pembukaan Persetujuan Impor (PI) terhadap impor pangan merupakan bentuk respon pemerintah yang adaptif terhadap situasi yang terjadi belakangan ini.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Felippa Ann Amanta menyatakan, kebijakan impor merupakan alat yang strategis dalam rangka mengatasi dampak COVID-19 terhadap kondisi perekonomian nasional.

"Kebijakan pemerintah yang membuka keran impor untuk komoditas pangan merupakan kebijakan yang strategis yang memang perlu dilakukan saat ini. Selain untuk menekan dampak penyebaran virus corona terhadap perekonomian, kebijakan ini juga perlu dilakukan untuk memastikan ketersediaan komoditas pangan menjelang Ramadhan dan Idul Fitri," kata Felippa Ann Amanta dalam siaran pers di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, pembukaan Persetujuan Impor (PI) terhadap impor pangan merupakan bentuk respon pemerintah yang adaptif terhadap situasi yang terjadi belakangan ini.

Ia juga berpendapat bahwa ketersediaan yang memadai di pasar akan mampu menstabilkan harga.

"Hal ini penting supaya seluruh lapisan masyarakat bisa tetap memenuhi kebutuhan pangan dengan harga terjangkau," ucapnya.

Baca juga: Gapmmi pastikan stok pangan cukup hingga Lebaran 2020

Felippa menyatakan, Indonesia menerapkan berbagai kebijakan non-tariff measures (NTM) dalam perdagangan pangan, antara lain adalah kuota, lisensi, peraturan dan persyaratan label, kontrol harga dan tindakan anti persaingan. Berbagai kebijakan yang membatasi impor termasuk ke dalam NTM, termasuk persyaratan PI.

Padahal, lanjut Felippa, penerapan NTM di sektor pangan berdampak besar bagi ketahanan pangan karena mempengaruhi kualitas, kuantitas dan harga makanan yang dikonsumsi.

Beberapa NTM diperlukan untuk melindungi konsumen, menurut dia, namun banyak NTM diterapkan untuk menjadi hambatan dalam perdagangan.

"Padahal NTM yang menghambat perdagangan ini pada akhirnya bisa memperlambat proses pembelian barang dan proses masuknya barang. Kadang, pembelian malah dilakukan ketika harga internasional sudah mahal," jelasnya.

Baca juga: Peneliti: Harga pangan naik, jangan hambat izin impor

Sebelumnya, Kementerian Pertanian melakukan penandatanganan kesepakatan bersama supplier atau pihak pemasok dan produsen pangan guna menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga komoditas strategis.

"Penandatanganan ini merupakan bentuk komitmen kita semua untuk menjaga pasokan dan stabilitas harga menghadapi wabah corona serta menjelang puasa dan Lebaran," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Agung Hendriari pada penandatanganan kesepakatan bersama di Jakarta, Jumat (20/3).

Ruang lingkup kesepakatan meliputi penyediaan, penyaluran, dan stabilisasi harga 11 komoditas pangan pokok meliputi beras, jagung, daging ayam, daging sapi, telur, minyak goreng, gula pasir, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan bawang putih.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, perkiraan pasokan ketersediaan pangan strategis nasional untuk Maret hingga Agustus 2020, yakni untuk beras tersedia 25,6 juta ton dari kebutuhan 15 juta ton.

Baca juga: Pemerintah disarankan segera realisasikan impor beras

Sementara itu, jagung ketersediaan sebanyak 13,7 juta ton dari kebutuhan 9,1 juta ton; bawang merah tersedia 1,06 juta ton dari kebutuhan 701.482 ton; cabai besar tersedia 657.467 ton dari kebutuhan 551.261 ton.

Daging kerbau/sapi tersedia 517.872 ton (290.000 ton di antaranya berasal dari impor) dari kebutuhan 376.035 ton; daging ayam ras 2 juta ton dari kebutuhan 1,7 juta ton dan minyak goreng 23,4 juta ton dari kebutuhan 4,4 juta ton.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020