Jakarta, (ANTARA News) - Berperan sebagai domba yang hilang kemudian menemukan oase di padang gurun laga bola, sosok Alan Shearer menembus dan menebus salah satu dogma di altar kehidupan, yakni tampil sebagai aktor yang merajut sejarah dalam ziarah dunia (homo actor mundi).

Bukan revolusi yang menjebol kemapanan, bukan pula opera sabun yang mendaulat publik untuk bercengeng ria di tengah teater kehidupan, mantan striker itu bersikap perkasa bermodalkan evolusi tanpa ledakan emosi. Mengapa?

Silakan memungut mosaik makna dari kisah legendaris "The Myth of Sisyphus" karya filsuf dan sastrawan Albert Camus.

Dikisahkan bahwa Autolycus, salah seorang pemimpin para maling, mencuri ternak tetangganya. Dengan menggunakan akal bulus, ia mengubah wujud ternak curiannya itu. Sisyphus tidak kekurangan akal. Tokoh sentral kisah itu memberi tanda khusus di bagian bawah kuku kaki ternak miliknya. Kelihaian dibalas kelihaian.

Bermodal keberanian plus kelihaian, Sisyphus mengubah wujud dewa Maut yang berakibat orang-orang tidak mati. Baru sesudah Ares memulihkan bentuk Dewa Maut, kematian menyambangi manusia. Di desa Hades, Sisyphus dihukum dengan diperintahkan untuk mendorong sebongkah batu besar ke puncak bukit.

Begitu batu didorong sampai di tempat, batu itu menggelinding ke bawah lagi. Begitu seterusnya dan seterusnya. Sisyphus harus memulainya dari awal, dan tidak ada penyelesaian final. Opera bernuansa tragika.

Dan Shearer seakan memerankan sosok Sisyphus. Pria Irlandia itu berteriak lantang di tengah padang rumput bebukitan laga Liga Primer, "Maknailah hidup dengan pikiran. Proklamasikan bahwa pikiran adalah penyangkalan kapasitas manusia dalam menghadapi rona kehidupan."

Mantan striker yang telah mencetak 206 gol dalam 404 penampilan bagi skuad Newcastle itu menggenapi ungkapan: menarilah dulu, kemudian berpikirlah kemudian (could dance first and think afterwards). Kalau penampilan The Magpies terus kedodoran, ia seakan berdiam diri dengan menolak terlibat di klub kota kelahirannya itu.

Kini publik Gallowgate mendengar legenda Sisyphus bernuansa kontemporer bahwa Shearer menebas kutuk dewa dengan bersedia menjadi pelatih The Toon sejak Rabu (1/4) hingga akhir musim kompetisi menggantikan Joe Kinnear, "gaffer" sebelumnya yang tidak dapat melatih karena menjalani operasi jantung dua bulan lalu. Dengan mengerek panji harapan, ia memutus drama absurd kehidupan.

"Seperti layaknya ribuan orang di Newcastle, saya merasa sedih dan tidak menginginkan klub ini terus terperosok lebih dalam. Saya akan bekerja bersama dengan para staf untuk coba mencegahnya," kata Shearer kepada radio BBC.

"Ini saatnya bagi para pemain untuk menyelamatkan klub ini. Situasinya memang sulit. Dan saya percaya penuh bahwa masih ada harapan," katanya.

Sementara Managing Director Derek Llambias menyatakan dalam laman klub Newcastle United bahwa publik Newcastle membuka hati bagi kedatangan Shearer. "Baik klub maupun kota tengah dilanda keprihatinan. Kesediaan dia (Shearer) memantik harapan," katanya.

Kalau Camus mempersoalkan apakah hidup masih cukup berarti dijalani, maka mantan pemain timnas Inggris yang kini telah berusia 38 tahun itu melakukan loncatan maut (salto mortal), dari pemahaman rasional menuju kengerian atau ketakutan (dread) yang mencekam seluruh diri.

Bukankah filsuf dan teolog Paul Tillich menyatakan manusia senantiasa berhadapan dengan masalah-masalah yang tidak dapat sepenuhnya dipecahkan dengan logika rasional. Untuk itu diperlukan keberanian luar biasa dalam mengalami dan menjalaninya. Dan Shearer tampil sebagai murid dari filsuf Jerman itu.

Shearer yang telah membela klub kotanya selama 10 tahun itu, sebelum gantung sepatu pada 2006, menghadapi ujian perdana ketika Newcastle berhadapan dengan Chelsea di stadion St James Park pada Sabtu waktu setempat (4/4). Inilah seni kehidupan (commedia dell`arte) bagi Shearer.

Dalam meniti musim kompetisi 2007/2008, The Magpies berada di peringkat ke-12. Prestasi yang dicapai klub itu, yakni empat kali juara Liga Primer (1904-1905, 1906-1907, 1908-1909, 1926-1927), juara Charity/Community Shield (1909), enam kali juara Piala FA (1910, 1924, 1932, 1951, 1952, 1955).

Ketika menghadapi laga melawan Chelsea, sampai-sampai Shearer menyandang predikat sebagai Sang Penyelamat (Messiah). "Kita dapat membayangkan atmosfer yang berkembang di laga itu. Alan Shearer tampil seakan sebagai Penyelamat. Ia menyihir para fans dan para pemain," kata gelandang Chelsea Frank Lampard kepada Sky Sport News.

"Kami harus melawan atmosfer yang berkembang di St James Park. Kami akan berjuang menjadi empat besar dengan hasil laga melawan mereka," katanya.

Untuk sementara, iklim di klasemen Liga Primer tidak berpihak kepada pemuncak Manchester United. Pasukan asuhan Sir Alex Ferguson itu baru saja mengalami dua luka akibat dua hasil jeblok beruntun. Nah, mampu tidaknya Shearer sebagai manajer terpulang kepada kecermatan membaca kemudian meramu racikan strategi di lapangan.

Rasanya belumlah cukup mengandalkan karisma semata di tengah kerasnya perburuan gelar Liga Primer. Chelsea di bawah pelatih jempolan Guus Hiddink terus tampil bak banteng ketaton.

Shearer yang menimba makna dari legenda Sisyphus menghadapi pekerjaan rumah ekstra berat, yakni membongkar hegemoni dan monopoli pemaknaan kekuasaan untuk menafsir perjalanan kehidupan. Ini dekonstruksi gaya Alan Shearer.(*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009