugah perasaan publik pendengar, membangkitkan semangat atau membakar emosi pendengar agar menerima kesimpulan (konklusi) tertentu.

Contohnya, suatu pembaruan yang tidak disetujui besar kemungkinan disebut sebagai "petualangan yang tidak bertanggungjawab", sedangkan keadaan lama yang hendak terus dipertahankan dilabel sebagai "suatu pembangunan yang mantap".

Inilah logika dari sensualitas menjelang pemilu 2009. Imaji publik ditentukan oleh seseorang atau kelompok yang merasa berada di atas angin. Informasi bukan lagi dipaparkan atau diungkap secara objektif, tetapi dimanipulasi dan diseleksi.

Ekstremnya, realitas disulap agar dijauhkan dari daya kritis. Abrakadabra...realitas dalam konteks sosial-politik lantas dipahami sebagai realitas yang diciptakan dan
bukan yang dialami dalam masyarakat. Karena media massa erat berpelukan dengan seni, maka politik mau tak mau mulai "bergincu" agar tampil sebagai pengantara jitu.

Yang sensual jelang pemilu 2009 dapat diringkas dalam ungkapan "Tidak ada yang lebih lucu daripada duka lara" (Nothing is funnier than unhappiness). Siapa yang mengobyekan, siapa yang diobyekan?

Oleh Oleh A.A.Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009